Hujan tidak menghalangi pacuan kendaraan roda empat yang dikemudikan Omar. Butuh setengah jam lebih untuk sampai di Jalan Gelora, tidak boleh menyia-nyiakan waktu di perjalanan. Kenzie duduk dengan tegang, suasana terasa pelik.
Irama rintik yang jatuh membentur setiap benda menyanyikan kidung kegamangan. Hawa pekat menembus kaca yang ditutup rapat-rapat. Antara Kenzie dan Omar sama-sama diam. Gelisah bermain di jemari mereka, merayap penuh desakan hingga hati. Dua puluh menit berlalu saat termangu mendengar berita buruk ini. Sang guru tak kuasa menolak. Ia juga harus tahu siapa pembunuh orang tuanya.
“Jangan bertanya, aku juga belum tahu bagaimana kronologisnya. Yang kutahu, permainan dimulai lagi. Kali ini tidak main-main. Bersiap-siaplah, Kenzie!” perintah Omar ketika pertama kali berangkat. Mimik wajahnya begitu serius.
Decitan ban terdengar ngilu, Orang-orang yang turut berteduh di halte mengerutkan kening. Mereka pikir seorang polisi terlalu bersemangat menangkap penjahat, hingga lupa sedang di tengah-tengah masyarakat. Padahal, dua pemuda itu sedang tergesa-gesa. Untungnya, Omar sedang bertugas di sekitar Pondok Kelapa, sehingga bisa dengan mudah menemukan Kenzie.
Lampu rem berpendar di tengah-tengah hujan yang dibiaskan lampu jalan. Sang polantas mengerahkan seluruh upaya, pengalamannya berpatroli amat membantu. Rute-rute memotong digunakan, bahkan gang sempit yang hanya cukup satu mobil saja ditaklukkan. Omar dengan kepercayaan dirinya cukup mengerikan.
Ternyata, tidak butuh waktu lama, keluar dari rute cepat mereka sudah tiba di Jalan Gelora. SMA negeri 24 tepat di depan. Omar menancap gas, Kenzie berpegangan erat. Benar saja, pemuda berseragam itu melakukan manuver luar biasa. Dalam sekejap mobil memasuki lapangan sekolah. Air memuncrat, separuh badan mobil kotor.
Kenzie cergas melepas sabuk pengaman, membuka pintu. Berlari melewati genangan. Tidak ada waktu memedulikan baju. Di samping, Omar loncat. Menerobos hujan untuk mengecek kondisi kendaraan si pejabat. Apakah ada orang di dalamnya?
“Tidak ada siapa-siapa. Mobil ini kosong. Bagasi tidak terkunci tapi tidak ada yang mencurigakan. Baiklah, kita masuk ke dalam bangunan!” seru Omar lantang. Kenzie mengangguk, berjalan di belakangnya.
Tahu-tahu, radio tangan milik Omar berbunyi, mengabarkan petugas patroli sudah mendekati lokasi. Mereka terlambat karena terjebak macet, sedang jarak para polisi itu sebetulnya dekat. Maka, sang polantas yang kini rambutnya basah membalas, mengatakan sudah tiba lebih dulu dan akan mengecek keseluruhan area.
Lantai putih penuh jejak kaki. Kenzie mengamati dengan baik. Runut tersebut mengarah ke atas, pemuda itu lekas mengikutinya. Ada yang janggal, jejak ini saat tiba di pertengahan tangga berubah, bukan lagi tapak sepatu kulit lancip yang biasa digunakan orang kantoran. Aneh sekali. Selintas bahkan terlihat bintik-bintik merah menyertai.
Omar tertinggal, sibuk memeriksa setiap ruangan. Kendati beberapa dikunci, ia hanya bisa mengintip lewat jendela. Kursi dan meja tampak rapi, tidak ada tanda-tanda pintu didobrak. Meski begitu, sang polantas tetap siaga, tidak ada yang tahu kapan akan muncul mara bahaya.
Sampai di ruang guru, Omar membuka pintu, ternyata tidak dikunci. Penuh hati-hati masuk. Senter di tangannya meraba-raba gulita. Ruangan ini bersih, hanya suara angin dan air berjatuhan yang melingkupi. Namun, tunggu, pemuda itu berhenti. Melihat ke bawah. Ada genangan dengan sedikit noda coklat. Sedikit tapi mencurigakan. Apa atapnya bocor? Jika iya, kenapa airnya berwarna?
Ia tak mengerti, karena jejak kedatangannya sendiri tampak jelas. Penuh lumpur dan sangat kotor. Akan tetapi, genangan ini berada di ujung lantai tepat di bawah jendela yang menghadap keluar. Pencuri? Bukan. Kunci selot jendela terkunci rapat. Jika masuk lewat pintu, seharusnya Omar sudah sadar sejak awal. Membingungkan. Lagi pula, belakang sekolah ini dikelilingi pagar tinggi. Sekalipun memanjat, pasti akan ada yang melihat. Ah, sial!Dor!
