Bab 5: Pecahan Kaca Penyingkap Tabir

14 5 0
                                    

Hampir setengah jam berlalu sejak Kenzie dan Omar meninggalkan TPU Pondok Kelapa. Mereka kembali ke TKP di Jalan Scbd untuk mencari saksi mata, dan jika beruntung menemukan rekaman CCTV. Sebagai polisi mendapat hal seperti itu bisa dibilang mudah. Tunjukkan saja lencana, semua pihak mengikuti kehendak–walau tidak sedikit yang justru memberontak.

Tanpa mengganti pakaian, Kenzie tetap merasa nyaman berkeliling. Berpindah dari satu gedung ke gedung berikutnya. Omar cekatan bertanya pada sopir taksi yang hilir mudik hampir setiap waktu. Siapa tahu di antara mereka memiliki rekaman kotak hitam, atau setidaknya bisa memberi kesaksian.

Seperti kemarin tidak terjadi apa-apa, lalu lintas kembali berdesakan. Supaya lebih efisien, Omar memarkirkan mobil di Polda Metro Jaya. Bermodal buku catatan, dua pemuda itu berpencar. Mengerahkan kemampuan terbaik.

Kenzie menelusuri jejak tersangka pertama, lelaki jangkung yang dicurigai Omar sebagai Ismawan, ayah Abimayu. Ia memasuki gedung di seberang jalan. Sebuah plaza setinggi tiga puluh satu lantai dan memiliki tiga lantai bawah tanah. Posisinya sangat cocok digunakan penembak jitu. Meskipun demikian, entah tingkat ke berapa yang dipakai. Pepohonan yang berbaris antara Jalan Gatot Subroto dan Scbd sebetulnya cukup jadi gangguan.

Sang guru mendekati resepsionis, bertanya kepadanya apakah mengetahui kecelakaan kemarin. Setelah mendapat jawaban, ia menyodorkan ponsel berisi foto Ismawan yang sedang mengenakan jaket kulit dan celana jin. Resepsionis tampak berpikir seraya memeriksa buku besar di depannya.

“Bapak ini kemarin memang datang. Namun, ia tidak membawa barang seperti yang Anda sebutkan tadi. Berupa tas besar atau sejenisnya. Sudah dua hari belakangan ini bapak tersebut berlangganan kemari. Katanya, sih, jadi nasabah bank kami,” papar resepsionis sembari menunjukkan buku tamu.

“Begitu. Apa saya boleh melihat CCTV? Saya ingin melihat rekaman kemarin. Saat kecelakaan terjadi apa yang dilakukan bapak itu di sini. Nah, apa boleh?” Kenzie meminta dengan sopan. Namun, kelihatannya resepsionis tidak akan mengizinkan. Tiba-tiba tatapannya berubah penuh kecurigaan.

Kenzie menyadari itu, cepat menjelaskan lebih rinci. “Saya sedang menyelidiki bapak tersebut karena terduga sebagai tersangka pembunuhan. Ah, pasti Anda bertanya-tanya siapa saya?” Ia pun mengeluarkan lencana polisi. “Jadi, mohon bantuannya. Ini sangat mendesak dan sudah menjadi tugas saya.”

Resepsionis kebingungan sesaat, lalu beralih sibuk dengan telepon genggam. Sedikit memelankan suara dan berkata agak terbata-bata. Kenzie memandangnya aneh. Mengapa penerima tamu itu jadi takut? Ia memperhatikan dengan cermat.

“Anda mendapat izin dari kepala keamanan. Jika harus saya peringati, mungkin sekarang waktu yang tepat. Kepala keamanan kami mengerikan, Anda harus sopan dan berhati-hati. Datanglah ke lantai ini.” Resepsionis menunjuk sebuah lantai di denah gedung yang sengaja diperlihatkan. Kenzie menghafalnya cepat. Ia tidak mengerti mengapa harus seperti itu. Bukankah lebih mudah menyebut angka lantainya saja?

Kenzie mencermati sekali lagi denah gedung tersebut. Warna-warna berbeda digunakan untuk mencirikan ruangan tertentu. Jalur abu-abu dengan angka lantai berderet rapi. Nama tiap biliknya ditulis lebih besar agar mudah dibaca. Menilik apa yang ditunjuk si penerima tamu itu dan peringatannya tentang kepala keamanan menjelaskan satu hal, lantai yang akan dituju memiliki tingkat kesulitan tertentu. Atau memang sengaja di desain menakutkan. Keberadaannya membuat mata Kenzie menyipit.

