43. Attention Feeling

212 32 1
                                    

"Dingin, Gif. Lu kagak kedinginan?" - Arlen Ignecio

-
-
-

——-oOo——-

Hampir tengah malam Gibran, Hanum, Arlen, Natya, dan Ibra berkumpul di ruangan Bu Aurin di rawat inap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir tengah malam Gibran, Hanum, Arlen, Natya, dan Ibra berkumpul di ruangan Bu Aurin di rawat inap. Di sana juga ada papanya Arlen, bercengkrama membicarakan apa saja yang dilakukan papanya Arlen ketika bekerja sebagai polisi. Arlen dirundung bingung, apalagi papanya pernah mengatakan Hanum adalah sepupunya. Berkumpul layaknya keluarga, begitu juga Gibran dan Ibra yang memiliki hubungan erat sebagai tetangga keluarga Natya.

"Om dateng ke sini juga. Mau jenguk Bu Aurin, ya?" tanya Hanum polos, canggung dengan suasana orang-orang di dalam ruangan ini.

Papanya Arlen yang bernama Dirga, mengangguk menjawab pertanyaan keponakannya. "Aurin udah Om anggep keluarga juga."

Hanum ber-oh ria. Dia tidak berpikiran macam-macam, mengerti apa yang diucapkan omnya.

Arlen rada-rada takut, dia membatin apa saja yang dia pikirkan sedari tadi. Dia belum mengerti hubungan Hanum dan Gibran itu apa. Mereka pernah terikat hubungan sebelumnya oleh sang terdahulu, korban bunuh diri yaitu Wira Buana dan Adis Yustika. Yang Arlen ketahui Wira adalah kakak kandung papanya sendiri, pamannya juga. Jika Hanum adalah anak dari adiknya Wira juga, apa mungkin Gibran ada kaitannya dengan silsilah keluarga dari Adis Yustika? Jika benar, selama ini mereka selalu berkaitan satu sama lain.

Lagipula Arlen belum mengerti mengapa papanya menyembunyikan semua bukti yang berusaha Arlen kumpulkan untuk memecahkan kasus Gibran. Papanya takut ada yang terbongkar lagi? Tetapi dari raut wajahnya, dia sangat excited ketika menemukan tanda lahir di bagian leher Bu Aurin, sekejap dia memutuskan kalau Bu Aurin wali kelas adiknya itu adalah orang yang sama dengan anak kecil yang kakaknya asuh semasa dia anak-anak juga.

DRRRTTT

"Siapa?" Natya menoleh ke belakang, menemukan kakaknya sedang membuka layar handphone.

"Giffa. Kakak ijin keluar bentar ya," gumam Arlen meminta izin pada adiknya, lantas keluar membuka pintu ruangan dengan sangat hati-hati. Takut membuyarkan perbincangan antara papanya dan teman-temannya.

"Akhir-akhir ini Bang Arlen deket sama Giffa terus," kata Ibra mengalihkan pembicaraan.

"Giffa itu teman kampusnya Arlen, ya?" tanya Om Dirga.

"Bukan. Giffa itu biang kerok di sekolah aku, Om," sahut Ibra sambil memasukkan snack ke dalam mulutnya. "Sering bully Natya juga, Om."

Entah sengaja atau keceplosan, tetapi Natya tidak setuju akan itu. Papanya memang sudah tahu masalah Natya di sekolah yang sempat menjadi kontroversi, bahkan tahu siapa orang yang bermasalah itu. Hanya saja tidak tahu jika anak sulungnya berhubungan dengan orang yang pernah memiliki citra buruk di sekolah juga pernah membully adiknya.

Om Dirga sadar sejak kedatangannya, Arlen jadi agak sensitif. Mimik wajahnya selalu menunjukkan kalau dia sedang mengalami stres yang berat.

"Arlen nggak pernah cerita apa-apa tentang anak (Giffa) itu," ujar Om Dirga.

"Ah yang boong Om. Eh- yang bener Om." Niatnya Ibra ingin bercanda tetapi segera mungkin dia ralat ucapannya karena takut menyinggung Om Dirga.

"Om takut mereka ngelakuin yang nggak-nggak sama Natya. Arlen ini anak laki-laki yang ambisius, dia bisa aja pernah punya dendam yang kita-kita nggak tau," kata Om Dirga seraya meraih pundak tegap Ibra, menatapnya dengan serius sehingga Ibra yang ditatap malah salah tingkah. "Kamu harus jagain Natya, anak bungsu Om."

"I-iya Om. Tapi-"

"Ini permintaan Om, loh. Kalo kamu nolak, berarti kamu nggak ngerhargain Om."

"Masih ada Gibran, Om. Nggak cuma Ibra doang." Ibra berdecak sambil menoyor kepala adiknya yanh duduk berdampingan.

"Ya saling jaga aja. Jangan berantem," ujar Om Dirga menatap kedua anak laki-laki ini.

xxx

Sekiranya sudah sangat lama tidak menghirup aroma embun pagi, menikmati panasnya sinar matahari pagi sambil merasakan udara segar di alam bebas. Pantas saja dulu Arlen menolak keras menjadi dokter, ternyata memang Arlen lebih menyukai suasana alam bebas daripada wangi obat-obatan di dalam sebuah rumah sakit.

Dulu sekali, mamanya Arlen mengajari banyak tentang ilmu kedokteran pada Arlen. Tetapi, dulu Arlen adalah anak laki-laki yang bandel sehingga tidak pernah menurut pada keinginan mamanya itu. Dia lebih suka ikut papanya pergi dinas entah sesekali datang menjenguk sambil membawa rantang nasi untuk sang papa.

Sudah pagi rupanya. Arlen terlalu serius dan tenggelam dalam percakapannya dengan Giffa semalam sehingga membuatnya terbangun di tempat duduk yang khusus untuk menunggu.

"Udah bangun, hm?" tanya Giffa. Dia kembali membenarkan posisi duduknya dengan tegap. Pundaknya baru saja dijadikan sebagai bantal tidur oleh Arlen.

"Kepala gua pusing. Tapi dikit."

"Lo masuk angin? Mau pulang aja?" tanya Giffa menunjukkan ekspresi khawatir. Dia tahu kalau Arlen bergadang bersamanya semalaman. Takut laki-laki itu sakit.

"Lu kali yang masuk angin. Mata udah kayak panda gitu. Kagak pulang? Gua anterin sini." Arlen bangkit membenarkan hoodie-nya yang kusut. Rambutnya sesekali ia kesampingkan menjadi terekpos jelas bagian dahinya.

Entah hanya perasaannya saja atau tidak, tetapi Giffa merasakan ada hal yang beda dari sosok laki-laki di depannya. Sorot matanya begitu peduli, jauh berbeda seperti saat Giffa mengguyur cat dalam ember ke atas kepala adiknya. Giffa sungguh-sungguh menyesalinya, seperti menjilat ludahnya sendiri.

"Gue bisa minta Vio buat jemput. Lo langsung pulang aja atau mau nungguin Bu Aurin?"

Arlen bergidik, menenggelamkan lehernya ke dalam tudung hoodie. Cuaca pagi di rumah sakit cukup dingin.

"Dingin, Gif. Lu kagak kedinginan?" Laki-laki berhoodie itu mengusap dan meniup telapak tangannya berkali-kali, berdoa dalam hati supaya rasa dinginnya menghilang.

Giffa baru ingat kalau pakaian yang dia gunakan cukup intens. Maksudnya, dia memakai pakaian yang sedikit terbuka. Mengundang keinginan Arlen untuk melepaskan hoodie favoritnya, lalu memasangkannya pada Giffa.

"Dingin, ntar lu sakit," katanya sambil memakaikan hoodie-nya. "Ya gampang sih kalo sakit. Lagi di rumah sakit juga. Tapi jangan nyepelein, sakit itu nggak enak."

Ukuran hoodie Arlen cukup besar untuk ukuran Giffa yang memiliki tubuh langsing dan lebih pendek dari Arlen. Bahkan kedua tangannya tidak sampai keluar dari ujung lubangnya.

"Lu imut banget kalo make baju yang kegedean," ujar Arlen tersenyum tulus menatap Giffa yang sedang membenarkan lengannya. "Persis kayak adek gua."

Ⓒⓘⓡⓒⓛⓔ Ⓓⓘⓒⓣⓘⓞⓝⓐⓡⓨ

To Be Continued

Love you readers!

Circle Dictionary [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang