Rambut hitam yang hampir menutupi seluruh wajah dibiarkan tergerai. Walau demikian, tak sehelai pun menghalangi gerakan indah sang guru dalam menampilkan seni bela diri. Tangan dan kaki beraksi tanpa cela, selayaknya pesilat sabuk hitam. Deru napasnya bahkan terdengar beraturan. Mengagumkan.
Di depan, para murid menyimak saksama. Tatapan kagum terpancar cemerlang dari mata mungil mereka. Tidak sedikit seruan-seruan menghebohkan suasana. Pertunjukan singkat pembuka latihan selalu memukau.
Kenzie menutup pertunjukan, menghadap murid dan berkata, “Baik, Anak-anak, hari ini kembali lanjutkan latihan kalian. Tersisa beberapa sesi lagi untuk masuk tahap berikutnya. Semangat!”
“Siap, Guru! Tapi, beri kami bonus hari ini. Sesuatu yang berbeda dan begitu menakjubkan, kami ingin melihat hal itu!” seru murid tertua bernama Abimayu, yang langsung disambut sorak gembira murid lainnya.
Kenzie menatap mata mereka, rasa antusias anak-anak memang luar biasa. Jika tidak dipenuhi akan membahayakan. Semangat latihan redup dan wajah mereka sepanjang hari bisa tertekuk. Sungguh bukan yang diinginkan sang guru.
Konsistensi harus dijaga, maka untuk hal itu keceriaan adalah poin utama. Anak-anak bukan senjata, tentu saja, mereka adalah wadah kosong yang harus diisi dengan hal-hal baik. Salah-salah akibatnya berkepanjangan. Mengingat itu, Kenzie tidak punya pilihan. Ia mengangguk, bersiap melakukan sesuatu.
“Perhatikan baik-baik. Ini adalah bonus kalian. Jangan meminta lagi. Ingat, ya!” tegas Kenzie dibarengi senyum. Ia mengambil kuda-kuda dan menyuruh asistennya maju. “Guru Samas, hadapi aku. Kita tunjukkan pertarungan nyata.”
Mereka berdua berhadap-hadapan. Seolah bertarung antara hidup-mati, semua gerakan diperagakan sempurna. Mulai dari tatapan awas, kepalan tangan, hingga deru napas. Teratur dalam frekuensi yang menegangkan.
Ketika pukulan pertama datang, kenzie mengelak ke bawah. Posisi kaki dari kuda-kuda tetap kokoh. Tubuhnya merendah, dan sedetik kemudian pukulan balasan dilancarkan. Tak terlihat, begitu cepat menembus pertahanan lawan. Guru Samas mundur beberapa langkah.
Murid bersorak-sorai. Suasana semakin ramai. Kenzie mengambil jeda, memasang ulang kuda-kuda. Guru Samas melakukan hal yang sama. Dengan penuh insting, kali ini giliran guru idola menyerang pertama. Rambutnya beterbangan seiring pukulan dan tangkisan bergantian dilakukan. Mereka berdua bertahan lama. Saling berusaha menjatuhkan.
Tendangan melingkar yang dilancarkan Kenzie rupanya berhasil ditangkis. Guru Samas menahan tangan di udara, lalu menyerang balik. Tangkas dan ringkas. Namun, tidak cukup kuat untuk merobohkan pertahanan atasannya tersebut. Kenzie dengan mudah mengatur serangan berikutnya.
Kalian pasti kenal petinju yang berhasil mengalahkan lawan-lawannya degan hasil KO sebanyak 44 kali dalam 56 pertandingan, bukan? Ya, ia adalah si Leher Beton. Petinju kelas berat dengan reputasi populer. Badannya yang besar bagai benteng tak tertembus. Namun, terpenting ialah kehebatan tinjunya. Percaya atau tidak, Kenzie bisa mengerahkan kekuatan sehebat dirinya dalam satu pukulan. Bahkan, lebih kuat lagi. Oleh karena itu, ia dijuluki dengan si pemilik tinju peroboh tembok.
Akan sangat disayangkan jika Guru Samas menerima pukulan tersebut. Beruntung Kenzie menahan diri karena yang tengah dilakukannya adalah pertunjukan untuk murid-muridnya, bukan pertarungan hidup-mati. Ia menghentikan serangan. Membiarkan para penonton terpukau lebih dalam.
Guru Samas mengerjap. Rambutnya berantakan tersapu angin dari pukulan Kenzie. Mematung beberapa detik. Melihatnya begitu, pemuda yang memasuki usia kepala tiga itu tidak tinggal diam. Ia menepuk bahu asistennya, tersenyum. Memberi hormat satu sama lain. Pertunjukan pun selesai.
“Bagaimana? Sudah cukup, kan?” Kenzie bertanya pada para murid setelah berhasil mengatur napas.
“Wah, hebat sekali. Guru Kenzie luar biasa, Guru Samas juga!” seru salah seorang dari mereka.
“Aku tidak tahu Guru punya jurus mematikan seperti itu, tolong ajarkan aku!” Abimayu seperti biasa sangat antusias. Matanya berbinar-binar penuh semangat.
“Tidak sekarang. Tolong ingat kembali, ya, Anak-anak. Berlatih bela diri bukan untuk bergaya dan memukuli teman tak berdaya. Bela diri selain seni bertarung dan melindungi diri, juga merupakan bentuk kepercayaan terhadap adanya Tuhan yang Maha Esa. Jadi, jangan jadikan alasan untuk menyombongkan diri,” kata Kenzie takzim.
“Oh, ya, sudah pukul lima lebih. Latihan kita usai. Pulanglah kalian.” Para murid bubar satu per satu. Mereka pergi dengan heboh, saling membicarakan betapa hebatnya guru tadi. Tak dimungkiri, siapa pun akan berkomentar sama saat melihat gerakan Kenzie bertarung. Amat indah dan penuh makna.
***
Sirene mobil patroli menusuk telinga. Polantas berseragam rapi tengah menginvestigasi tempat menghilangnya pejabat negara tempo hari. Lalu lintas Jakarta yang tak ramah membuat kendaraan berderet bagai rombongan semut pengangkut permen. Cahaya lampu jalan berpendar di atas genangan air sisa hujan seharian. Dengan formula tersebut, malam menjadi kian berat untuk dilalui. Ditambah kasus ganjil yang ditangani itu, Omar, sang polantas hanya mampu menggaruk-garuk rambut.
Sebenarnya, sebagai polantas tugasnya hanya mencari keberadaan mobil si pejabat, bukan malah menyelidiki kasus besar. Dasar, atasannya selalu saja menyerahkan hal yang dianggap remeh-temeh tersebut. Jelas-jelas itu di luar kewenangannya. Namun, menolak sama saja tidak bisa naik pangkat.
“Sialan! Mereka selalu berbuat seenaknya!” Omar mencibir. Diambilnya ponsel dari saku celana, mengetik sebuah nomor, lalu menghubunginya.
Tak berselang lama, Kenzie datang membawa sepaket makanan. Tentu saja, Omar tahu harus meminta bantuan pada siapa saat masa genting seperti itu. Satu-satunya teman akrab yang bisa diandalkan.
“Maaf, Kenzie. Aku sangat lapar, belum makan sejak siang. Seharian harus berputar-putar di tengah hujan mencari mobil yang hilang. Itu membuatku hilang akal!” papar Omar sembari menyambut bekal yang dibawa Kenzie. Ia membukanya cepat-cepat.
“Teman, kau benar-benar penyelamatku!” Omar melahap dengan penuh semangat, sementara Kenzie hanya mengibaskan tangan. Dua lelaki yang tak lagi muda itu adalah teman masa kecil. Sudah seperti saudara, keakraban mereka berada di atas rata-rata. Hampir sepanjang karier keduanya tetap berteman meski berbeda profesi.
Kenzie fokus menatap jalanan. Matanya mengikuti gerakan setiap kendaraan yang hilir-mudik. Sesekali melihat Omar yang bagai kesetanan menghabiskan makanan. Di sela-sela itu, Kenzie bertanya Omar tengah melakukan apa bersama mobil patroli lengkap. Namun, ia menyesal dan mengakui lebih seru menyaksikan lalu lintas.
Omar menyelesaikan makan lebih cepat, lalu bercerita panjang lebar. Kenzie hanya mengangguk-angguk. Sudah biasa, seorang Omar pasti berisik dan tak bisa diam. Sifat yang begitu melekat sejak kecil. Kepada temannya ia akan melepas beban seharian begitu saja, tanpa tedeng aling-aling ataupun rasa malu.
“Kau tahu, Kenzie? Aku memang berpangkat rendah, tapi otakku setara detektif di unit kejahatan berat. Lihat saja, aku berhasil menemukan gedung tempat menyembunyikan mobil hilang milik si pejabat. Aku akan ke sana, kau mau ikut?” sang polantas membuka pintu mobil. Parahnya, Kenzie menjadi tertarik dengan kasus ini. Ia harus menyaksikan penyelidikan Omar selagi ada kesempatan bagus. Ia pun mengangguk, masuk ke dalam mobil.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di dalam, Omar bagai radio yang tak bisa diputar tuasnya, menyampaikan apa saja sesuai kehendak. Menariknya, ia mulai menjabarkan hasil investigasi.
“Laporan itu menyatakan bahwa si pejabat tidak pulang semalaman. Mobilnya tak ada di garasi ataupun di tempat parkir gedung DPR. Keluarganya yang khawatir menelepon kantor polisi. Berharap setelah kami meninjau TKP dan memastikan kebenaran laporan tersebut ada keajaiban, meski itu berupa panggilan dari pencuri yang meminta uang. Sayangnya, tidak ada. Maksudku, hal tersebut menandakan ini bukan kasus pencurian amatir yang hanya menginginkan imbalan uang. Dari TKP, aku juga mendapatkan beberapa saksi. Mereka bilang, tidak ada keanehan saat mobil si pejabat meninggalkan tempat parkir. Semuanya normal,” jelas Omar.
“Jadi, kau memprediksi ini adalah hal besar atau semacam itulah? Serangan balas dendam atau penculikan teror suatu ambisi, mungkin?” Kenzie bertanya.
“Yah, aku tidak berani menyimpulkan kalau ini serangan teror atau serupa itu. Pokoknya, kita harus segera memeriksa kondisi mobil yang hilang itu. Moga-moga si pejabat baik-baik saja,” jawab Omar disertai wajah tegas penuh harap. Ia menekan pedal gas lebih dalam. Kenzie turut waspada.
Lima menit kemudian, gedung yang Omar maksud sudah di hadapan. Saat bersiap-siap masuk, sekonyong-konyong sebuah mobil melaju kencang keluar dari tempat parkir. Kacanya yang hitam tak memperlihatkan si pengemudi. Omar menginjak pedal rem, roda depan mendecit. Ia membanting setir, cekatan berbalik arah. Mengejar mobil tersebut.
Kenzie tidak bodoh sehingga harus bertanya mengapa Omar memutar mobil, membuatnya tertampar kaca samping. Itu jelas, bukan? Ia mengejar mobil hilang yang dicari-carinya. Bagai dikendarai hantu, mobil sedan itu melesat cepat. Menghiraukan rambu lalu lintas.
“Sialan! Apa maksudnya ini? Apa pun yang terjadi, kita harus menangkapnya!” seru Omar lantang. Mobil dipacu semakin cepat. Sirene meraung di tengah jalan. Menerobos jalanan ramai. Kendaraan lain menyingkir demi mendengar suara dengung itu.
Aksi kejar-kejaran berlangsung. Mobil bercat biru gelap di depan mereka seperti tak mengenal takut, melibas jalanan sesak begitu galak. Bunyi klakson dari pengendara lain diabaikan, apalagi umpatan tukang ojek dan sopir bajaj. Kenzie memasang sabuk pengaman erat-erat. Ia memikirkan sebuah rencana. Entah berapa persen tingkat keberhasilannya, tapi ia yakin itu rencana bagus.
“Omar, kau mengenal baik jalanan ini?” tanya Kenzie.
“Tentu saja, Bung! Aku bekerja di jalanan ini. Berpatroli setiap hari di sini!” jawab Omar mantap, tidak ada keraguan.
“Bagus! Kalau begitu kau tahu, kan, dua kilometer lagi adalah zona macet terparah di ibu kota. Sebelumnya, ada dua tikungan. Aku yakin mobil di depan kita akan melalui salah satunya. Aku juga berani bertaruh, tikungan kanan yang akan dipilih! Sebelum itu terjadi, kita harus mencegahnya!” Semangat Kenzie berkobar. Matanya menatap lurus ke depan.
“Baiklah. Aku tidak mempercayaimu seratus persen, tapi rencana itu patut dicoba. Yah, aku paham apa yang harus dilakukan.” Omar menyalip dua mobil sekaligus. Memangkas jarak. Ia melihat sekeliling, menunggu kesempatan untuk memasuki jalanan lebih kecil di sebelah kanan. Tak boleh telat walau sedetik.
“Sekarang!” pekik Kenzie di samping. Omar menginjak pedal rem dan membanting kemudi. Mobil berputar, melewati tukang bakso yang tercengang, memasuki jalan kecil yang relatif lengang. Namun, supaya lebih afdal, polantas itu menekan klakson sepanjang jalan.
Mobil patroli mengebut. Meliuk-liuk di tikungan. Tanpa ampun melibas jalanan. Berharap tidak kehilangan mobil yang dikejar hanya demi mencoba rencana dadakan Kenzie ini. Konyol sekali jika ternyata mereka tidak mendapati apa pun.
Maka, tepat di depan adalah pertemuan dua jalur dari arah yang berbeda. Titik buta paling cocok untuk menghadang sebab bentuknya adalah tikungan. Pertanyaannya apa akan berhasil? Omar mematikan sirene, mobil berpacu dalam keheningan. Sorot cahayanya menyinari ujung jalan.
“Di mana mereka!” Omar menatap tajam Kenzie. Mereka tidak mendapati siapa-siapa, selain para remaja tanggung yang lari tunggang-langgang ketakutan hampir ditubruk mobil patroli. Asap kecil menguap ke udara dari roda yang terbakar aspal akibat mengerem. Mereka berada di tengah titik temu dengan kehampaan.
Namun, Kenzie tidak ingin menyerah. Ia mengedarkan pandangan. Mencari ke sekeliling kompleks. Omar di sampingnya tidak sabaran, mulai memaki-maki. Rencana Kenzie benar-benar konyol. Sang polantas memperbaiki anak-anak rambut yang mencuat. Masih tidak terima atas hasil mengecewakan ini.
“Tunggu sebentar, Omar. Mungkin mereka belum tiba.” Kenzie mencoba menenangkan.
“Apanya, hah! Lihat, kita benar-benar konyol. Kehilangan buruan!” Omar dan sifat pemarahnya, itu paket komplet. Ia memukul setir. Tidak tahu harus bagaimana lagi. Mesin mobil yang masih menyala bergetar halus.
Apakah keajaiban itu ada? Jika iya, maka mereka mendapatkannya. Mobil yang dikejar muncul dari belakang. Sungguh aneh. Bagaimana bisa? Ah, Kenzie keliru soal tikungan terakhir–sebelum tempat menghadang ini. Rupanya, pengemudi mobil itu mengambil jalur lain. Akan tetapi, tidak masalah. Mereka sudah satu arah.
Omar yang menyadari itu cepat-cepat memundurkan mobil. Kenzie terlebih dulu turun dan berlari. Seluruh lampu mobil dimatikan. Dalam keadaan gelap mereka bisa menyamar dan bergerak lebih efisien. Beruntung sekali, buruan mereka tidak menyadari. Melajukan mobil dengan tenang. Seolah berhasil lolos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jamur Busuk Negara [Complete]
ActionSeorang pejabat dinyatakan hilang, Omar sebagai seorang polisi lalu lintas diberi wewenang untuk menyelediki posisi kendaraannya. Hingga pada suatu malam, ia dan seorang temannya, Kenzie, menemukan keberadaan mobil si pejabat. Mereka susah payah mem...