Bunyi letupan pistol menggelegar. Omar terkesiap, berlari keluar ruangan. Suara itu dari lantai atas. Lekas ia menaiki tangga. Suara gemercik air mengaburkan telinga, tetapi melihat dari jejak di lantai ia tahu harus ke mana.
“Kenzie! Apa yang terjadi? Siapa di sana?” teriak Omar mengejar sosok Kenzie yang tersorot senter dari kejauhan.
“Di belakangmu, Omar! Menunduk!” balas Kenzie memekik. Gawat, jika tidak cepat sang polantas bisa meregang nyawa.
Refleks Omar menghindar. Bunyi letupan terdengar lagi, kali ini persis di atas kepalanya. Di belakang, si pemegang pistol menyeringai buas. Gertakan giginya terdengar oleh sang polantas. Pembunuh! Tak menunggu tempo, Ia tangkas meloloskan tonfa dari pinggang, lalu balas menyerang.
Perkelahian terjadi. Omar bertarung dengan lawan tangguh, tangannya begitu gesit melancarkan pukulan sementara pistol masih tergenggam erat. Dengan senjata berbentuk tongkat yang memiliki pegangan, pemuda berbadan tegap dan berseragam itu menahan sambil berusaha mencari celah. Lantai yang basah menyusahkan gerakannya.
Kenzie tidak bisa berlama-lama, ia juga dalam keadaan mendesak. Begitu tahu Omar selamat dari tembakan, ia buru-buru masuk ruangan di depannya. Entah kelas atau gudang, aksara di atas tidak kelihatan jelas. Ah, tapi itu tidak penting. Letupan pertama tadi berasal dari sini, pemuda itu harus segera mengecek.
Lampu mati. Gemuruh hujan tertangkap nyaring. Bunyi gorden tertiup angin terdengar halus. Kenzie mengedarkan pandangan, mencari-cari sesuatu dalam kelam. Seketika, bau darah menguar. Ia menguatkan penciuman, benar. Tepat saat itulah matanya mendapatkan pemandangan mengerikan.
Seorang lelaki paruh baya terkapar dengan lubang di kepala. Mimik wajahnya mengguratkan kengerian saat nyawa merenggang. Darah membasahi lantai. Kenzie menelan ludah, berjongkok. Melihat saksama mayat berpakaian necis tersebut. Walaupun rapi dasi dan kerah kemejanya acak-acakan. Beberapa kancing terlepas. Siku lengan kanan kotor, terdapat bercak darah meski samar. Paling aneh, telunjuk dan ibu jarinya menggenggam robekan kertas.
Sekonyong-konyong, bunyi benda jatuh terdengar. Berkelontangan di lantai. Kenzie berdiri, memindai. Dari mana datangnya suara tersebut? Sebentar, seseorang masuk lewat jendela yang terbuka. Kenzie bisa melihat punggung bungkuknya, ia pun bergegas mundur. Pelan, orang itu mendekati mayat. Napasnya terengah-engah. Merasa tak ada siapa-siapa, ia menyeret mayat ke dekat jendela.
Gemuruh hujan sempurna menyamarkan segala suara. Orang itu begitu tenang, tidak menyadari keberadaan Kenzie di balik kursi. Ia mengeluarkan sebilah belati panjang–hampir mirip dengan pisau shashimi tetapi lebih tebal. Kemudian, dengan sadis memotong lengan mayat. Bunyi gesekan terdengar ngilu di telinga.
Kenzie tidak tinggal diam, amarah memuncak sampai ubun-ubun. Siapa pun orang itu, ia harus menghentikannya. Dengan satu gerakan, pemuda itu muncul tanpa menarik perhatikan. Tangkas menendang kuat-kuat si bedebah sadis di hadapannya. Belati terlepas, pemilik punggung bungkuk tersebut meringis. Betapa terkejutnya ia melihat Kenzie. Tergagap-gagap.
Satu pukulan telak mengenai rahang, orang itu terjengkang. Kenzie meraih kerah bajunya. “Siapa kau? Apa yang akan kau lakukan terhadap mayat ini? Jawab!” tanyanya dengan nada tinggi.
Orang itu bergeming. Darah bercucuran dari mulut dan hidung. Matanya berkunang-kunang.
“jawab atau kupatahkan leher kau!” ancam Kenzie tidak main-main. Tatapan matanya begitu tajam.
Bukannya menjawab, orang itu malah tertawa. Kenzie makin geram. Tangan kirinya yang bebas, mengepal. “Aku tidak bercanda! Siapa yang mengirim kau? Orang kaya? Atau orang terpandang di negeri ini? Kenapa target kalian para pejabat?”
“Patahkan saja leher gue! Kalau gitu, kan, gue enggak usah jawab pertanyaan. Cepet! Gue cape jadi tukang buang mayat begini. Bunuh saja!” pekik si pemilik punggung bungkuk menggunakan dialek daerah. Badannya bergetar.
“Tukang buang mayat? Maksudnya? Jelaskan lebih rinci!” Kenzie memukul kursi hingga patah. Seringai jahat ditampakkan kembali untuknya. Sang guru meraung, tangannya mencengkeram leher orang itu dengan kuat.
Sontak suara sirene mobil patroli membelah gemuruh hujan, para polisi berlarian masuk. Kenzie berpaling, berdiri melihat ke arah jendela. Cahaya dari lampu mobil menyinari pekarangan. Setidaknya ada tiga unit tiba berbarengan. Mereka benar-benar terlambat.
Di samping itu, Omar berhasil memojokkan lawan. Pistol terlempar jauh, senjata tonfa miliknya pun tergeletak. Mereka bertarung dengan tangan kosong. Setelah jual beli pukulan, tepat saat serangan mematikan terakhir dari Omar datang, lampu mobil dan suara bising sirene menghentikannya. Fokus sang polantas terpecah. Lawannya terperangah.
Radio tangan berbunyi. Suaranya seperti berbisik-bisik tak jelas. Omar mengabari keberadaannya. Dari bawah, derap pasukan polisi terdengar. Akhirnya, si pembunuh ini akan ditangkap! Tamat sudah riwayatnya.
Rupanya, lawan lebih lihai dari perkiraan Omar. Justru inilah kesempatannya untuk kabur. Akibat sorotan lampu mobil yang menerobos masuk lewat jendela, pandangan sang polantas jadi terhalang. Ia harus menyipitkan mata agar tetap bisa melihat. Mengandalkan itu, si pembunuh melontarkan pukulan. Tepat mengenai rusuk. Omar lunglai, jatuh. Lawannya cepat-cepat lari.
Sebelum hilang kesadaran, Omar melihat siluet Kenzie datang menghampiri. Bersamaan itu para polisi sampai di tempatnya. Guntur menggelagar. Angin kian melolong. Malam ini ibu kota dinaungi kemarahan. Dua pemuda itu berhasil memergoki aksi pembunuhan. Bahkan, berhasil membekuk kaki tangan tersangka. Si pemilik punggung bungkuk itu pasti memiliki banyak informasi, tak pelak lagi.
***“Kau baik-baik saja, Omar?” Kenzie mendampingi sang polantas di dalam mobil ambulans. Selain tulang rusuknya yang terasa nyeri, tidak ada luka lain. Ia sempat pingsan karena syok. Di samping itu, kepolisian sudah mengamankan TKP.
Sungguh tidak main-main, siapa pun bisa mengidentifikasi siapa pejabat yang kini sudah jadi mayat ini. Seorang lelaki paruh baya mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Bukan hanya itu, ia juga seorang Presiden Organisasi Parlemen Anti Korupsi Sedunia. Jika begini, artinya si pembunuh masuk dalam sebuah kelompok yang ingin menumbangkan para penguasa paling berpengaruh dalam perpolitikan negara.
“Sekarang jelas, kita bukan menghadapi pembunuh bayaran biasa. Lihatlah, Omar, hubungan ketiga korban kini terungkap. Jika seorang petinggi seperti mereka bisa dengan mudah disingkirkan, kita lebih lagi. Masyarakat biasa sepertiku hanya bisa berkomentar dari belakang. Para aparatur negara yang memiliki hierarki kekuasaan, pasti mengikuti atasan. Ini ulah kelompok gelap. Sindikat rahasia yang mengincar kursi legislatif. Dengan begitu mereka bisa bermain dengan hukum dan undang-undang!” geram Kenzie.
Omar mengerang. Memukul sisi ranjang. Ia tidak bisa membantah Kenzie, mayat si pejabat cukup jadi bukti. Terlebih, ia sangat kesal karena lengah dan harus kehilangan tersangka penting. Sialan! Kariernya di kepolisian selama ini dirontokkan oleh satu tinjuan. Lain kali, hal itu tidak akan terjadi.
“Oligarki. Mereka pasti semacam itu.” Kenzie masih bergumam. “Omong-omong, Omar, kau melihat wajah si pembunuh? Oh, ya, orang yang kutangkap adalah pembuang mayat. Dilihat dari postur tubuhnya, aku yakin dia tersangka ketiga yang terekam kotak hitam.”
“Bagus, artinya aku tidak salah. Bedebah itu pantas mendapat hukuman. Untuk si pembunuh, aku melihat wajahnya. Tapi, agaknya tidak asing. Dia mirip dengan asisten guru kau di pelatihan. Melihat ketangkasannya ia pasti pesilat hebat,” jawab Omar membuat Kenzie terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jamur Busuk Negara [Complete]
AcciónSeorang pejabat dinyatakan hilang, Omar sebagai seorang polisi lalu lintas diberi wewenang untuk menyelediki posisi kendaraannya. Hingga pada suatu malam, ia dan seorang temannya, Kenzie, menemukan keberadaan mobil si pejabat. Mereka susah payah mem...