“Maksud kau? Dengan pecahan kaca itu kau bisa menguak pelaku pembunuhan sekaligus kelompok yang berperan penting di belakang, begitu?” tanya Omar tidak mengerti. Kali ini Kenzie mengeluarkan kesimpulan besar. Keyakinannya naik setelah bertemu Parviz di ruang keamanan, bahwa ada sebuah sindikat yang tengah beroperasi secara diam-diam.
Seorang polisi seperti Omar saja tidak bisa menyimpulkan sejauh itu. Namun, tatapan mata Kenzie amat kukuh. Tidak ada kebohongan ataupun keraguan pada ronanya. Langkah mereka terhenti. Sudah dua menit yang lalu dua pemuda itu meninggalkan trotoar. Beranjak lebih dari satu percakapan. Membahas hasil penyelidikan.
“Bila kau masuk unit khusus, mungkin akan menyadari ada sesuatu yang salah sejak awal. Penembakan sopir bayaran itu, kemudian kasus ini, dan entah apalagi nanti. Semuanya terorganisasi. Peran pembunuh bayaran yang bekerja secara profesional menunjukkan orang di atasnya ingin membereskan target tanpa ribut-ribut, dan kemungkinan besar akan mengambinghitamkan seseorang apabila nama atau kelompoknya terancam,” singkap Kenzie.
Omar tertegun, mengerutkan kening. Merasa tersindir karena Kenzie berkata begitu. Ia membalas, “Wah, sejak kapan kau lebih pintar dariku? Aku tahu, sejak awal memang janggal. Tapi, bagaimana mungkin bongkahan kaca itu membuatmu berspekulasi jauh? Ingat Kenzie, kemungkinan dalam sebuah kasus itu banyak sekali, dan yang kau jelaskan tadi itu terlalu jauh. Setidaknya, bukti kita masih teramat lemah. Rekaman kotak hitam dan benda itu hanya menjelaskan kematian orang tua kau bukan kecelakaan.”
Sang polantas menggaruk rambut. Entah kenapa ia jadi kesal sendiri melihat Kenzie masih saja bersikeras. Padahal, mereka bisa langsung pergi beristirahat tanpa perlu berdebat. Agaknya, Omar tidak akan puas sebelum menyelesaikan ini. “Satu lagi, aku masuk lalu lintas karena itu pilihanku. Jadi, jangan macam-macam dan seolah kau sendiri pantas masuk unit khusus!” pungkasnya dengan tatapan berang.
Kenzie menunduk. Merasa bersalah sudah memancing emosi Omar. Lelah seharian ini pasti membuatnya lebih sensitif. Tidak ada pilihan, ia pun mengeluarkan sesuatu dari saku celana. “Iya, aku mengerti. Benda kecil ini saja sudah membantuku selama di gedung, jadi pemiliknya juga pasti sangat terhormat.” Sang guru menyodorkan benda tersebut sembari tersenyum.
Sebuah lencana berwarna kuning berkilauan terpantul lampu kendaraan. Kenzie dengan penuh ketenangan nan dihiasi rona wajah ceria menunggu, sementara Omar mengembuskan napas dalam-dalam, menerimanya. Redam emosi yang sempat naik itu.
Di kejauhan, Iptu Maya keluar dari sebuah ruangan, mendekati mereka yang tengah berdiri di tempat parkir. Langkahnya pelan dan anggun, khas seorang polwan penuh wibawa. Kharismanya tak terkalahkan meski langit sudah gulita. Sungguh, membuat siapa saja terlena.
Polwan itu berhenti, diperhatikannya sebentar Omar dan Kenzie. Mengulum senyum, kemudian menyapa mereka. “Kalian pasti habis keliling. Apa yang kalian dapatkan? Oh, ya, Guru Kenzie ini hasil penyelidikan kami. Kasus kecelakaan tersebut resmi ditutup tadi sore. Lebih jelasnya kamu bisa baca isi dokumen.” Iptu Maya memberikan amplop besar.
Sebelum Kenzie bereaksi, Omar lebih dulu mengambilnya. Tanpa memedulikan Iptu Maya, ia lekas membaca. Mata bulatnya mengikuti deret kata yang membentuk kalimat berparagraf. Bukan main semangatnya menjinakkan setiap halaman. Tak sampai lima menit, polantas itu mengempaskan tangan.
“Maaf, Iptu Maya, kenapa ini begitu tiba-tiba? Tidak ada penyelidikan lanjutan? Korban juga termasuk anggota dewan, mungkin kecelakaan itu disengaja oleh orang yang memiliki dendam,” tanya Omar kemudian sembari memiringkan kepala. Di samping, Kenzie merebut dokumen tersebut.
“Ya, aku mengerti. Nanti jika ditemukan bukti baru, penyelidikan akan dilanjutkan. Jangan khawatir. Mulai besok kembalilah bekerja, tim satu membutuhkanmu di lapangan. Pelanggar lalu lintas sudah semakin membandel,” jawab Iptu Maya sedikit bercanda. Tak berlama-lama ia pun pamit, melepas dua pemuda dengan perasaan semakin hancur.
Kesal bercampur letih membuat sang polantas tak berpikir jernih. Saat emosi sudah menyusut karena Kenzie tadi, kali ini rupanya berkembang lagi. Ia membanting pintu mobil, berseru kesal. Hasil yang dituai hari ini teramat mengecewakan.
***Latihan bela diri setiap sore tetap berjalan meski guru utama tidak hadir. Guru Samas mengambil alih sementara, melanjutkan latihan dasar kuda-kuda dan pukulan lurus ke depan. Abimayu beserta kawan-kawannya selalu bersemangat. Bagi mereka hal tersebut seperti membangun benteng, sehingga bersabar nan penuh percaya diri adalah pasak utama.
Hari ini Kenzie menyambut kedatangan mereka, ia kembali beraktivitas normal karena investigasi dihentikan. Lagi pula, sebagai masyarakat biasa tidak banyak yang bisa dilakukannya. Jika bukan karena dukungan seorang teman, ia mungkin akan berdiam diri. Bukti-bukti kecil yang didapat tempo hari, sementara waktu tidak terpakai.
Para murid bersorak gembira, Abimayu lebih-lebih. Guru favorit akhirnya muncul. Kenzie dengan pakaian serba putih dibalut sabuk hitam yang melingkar di pinggang, tengah mengikat rambut ke belakang. Di ambang pintu sebuah ruangan yang kini dijadikan tempat pelatihan, ia menerima salam setiap anak. Sedang di dalam, Guru Samas sudah berdiri mantap.
Lima menit kemudian, pertunjukan dibuka. Seperti biasa, Kenzie menampilkan bela diri dalam bentuk seni keindahan gerakan. Anak-anak menyaksikan penuh minat. Guna terbiasa, sang guru sengaja mempertontonkan gerakan ini. Mereka akan dengan sendirinya menyimpan setiap praktik dalam ruang di kepala. Sehingga, bentuk pengaplikasian akan mudah dan otomatis cepat berkembang. Teknik jitu, begitulah pemuda berusia tiga puluh tahun itu memulai latihan.
Satu, dua, tiga gerakan maju diiringi pukulan. Kali ini para murid mengikuti pelatih di depan. Teriakan sengaja dibuat nyaring agar semangat lebih membara. Entakkan kaki di lantai berdebum beriringan, seperti sebuah tarian. Dengan modifikasi tendangan, gerak laku semakin indah. Kombinasi aksi pertama yang memukau.
Kenzie bukan guru biasa. Ia tumbuh dengan berbagai kompetisi dan segala jenis latihan bela diri. Medali kemenangan terpajang di atas lemari, berderet bagai tiang-tiang penyangga. Setiap bentuk pelatihan yang diikuti menyediakan pakaian khusus, pemuda itu memiliki semuanya lengkap dengan sabuk hitam. Namun, hanya satu yang sampai kini ia kenakan. Setelan gombrang putih polos tanpa lambang dan tulisan.
Variasi bela diri yang dilatih sejak kecil membuat Kenzie kreatif dan lihai dalam setiap gerakan. Menariknya, saat bertemu Guru Samas dan memulai pelatihan anak-anak, praktik yang akan dipelajari sudah mereka sepakati. Bahkan, tanpa malu Guru Samas ingin turut mendalami teknik yang dimiliki pemuda bersabuk hitam itu. Luar biasa.
Pukul lima sore, para murid terengah-engah kelelahan. Baju hampir basah karena peluh. Mereka menggelepai di lantai bagai dahan yang patah, roboh begitu saja saat latihan selesai. Kondisi fisik tidak sebugar orang dewasa dan kekuatan masih di bawah rata-rata, tetapi sore ini mereka sangat bersemangat sehingga tak menyadari kapasitas.
Guru Samas menarik napas, merapikan pakaian. Berjalan keluar setelah mengangguk pada Kenzie sebagai izin. Orang tua yang ingin menjemput sudah menunggu, dan guru hendak menyambut mereka. Sementara di dalam, pelatih berpakaian putih tengah duduk beristirahat bersama anak-anak. Dorongan hati menyuruhnya melakukan itu.
“Luar biasa hari ini, Guru! Kami seperti bertarung sungguhan. Sayang sekali waktu terlalu cepat habis,” cakap Abimayu sembari duduk bersila. Rambutnya basah kuyup karena keringat.
“Begitulah, Nak. Aliran waktu tidak akan sanggup kita taklukkan ataupun kendalikan. Larinya lebih cepat dari kuda perang, tusukannya amat tajam melebihi pedang. Sekali-kali jangan pernah merasa gagah, lalu dengan percaya diri membawa belenggu untuk meringkusnya. Nak, miliki waktu dengan menggunakannya secara baik,” balas Kenzie melantur. Tatapannya kosong seolah kehilangan sesuatu.
Abimayu yang mendengar kalimat itu membulatkan mulut, Anak-anak lain tertarik dan mendekat. Kenzie kemudian menyadari ada yang salah. “Eh, tunggu, aku malah berkata sok di depan kalian.” Ia tertawa.
“Tidak, tadi tiba-tiba Guru seperti nona TV yang sering membacakan puisi itu. Rancak kali!” ungkap salah seorang anak, mengacungkan ibu jari.
“Benar! Nona TV yang punya rambut sebahu itu. Matanya dalam sekali mirip orang Arab. Ayahku tidak bosan melihat siarannya, padahal cuma bahas politik. Aneh!” timpal anak lain menggelengkan kepala. Wajah jenakanya mengundang tawa.
“Nona TV?” batin Kenzie keheranan. Ia pun turut berkomentar, “Aish, kalian bisa saja, ya. Sudahlah, orang tua kalian menunggu. Ayo, kuantar.”
Sesampainya di luar, mereka berhamburan menghampiri orang tua masing-masing. Kenzie mengantar Abimayu kepada Ismawan yang tengah bicara dengan Guru Samas. Dua lelaki itu tampak akrab sekali. Menilik yang disampaikan muridnya dua hari lalu, bapak bertubuh jangkung tersebut baru-baru ini kembali. Sang guru jadi penasaran.Ismawan mendapati kedatangan Kenzie, menyapanya. Pemuda berambut panjang itu harus memastikan sesuatu, segera bertanya, “Bapak dan Guru Samas sepertinya kenalan lama, kalian pernah bertetangga sebelumnya?”
“Oh, ya, kami memang saling kenal,” jawab Ismawan singkat.
“Bukan jiran, tetapi kami pernah menjadi bahagian di Timur Tengah sebagai sukarelawan perubatan. Saya kembali awal karena cedera. Guru Kenzie, tahu betul ketika pertama kali datang ke sini kaki saya masih tempang,” tambah Guru Samas.“Ah, iya. Aku ingat sekali.” Kenzie mengangguk, kembali berpaling kepada Ismawan. Masih ada satu hal yang ingin ditanyakan. “Kalau saya boleh tahu, tiga hari lalu, saat kecelakaan orang tua saya Anda berada di plaza di Jalan Gatot Subroto, benar?”
Ismawan bergeming. Menatap dalam-dalam mata sang guru.
“Maaf, saya hanya ingin tahu apakah Anda salah satu nasabah di sana?” Kenzie memperbaiki pertanyaan.
Tidak ada pilihan, akhirnya Ismawan membuka mulut. “Benar, saya nasabah baru di sana. Hampir setiap hari datang, kebetulan hari itu juga. Saya tidak tahu apa-apa jika menyangkut kecelakaan.”
Kenzie mengerti, cepat-cepat berterima kasih. Mungkin hanya kebetulan Ismawan menatap kamera saat kejadian. Namun, apa dua kali tetap dinamakan kebetulan? Tidak. Jika ingin menuduh, setidaknya ia punya bukti konkret bukan sekadar praduga belaka. Itulah mengapa ia bilang pada Omar untuk tidak mencurigainya berlebihan.
Abimayu dan ayahnya pun pergi. Suasana kembali hening, tersisa Kenzie dan Guru Samas yang masih berdiri di luar. Sebenarnya, Kenzie juga ingin bertanya pada guru tentang bongkahan kaca yang ia punya, tapi ada kemungkinan itu akan berakibat buruk. Entah, hati berprasangka seperti itu.
Kendati langit kian kelam, Guru Samas bersiap-siap pulang. Ia mengeluarkan motor yang diparkir agak menjorok ke dalam di sebuah celah antara dua bangunan. Penuh hati-hati menyiapkannya. Saat menyala, suara bising knalpot membuyarkan lamunan Kenzie. Pemuda itu menoleh, menatap kendaraan tersebut.
“Tunggu, bukankah ini motor yang digunakan si penunggu tersangka ketiga? Jenis sama, RX-King. Sekilas benar-benar mirip seperti yang ada di rekaman kotak hitam. Aneh sekali, kenapa dua dari tiga tersangka memiliki hubungan dekat dengannya? Omar pasti salah mengira, ini tidak mungkin,” gumam Kenzie samar.
“Guru, ini motor milik kau?” Kenzie memastikan.
“Betul, ini saya punya. Sangat selesa ketika dipakai,” jawab guru sambil menepuk jok bangga. Ia meneruskan, “Guru Kenzie pasti terkejut melihat saya membawa motosikal ini. Saya membelinya semalam.”
“Begitu.” Kenzie memahami kalimat yang disampaikan dalam bahasa Melayu tersebut. Mengangguk. Lagi-lagi, tidak ada gunanya curiga tanpa bukti nyata.
Angin malam melolong, langit ibu kota berubah kelabu. Awan hitam berarakan memenuhi angkasa. Sepertinya hujan akan turun. Kenzie berkemas, Guru Samas sudah pergi memacu motornya. Bisa bahaya jika terjebak di sana, hujan bisa menambah ruwet lalu lintas.
Tak butuh waktu lama, Kenzie sudah berlarian di trotoar. Hujan tak bisa menunggu walau sedetik, rinainya menyerbu datang. Ia harus mencari tempat berteduh sebelum basah, merepotkan memang. Kenzie pikir, mengapa Omar seharian ini tidak menghubunginya? Apa polantas itu masih kesal? Dasar, pasti menertibkan lalu lintas amat membosankan.
Di dalam sebuah halte, Kenzie berdiri, mengeluarkan ponsel. Jika sudah seperti ini, ia malas jika harus mencari kendaraan umum, lebih baik menghubungi teman dan meminta bantuannya. Patut dicoba. Saat nama Omar muncul di kontak, pemuda itu lekas menghubunginya.
“Pas sekali, Teman! Kau di mana? Aku punya kasus baru. Seorang pejabat menghilang pukul enam lebih tiga puluh lima sore tadi. Kabarnya baru sampai padaku empat menit yang lalu, dan kini aku akan mengecek TKP. Katanya mobil si pejabat ditemukan terparkir di depan sekolah SMA Negeri 24, Jalan Gelora. Tunggu di sana! Aku akan menjemputmu,” seru sang polantas tanpa jeda dari balik sana. Suaranya bercampur jeritan sirene dan dentuman air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jamur Busuk Negara [Complete]
AksiSeorang pejabat dinyatakan hilang, Omar sebagai seorang polisi lalu lintas diberi wewenang untuk menyelediki posisi kendaraannya. Hingga pada suatu malam, ia dan seorang temannya, Kenzie, menemukan keberadaan mobil si pejabat. Mereka susah payah mem...