Plaza seperti ini? Jangan bercanda. Kenzie tersenyum simpul. Ia segera menaiki lift, menekan tombol. Pintu menutup, menimbulkan suara dentingan pelan. Lampu-lampu kecil menyala setiap sampai di satu lantai. Tidak ada yang mencurigakan, semua berjalan normal seperti biasa.

Saat tiba di lantai sembilan belas, Kenzie keluar dan menyusuri koridor. Ia ingat, letak ruang keamanan ada di pojok. Denah tadi menunjukkan satu rute aneh yang tidak memungkinkan penjahat untuk kabur dalam kondisi mendesak. Entah bagaimana harus menjelaskan, intinya bagian ini hanya dapat ditembus oleh penjaga atau pemilik kartu khusus. Beruntungnya, resepsionis mengatakan jika sang guru akan dijemput langsung di depan pintu.

Jendela berkaca bening terpampang di hadapan. Ukurannya yang besar memungkinkan untuk melihat seluruh pemandangan di bawah. Bahkan, persimpangan tempat kecelakaan tampak jelas. Apa dari sini? Kenzie memeriksa bingkai dan lantai. Mencari jejak kejahatan.

Kala menyentuh tepian bawah, ia mendapati serbuk seperti debu tercecer. Mesiu? Jika benar, maka pasti akan ada jejak lubang di jendela. Atau benda ini bisa diangkat manual? Pemuda itu mencobanya, tapi tidak bisa. Jendela ini bahkan menggunakan kaca tebal yang bakal susah dipecahkan.

Belum selesai dengan itu, tahu-tahu dinding di sebelahnya membuka. Seseorang muncul dengan satu kaki siap menendang. Sontak Kenzie mengguling, mengandalkan tembok di belakangnya sebagai tumpuan, lalu melakukan sapuan bawah. Tak sampai sedetik, serangan itu telak mengenai kaki. Namun, kesigapan si penyerang di luar perkiraan. Ia bisa dengan mudah kembali berdiri.

Mereka berhadap-hadapan. Satu pukulan dilayangkan, Kenzie tidak menghindar, sengaja menjadikan itu sebagai tipuan. Lantas, tanpa aba-aba, sebelum tinju lawan sampai guru bela diri itu sudah lebih dulu membenamkan kepalan tangan. Persis di ulu hati. Si penyerang limbung, mengaduh kesakitan.

“Tikus yang kuat, saya suka! Nah, mari masuk,” ujar si penyerang bersikap baik-baik saja. Dinding di belakangnya ternyata adalah sebuah pintu. Jadi, itulah gerbang masuk menuju ruang keamanan.

Ditilik saksama, Kenzie mendapati lelaki muda dengan dada bidang, wajah tegas, dan alis tebal hitam legam. Sungguh menggambarkan keganasan. Apalagi, matanya menyipit tajam. Kenzie seolah menemukan perawakan dirinya dalam polesan terbaik. Si penerima tamu itu tidak salah.

Penuh hati-hati pemuda itu melangkah masuk. Petugas keamanan yang lebih menyerupai pegawai teknis berbaris, duduk di belakang komputer masing-masing. Setidaknya ada dua puluh orang. Di paling depan, layar raksasa jadi pusat semua aktivitas. Setiap CCTV di gedung itu terkoneksi dengannya. Kenzie dibuat takjub dengan pemandangan tersebut. Belasan titik gedung tersorot sempurna.

Namun, jujur tempat itu lebih pantas disebut ruang kontrol ketimbang ruang keamanan. Letaknya yang tersembunyi dan aksesnya yang susah mengesankan pemilik gedung menyembunyikan sesuatu di dalam sini. Biarpun begitu, Kenzie tak ambil pusing. Ia lebih butuh hal lain. Fakta tata letak dan arsitektur bukan tujuannya.

“Jadi, Anda ingin melihat rekaman CCTV kemarin?” tanya kepala keamanan.

Jamur Busuk Negara [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang