Bab 2: Kepulan Asap Panas

22 9 1
                                    

Kaca samping hancur berantakan. Pukulan Kenzie berhasil masuk dan menghantam kepala si pengemudi. Darah mengalir dari pelipis, mulut meringis. Entah seluput apa dirinya sampai tidak menyadari keberadaan mereka. Terlebih, seharusnya mobil di depan bersuara meski tidak bercahaya. Benar-benar celaka.

Omar mendekat. Pintu mobil dibanting keras, tidak peduli dengan kerusakan yang diperparah. Bagian belakang penyok berat pun hanya dilirik sekilas. Andai itu terjadi di tengah kota, mungkin keramaian tidak bisa dibendung.

Si pengemudi yang kesakitan dipaksa keluar oleh Kenzie. Tangannya melindungi wajah. Berusaha tidak ketahuan meski ia sudah tertangkap basah. Sejahat apa pun seseorang, dalam hatinya tetap tersimpan rasa malu. Karena hakikatnya dosa adalah sesuatu yang dibenci hati.

“Yang benar saja! Ini jelas bohong, kan?” Omar berseru marah, tidak percaya dengan kartu identitas si pengemudi. Hanya dua benda yang ditemukan saat menggeledah: kartu identitas yang menyatakan ia adalah seorang sopir bayaran dan dompet. Tidak terdapat barang-barang mencurigakan.

“Kalau begitu siapa yang membayarmu? Apa seseorang yang kau kenal? Mungkin kerabat, teman, atau rekan kerja? Bukan? Berarti klien baru? Apa persis perintahnya? Katakan!” Dengan tidak sabaran Omar menarik kerah si pengemudi, menatapnya buas. Kenzie tahu hal seperti itu dibutuhkan saat menginterogasi, tetapi apa tidak kelewatan? Ia menggeleng pelan, menepuk bahu Omar. “Tidak perlu berlebihan. Ia hanya sopir, bukan? Kita bisa bertanya lebih santai.”

Bukannya mengindahkan perkataan Kenzie, Omar justru menampar si pengemudi. “Oh, Kenzie. Kita tidak bisa bersantai dengan pelaku kejahatan. Pekerjaan ini membuat kita harus bersikap tegas.” Ia mengeratkan cengkeraman. Seragam polantas yang dikenakannya memberi kesan intimidasi.

Si pengemudi kian ketakutan, tidak bisa menjelaskan keadaan. Kenzie yang ramah pada siapa saja tidak nyaman melihat itu, memaksa Omar bersikap lebih sabar. Ia tahu betul seorang polisi harus bersikap tegas agar kebijakannya mudah ditaati. Namun, sering kali kekerasan disalah artikan menjadi ketegasan. Orang berpangkat tinggi seolah bebas bertindak, tidak merasa bersalah bila menginjak-injak. Tidak, itu bukan sifat yang baik. Omar tak boleh seperti itu.

Alhasil, setelah berhasil membuat suasana lebih santai si pengemudi angkat bicara, mengakui semuanya. “Saya mendapat telepon dari nomor tak dikenal. Sebenarnya, biasa. Bekerja sebagai sopir lepas sering mendapatkan panggilan begitu. Anehnya, klien kali ini hanya meminta saya mengambil mobil di sebuah gedung, lalu membawanya ke bantaran kali. Semudah itu. Tapi kemudian, saya mendapati dua buah jeriken penuh berisi bensin. Untuk apa? Saya tidak tahu.”

Omar mencatat, Kenzie menyimak. Tidak membiarkan satu petunjuk pun luput diingat. Dengan penerangan seadanya, mereka duduk bersandar pada mobil si pejabat. Membiarkan diri berdiskusi lebih dalam bersama keheningan malam.

“Tunggu dulu, jadi Anda tidak tahu nama klien yang menelepon? Hm ... baik, sepertinya mereka berusaha menghapus bukti dengan membakar mobil ini. Tapi apa? Ah, jelas sekali! Jejak menghilangnya si pejabat,” kata Omar, seraya menjentikkan jari. Wajahnya berseri-seri.

“Iya. Klien hanya memperkenalkan diri sebagai seorang interogator. Saya pikir, mungkin bagian dari sebuah perusahaan besar atau fraksi pemerintahan. Bukankah ini mobil seorang pejabat? Tapi tetap aneh rasanya.” Si pengemudi melanjutkan. Kenzie dan Omar saling tatap. Wah, tebakan sempurna dari seorang sopir lepas. Menarik.

Lalu, pertanyaan-pertanyaan berikutnya muncul. Sang polantas sibuk mencatat sembari memikirkan beragam kemungkinan. Kunci paling penting dalam kasus ini adalah keberadaan interogator. Entah bekerja untuk siapa, yang pasti bukan orang biasa. Terlebih, harga yang ditawarkan sekadar untuk membawa mobil tersebut tinggi sekali. Jauh di atas rata-rata. Jelas si pengemudi mengambil tawaran sebesar itu. Tergiur dengan angka kelipatan besar.

Kendati malam semakin larut, Omar mengajak semuanya pergi ke kantor polisi. Melanjutkan percakapan di sana akan lebih afdal, apalagi dibarengi secangkir kopi hangat. Tanpa terpaksa si pengemudi mengikuti ajakan tersebut, mulai bersiap-siap dengan memeriksa kondisi kedua mobil yang kelihatannya tidak rusak parah.

Kaca depan sedikit retak, kaca samping kanan hancur. Mobil si pejabat tidak mengalami kerusakan total. Bahkan, mesin lancar dinyalakan. Adapun mobil patroli Omar hanya bagian belakang yang penyok parah. Lampu rem dan sein mati, selebihnya baik-baik saja. Kesepakatan pun dibuat. Kenzie mengambil alih mobil bercat biru gelap, sementara si pengemudi bersama sang polantas.

Tepat saat pintu dibuka, pelatuk ditarik dari jarak 1.500 meter oleh seorang penembak jitu yang sejak tadi mengawasi. Benar-benar celaka, tidak satu pun menyadari peluru berkecepatan 3 mach atau setara 1.000 meter/detik datang membawa kematian. Begitu cepat, melintasi udara tanpa suara.

Sedetik.

Peluru menembus dahi si pengemudi. Darah memuncrat. Tubuhnya terkulai jatuh. Omar di hadapannya terkesiap, cepat-cepat menunduk dan masuk ke dalam mobil. “Kenzie, bersembunyi! Sniper mengincar kita!” Lantang ia mengabari. Matanya memindai seluruh area. Dari mana penembak jitu melancarkan kematian? Di sana tidak ada apa-apa, hanya jalanan gelap dan rumah-rumah padat.

Kenzie bersembunyi di balik kemudi. Mengerikan sekali melihat darah mengotori jendela dan separuh badan mobil. Siapa berikutnya? Apakah peluru akan menembus pintu? Tidak, biasanya seorang penembak jitu hanya diberi satu kesempatan dan satu perintah. Jika si pengemudi sudah tewas, mungkin ia sudah bebas.

Namun, keliru. Malam itu penembak jitu mendapat dua perintah. Target pertama sukses, tersisa target terakhir yang tidak bisa mengelak. Ia mengokang senapan tipe L115A3 pemilik akurasi tinggi untuk jarak 1.500 meter. Si penembak membidik lewat teleskop, lantas menarik pelatuk. Peluru kedua datang tanpa hambatan.

Mobil bercat biru gelap yang ditumpangi Kenzie tiba-tiba berkobar. Benturan keras menghasilkan percikan, menyulut tangki bensin. Benar, tepat di situlah peluru kedua mendarat. Api membara ganas membakar bagian belakang, ledakan dahsyat menyusul terjadi. Mobil terpental dan mengguling. Kepulan asap hitam membumbung tinggi ke angkasa. Langit malam berubah terang.

“Kenzie!” Omar berteriak parau. Nanap memandang gumpalan asap dan nyala api. Kakinya lemas. Ya Tuhan, kenapa semuanya menjadi malapetaka? Ini bukan lagi kasus biasa tentang hilangnya si pejabat. Pembunuh sudah bermain tangan, korban mulai berjatuhan. Sang polantas meraba jaket, mencabut radio tangan, segera melaporkan kondisi kepada yang lain.

Masyarakat menyerbu datang. Keramaian seketika tak terbendung. Sebagian besar masih mengenakan piama, wajah-wajah penasaran terbentuk natural di atas polesan polos. Spekulasi terbentuk dalam benak-benak yang baru saja terbangun. Kondisi macam apa yang pada akhirnya mereka simpulkan? Itu akan menjadi bagian hangat berminggu-minggu.

Di belakang tirai api, Omar menunduk lesu. Tangan bergetar, dada sesak. Perasaan buncah dan pikiran tak bisa lagi fokus. Apa Kenzie ikut terbakar di dalam sana? Astaga, tidak habis pikir. Jika ia tidak mengajaknya pergi, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Mata memerah. Rasa sesal menggerogoti persendian. Butir-butir bening berjatuhan.

Omar yang gagah berani kehilangan kendali. Rebah bersama debu hitam dan pekatnya malam.

***

Ambulans dan pemadam sudah tiba sepuluh menit yang lalu. Polantas serta penyelidik Bareskrim memenuhi TKP. Kerumunan mulai berkurang. Mayat si pengemudi diamankan dan mobil bercat biru berhasil dipadamkan. Omar terduduk sambil memeluk selimut di atas ranjang ambulans. Mulutnya kering, tetapi wajahnya sudah lebih baik. Ia terus menatap hampa pada pasukan pemadam yang berjibaku membongkar mobil hangus, merapikan puing-puing dan mencari jasad lain.

Apa Kenzie benar-benar tewas terbakar?

Pertanyaan itu terus mengiang. Ia tidak siap ditinggalkan seperti itu oleh sahabat dekat. Benar-benar kacau. Umurnya sudah bukan setingkat remaja, tetapi tetap menyakitkan rasanya. Omar mengembuskan napas. Berharap yang terbaik.

“Omar!” seruan lemah datang dari belakang. Sang polantas menengok enggan, tetapi sedetik kemudian terperanjat hampir jatuh dari ranjang. “Astaga, Kenzie. Kau masih hidup!”

“Ya. Aku juga tidak tahu bagaimana. Saat hendak keluar, tiba-tiba mobil meledak. Aku ikut terpental. Kepalaku terbentur,” jelas Kenzie dengan suara samar. Napasnya tidak beraturan. Darah kering menutupi bagian samping wajah.

“Syukurlah!” Omar memeluk erat Kenzie. Memupuskan segala resah dan perasaan bersalah.

Pemuda berambut panjang itu segera diobati. Tim medis cekatan menangani, tak membiarkan satu pun luka di tubuhnya tertinggal. Di lain pihak, petugas pemadam menarik anggotanya untuk pencarian jasad tadi. Mereka menyelesaikan beberapa hal sebelum akhirnya pergi. Pekerjaan tersisa bagi penyelidik Bareskrim dan reporter dari segenap media.

Hari pun menyambut pagi. Matahari menyongsong naik. Kilau keemasannya menerpa gedung-gedung pencakar langit, menciptakan bayangan raksasa. Kerangka hitam legam mobil si pejabat teronggok mengenaskan.

Setelah semua urusan di TKP diselesaikan, Kenzie bersama Omar pergi menuju Markas Polda Metro Jaya untuk membuat laporan sekaligus mencari tempat beristirahat. Malam yang melelahkan membuat badan berteriak meminta direbahkan. Beruntung sekali, Omar mendapat mobil patroli yang lebih layak untuk dipakai.

Jalanan utama ibu kota di kala pagi merupakan tempat paling sesuai untuk membuka mata lebar-lebar. Bunyi klakson dan deru kendaraan seolah alarm yang tak bisa dihentikan. Bagi pegawai kantoran terlebih lagi, mereka akan berlomba dengan waktu, memacu kendaraan dengan cepat ataupun menyiasati rute. Terlambat datang adalah petaka.

Kenzie dan Omar tenang menikmati jalanan. Mereka sengaja mengambil jalur utama, rela berdesakan dengan kendaraan lain. Lagi pula, tidak diburu ataupun sedang memburu, tidak ada salahnya berkendara lambat. Jika ada keadaan darurat, senjata ampuh menyingkirkan halangan adalah menggunakan sirene. Suara nyaringnya menggetarkah hati, membuat si pendengar luluh dan menghindar.

“Soal sniper, menurut kau ia menembak dari mana? Aku benar-benar tidak menyangka, kasus ini tampaknya begitu besar dan melibatkan berbagai pihak. Sampai menyewa sniper hanya untuk membunuh seorang sopir, itu benar-benar aneh. Apa tandanya si sopir mengetahui sesuatu?” Kenzie bertanya. Kejadian yang baru saja dilaluinya memicu banyak pertanyaan.

“Pasti, Teman. Coba, apalagi motif paling cocok untuk membunuh seorang sopir? Kita harus menyelidikinya lebih lanjut, mereka sudah melampaui batas dan menganggap remeh petugas. Untuk sniper, aku pikir dia menembak dari salah satu gedung di sebelah barat. Di sana ada tiga gedung menjulang yang bisa dipakai,” tutur Omar menyimpulkan. Jemarinya bermain di kemudi.

“Oke, aku paham. Tapi omong-omong, penyelidikan pasti ditangani unit khusus, sementara kau cuma polisi lalu lintas, kan?” Kenzie tertawa. Alis tebalnya terangkat. Omar mendelik, memasang mimik serius. “Aih, lihat saja nanti,” ujarnya, seraya ikut tertawa. Suasana pagi yang menyenangkan. Meskipun begitu, jauh dalam lubuk hati mereka terdapat rasa bersalah atas meninggalnya si pengemudi.

Jam masuk kerja berlalu. Jalanan relatif lengang. Omar menyetir santai, perkiraan lima menit lagi sampai. Udara pengap ibu kota tertolong oleh AC mobil. Siaran berita radio dan televisi di luar sana sudah mulai sibuk memberitakan ledakan semalam. Saling mengungguli dengan dalih berita eksklusif. Persaingan ketat dibalik layar.

Kenzie berusaha mengusir kantuk dengan memutar tuas radio, mencari-cari siaran yang menurutnya menarik. Hampir seluruh siaran berisi himbauan berkendara, supaya semua tetap berhati-hati dan mengenakan standar keamanan. Kemudian, dilanjutkan dengan berita ledakan mobil yang diduga akibat kecelakaan. Benarkah itu yang berhasil didapatkan para reporter? Teramat ganjil. Sebagai saksi hidup, Kensie tahu berita tersebut dibuat-buat.

Tangan sang guru berhenti memutar tuas, ia mendengar radio polisi Omar berbunyi. Secara gamblang dinyatakan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat tengah menuju Polda Metro Jaya. Segenap tim polisi lalu lintas diharap mengamankan jalan. Menarik. Mengapa seorang pejabat negara pergi ke sana? Sebuah kunjungan? Tidak mungkin. Terlalu dipaksakan jika disebut kunjungan menilik kejadian semalam. Kenzie dan Omar saling tatap. Bertanya-tanya.

Tak bisa membiarkan rasa penasaran semakin berkembang, mobil pun dipacu lebih cepat. Mereka berdua terjebak kasus ganjil yang harus segera diluruskan. Omong kosong jika ada yang menghalangi pencapaian. Mereka akan melawan. Radio polisi Omar sahut-menyahut, beberapa polisi sudah siap di tempat.

Persis berpindah dari Jalan Gatot Subroto dan memasuki Jalan Scbd ponsel Kenzie berdering. Tertera nama ibunya pada layar, ia lekas mengangkat. “Halo, Ibu. Ada apa menelepon pagi-pagi? Eh, ledakan? Tidak, aku baik-baik saja. Ya, sekarang di dalam mobil bersama Omar. Kami baik-baik saja, Ibu. Hanya harus memberikan laporan saja. Ah, betul mobil patroli. Ibu melihat kami? Tunggu, sedang apa Ibu di sini? Khawatir? Aduh ... Ibu tidak perlu repot melihat kondisiku. Percayalah, aku baik-baik saja.” Kenzie memberi senyum manis meski tahu tidak akan terlihat.
 
Omar mengangguk-angguk mengerti, tahu isi percakapan anak-ibu di sampingnya. Biasa, ibu Kenzie memang sangat menyayangi anaknya. Lecet sedikit saja sudah cemas. Padahal, latihan bela diri Kenzie sejak kecil cukup keras. Berbagai sesi berhasil dilewati. Tidak jarang sang guru pulang dengan memar parah dan luka lecet di sana-sini. Perasaan tulus ibu adalah pancaran sempurna kasih sayangnya.

Mereka pun hampir tiba di tikungan, samar-samar mobil berwarna abu-abu terlihat. Itu orang tua Kenzie. Di belakangnya terdapat rombongan sedan hitam. Satu mobil patroli menyalip kendaraan orang tua Kenzie, membuka jalan untuk rombongan.

“Pasti, Ibu. Ya, sampai jumpa di sana.” Kenzie menutup telepon. Jarak semakin dekat. Pemuda itu berusaha memasukkan ponsel kembali ke saku celana, lengah dari jalanan. Saat itulah bunyi benturan terdengar keras sekali. Omar seketika menginjak rem, menyampingkan mobil. Pemandangan mengerikan terjadi tepat di depan mereka. Kecelakaan dahsyat yang memakan tiga mobil sekaligus. Api berkobar. Asap panas menghitam, mengepul ke udara. Sirene mobil patroli di tengah jalanan mengumandangkan kegetiran.

Kemacetan memanjang di sepanjang rute. Mapolda Metro Jaya tersisa beberapa meter lagi.

Jamur Busuk Negara [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang