44. Bring To The Goal

245 33 6
                                    

"Niat awal Giffa bukan nyakitin Natya, tapi gue." - Gibran Arsadan

-
-
-

——-oOo——-

Beberapa saat kemudian, hujan turun lagi dengan derasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa saat kemudian, hujan turun lagi dengan derasnya. Mengguyur ibukota dan tentunya dengan Hanum yang masih setia berada di bangku. Ia menangis, suara tangisannya tersamarkan oleh suara gemuruh petir di luar rumah sakit. Ia beranjak dari duduknya, lalu berjalan masuk ke ruang di mana ada Bu Aurin yang masih terbaring di atas bangsal.

Hanum tidak tahu persis bagaimana bisa dia terisak begitu pedihnya. Dia hanya mengingat sosok ayahnya yang sekarang bekerja di Chicago sebagai karyawan salah satu restoran ternama di sana. Hanum lupa nama restorannya apa, tapi dia tahu betul sebesar apa tempat ayahnya bekerja. Hanum bahagia kalau ayahnya ikut bahagia, meski mereka berpisah.

"Kamu kenapa nangis, Hanum?" tanya Om Dirga yang sedang duduk di samping tubuh Bu Aurin. Kelihatannya mereka baru saja berbincang-bincang kecil, Hanum tak tahu mereka membahas apa. "Kamu sakit? Ada yang pusing?"

"Bukan."

Tentu bukan. Hanum hanya terharu. Sekarang dia baru tahu kalau keluarga sebenarnya adalah orang terdekatnya. Dia tidak sendiri di ibukota ini.

"Hanum kangen Ayah," sambung Hanum mendekat ke arah Om Dirga dan Bu Aurin, lalu memeluk gurunya dari samping. Hanum tidak kuat membendung air mata lagi sehingga pipinya penuh dengan tetesannya.

"Kamu udah telepon ayah kamu?" tanya Om Dirga menepuk-nepuk punggung keponakannya dengan pelan, menenangkannya supaya berhenti menangis.

Hanum menggeleng sebagai jawabannya. "Om, hp Hanum mati. Om bisa bantuin Hanum teleponin Ayah, nggak?" Isakannya mulai berkurang.

Om Dirga mengangguk dan tersenyum pada Hanum. Lagipula ia sudah lama tidak berjumpa dengan adiknya, Arga.

"Halo, Yah?" sapa Hanum pada ayahnya di seberang sana.

"I-ini Hanum?" tanya sang ayah.

"Hanum kangen ... Ayah kapan pulang?" Mata Hanum kembali basah dan sangat lembab. Di samping itu, Om Dirga malah tersenyum bahagia karena bisa membantu keponakannya dan Bu Aurin tersenyum lega.

Bagi gurunya, Hanum adalah sosok periang seperti kakak angkatnya yang dia kenal dengan nama Adis, sang terdahulu yang katanya bereinkarnasi menjadi Hanum yang sekarang. Bu Aurin jadi penasaran dengan kehidupan teman sepermainannya waktu masih kecil, yaitu Sisil anak dari kakaknya Adis. Pasti dia juga sudah tua, atau mungkin sudah memiliki suami dan anak? Tidak seperti dirinya yang masih perawan di usia yang tidak lagi muda.

"Ibu mau ngomong juga sama ayah kamu."

Hanum menoleh pada gurunya, lalu dia memberikan Bu Aurin kesempatan untuk berbicara di telepon dengan saudara angkatnya juga.

Circle Dictionary [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang