Chapter 14

10.5K 1.7K 264
                                    

Aku seharusnya fokus pada buku yang sedang kubaca sekarang ini, bukan mengulang ulang pemandangan Draco dan Daphne berpelukan di pojok lorong beberapa hari lalu di kepalaku. Sebelum kalian semua menuduhku membuntuti mereka, waktu itu aku cuma tidak sengaja lewat di koridor tempat mereka bermesraan. Mereka tampaknya juga tidak sadar aku melihat dari jauh, jadi untuk mengurangi rasa canggung yang akan di timbulkan aku pura pura tidak melihat dan langsung berbalik arah ke perpustakaan.

Aku merasa tidak punya hak untuk mencampuri ranah percintaan Draco juga, jadi aku juga tidak pernah menanyakan padanya langsung. Lagipula, tampaknya mereka masih merahasiakan hubungan romantis mereka dari teman teman Slytherin-nya yang lain. Eh, aku juga tidak yakin apa hubungan mereka lebih dari teman.

"Y/N." Hermione menyenggol tepi dadaku dengan sikunya membuatu meringis kesakitan. "Maaf, tapi kau bengong. Aku takut kau kerasukan Baron Berdarah." ujarnya.

"Ngawur." aku menggeleng.

"Jadi, kau masih yakin tidak mau pergi besok malam?" tanya Hermione.

Oh yeah. Besok malam adalah malam natal yang berarti besok pesta dansa. Sebenarnya ada beberapa anak yang sudah mengajakku untuk pergi bersama mereka. Seorang anak Durmstrang yang menghadangku tepat di depan pintu ruang rekreasi; Ernie Macmillan yang menanyakan kesediaanku di depan pintu perpustakaan; tapi yang paling mengejutkan adalah Adrian Pucey, chaser Slyterin, satu tahun lebih tua dariku. Dia menanyakan di depan semua teman Gryffindor-ku saat makan pagi di meja Gryffindor. Aku tidak tahu siapa yang seharusnya lebih malu. Aku karena diminta di depan teman temanku begitu, atau Adrian Pucet karena aku menolak ajakannya.

"Yeah, Hermione. Aku tidak suka dansa dan lebih baik aku tidur di kamarku daripada menghabiskan waktu di aula besar melihat orang menari." aku mengangguk mencoba fokus pada halaman sepuluh Pride and Prejudice yang sedang kubaca.

"Y/N, kau itu perlu sesekali bertemu orang dan mengobrol. Bukan melakukan hal hal serius melulu. Coba aku tanya, kau pernah mencoba berdansa dengan orang?" tanyanya, aku langsung ingat malam di danau hitam, saat aku diajak dansa oleh Draco sampai kelelahan.

"Su-sudah pernah, dan aku tidak menikmatinya!" jawabku. Well, bagian terakhir itu bohong. Aku senang berdansa dengan Draco.

Hermione menghela nafas menyerah, menggumamkan terserah lalu kembali fokus pada buku yang sedang ia baca. Aku mencoba sangat keras untuk kembali fokus pada apa yang sedang kubaca. Pada apapun yang Jane Austen tulis di halaman sebelas di novel karyanya, bukan malah memikirkan janji temu-ku dengan Draco setelah ini.

"Aku pergi dulu, jangan kemalaman pulang ke asrama-mu." aku akhirnya bangkit setelah mencoba mengulang ulang membaca halaman tiga belas tanpa faham satupun apa yang ditulis disana. Hermione mengangguk, melambai padaku yang berjalan menjauh darinya.

Aku naik ke menara astronomi dengan dongkol. Kenapa tidak ada lift di Hogwarts? Atau minimal buatlah tangganya macam eskalator. Aku rasanya lelah sekali naik ratusan tangga tiap malam hanya untuk bertemu Draco. Aku terkejut sekali saat melihat Draco sudah ada di atas menara astronomi, karena seharusnya janji temu kami masih tiga puluh menit lagi.

"Kau lebih awal tiga puluh menit." ujarku, duduk disampingnya.

"Empat puluh lima. Aku sudah disini sejak lima belas menit lalu." Draco mengangkat bahu.

"Kenapa kau sudah naik jauh lebih awal?" Draco menatapku dalam.

"Mungkin aku rindu padamu." jawabnya acuh.

Uh, aku tidak suka saat dia mengatakan hal hal semacam itu. Aku bisa membayangkan dia mengatakan hal yang sama Daphne dan Pansy setiap hari. Mungkin ada bagusnya kami bertiga mengobrol sesekali untuk mendaftar kelakuan sok manis Draco pada kami. Pasti ada lebih dari sepuluh hal.

"Kau betulan tidak mau pergi besok?" tanya Draco, aku menoleh padanya mengangkat bahu.

"Aku tidak tertarik. Kau sudah dapat pasangan?" aku balas tanya. Pertanyaan bodoh, pasti dia pergi bersama pacarnya kesana, kan? Tanpa kuduga, Draco menyeringai mendengar pertanyaanku.

"Well, kalau aku belum dapat kau mau pergi bersamaku?" tanyanya, aku memutar bola mataku. "Aku pergi bersama Pansy besok." jawabnya ringan, aku menoleh padanya. Bingung. Seharusnya dia pergi bersama Daphne, kan?

"Bukan bersama Daphne?" tanyaku, memastikan. Draco memandangku, menggeleng.

"Dia pergi bersama Theo. Kenapa kau kira aku akan pergi bareng dia?" tanya Draco.

"Entahlah kukira kalian dekat?" ujarku tidak yakin. Draco mendengus tertawa.

"Kau diam diam memperhatikanku, ya?" godanya, membuatku memasang wajah jijik terbaikku. "Kau cemburu, ya? Melihatku dengan Daphne?" godanya. Aku langsung teringat Draco memeluk Daphne di pojok koridor. Rasa mengganjal yang sama saat melihat mereka berdansa bersama menelusup.

"Jangan kepedean begitu." tukasku. Draco tertawa.

Draco kemudian melihat buku yang aku bawa, merebutnya kasar.

"Jangan bilang kau tidak mau pergi ke pesta dansa besok untuk menghabiskan membaca buku ini?" Draco mengangkat alis.

"Mungkin iya." aku mengangkat bahu.

"Oh, ibuku suka sekali buku ini." ucapnya. "Katanya aku mirip dengan salah satu karakter disini." dia membuka acak tengah halaman.

"Benarkah?" aku mengangkat alis. Draco mengabaikan pertanyaanku.

"Kau baru baca sampai halaman dua belas?" tanyanya, tertawa melihat lipatan di halaman dua belas pertanda batas bacaku.

"Aku sedang tidak fokus membaca." jawabku, membela diri.

"Memangnya apa yang kau pikirkan sampai tidak mampu fokus membaca?" tanyanya, membuka halaman satu.

"Kau." hatiku menjawab.

"Mau aku bacakan? Kata ibuku aku cocok membacakan cerita." tawarnya sebelum aku bisa menjawab pertanyaannya sebelumnya.

"Well, asal kalau tali suaramu putus karena kebanyakan membaca dengan suara kau tidak menyalahkanku." jawabku, Draco tertawa.

"Baiklah." jawabnya singkat, masih terkekeh sedikit.

Dia membacakan lima halaman pertama, menyenangkan. Kebanyakan orang payah sekali mengatur intonasi bacaan, Draco tampaknya sudah profesional dalam bidang story telling. Tapi aku tetap saja tidak bisa fokus pada ceritanya, malah aku terfokus pada Draco dan ekspresinya saat membacakan cerita. Wajahnya akan mengikuti ekspresi setiap dialog dan itu sangat menggemaskan.

"Stop, Draco. Wajahmu tidak perlu ikut ekspresi dialognya." aku tertawa menghentikannya di tengah kalimat.

"Itu seni, Y/N." Draco ikut tertawa. "Bilang saja wajahku yang tampan mengalihkan fokusmu." candanya, aku rasanya ingin menggamparnya saja.

"Dih, menyebalkan." ujarku, Draco terkekeh.

"Tapi kau sayang." jawabannya membuatku makin sebal dan Draco makin ngakak.

Apa aku memang benar menyayanginya?

.

Author's note : ini juga, apa guna chapter ini? Aku sebagai author juga gatau. Lima chapter terakhir rasanya pointless. Tapi aku excited buat nulis chapter selanjutnya soalnya drama (¬‿¬) wkwk.

October 23rd, 2020

II • CLOSER ✔ [Draco Malfoy x Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang