45. Meet Her Mom

28 12 0
                                    

"Kalo diliat-liat, lo mirip sama Bunda, tau." -Gibran Arsadan

-
-
-

——-0O0——-

Sepanjang perjalanan, Natya selalu tersenyum, bahkan tertawa sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepanjang perjalanan, Natya selalu tersenyum, bahkan tertawa sendiri. Ia tidak menutup-nutupi rasa malunya lagi. Sebahagia itu memandang lelaki tampan yang satu mobil dengannya duduk berdampingan walau tak saling bertatapan.

Kakaknya menjadi pembelanya sekarang, pasti Ibra juga berpihak padanya. Natya rindu Ibra. Meskipun dia pernah membuat janji pada diri sendiri tentang dia yang akan melakukan apapun demi Ibra, tetapi hatinya ikut sakit. Tidak seharusnya dia mengiyakan menjadi kekasih Gibran saat itu. Natya memliki setengah rasa menyesal.

Natya tidak pernah marah dengan sahabatnya yang ini, justru ia sangat menyayanginya setulus hati. Natya berubah menjadi sosok yang pendiam karena memang dia bingung mengapa dia sebodoh itu dulu. Diolok-olok geng-nya Giffa di sekolah karena Gibran menyukainya. Padahal, Natya mencintai mantannya Giffa, bukan mencintai orang yang Giffa suka. Andaikan dulu Natya mengatakannya langsung. Toh yang menjadi pasangan Gibran yang sebenarnya adalah sepupunya sendiri.

Lega, akhirnya Arlen benar-benar mengantarkan Ibra pulang ke rumahnya, bukan membawanya pergi ke tempat lain. Ibra sempat berpikiran yang tidak-tidak sebab hubungan pertemanan Arlen dan Ibra sedikit tidak baik. Gara-gara percintaan. Keduanya berebut ingin mendapatkan seorang Hanum menjadi kekasih.

"Makasih, Bang." Ibra cengengesan meskipun canggung ia berusaha untuk tetap akrab dengan kakak sahabatnya ini. "Gua kira, gua bakalan diculik," gumamnya tanpa ada yang mendengar. Kemudian, Ibra keluar turun dari mobil, matanya melirik Natya yang berarti mengatakan 'sampai jumpa'. Natya hanya meringis, sedikit malu dilirik begitu.

Arlen terkekeh santai, akhirnya Arlan membuka pintu mobil turun keluar dan bangkit dari kursi pengemudi.

"Weh, gua pengen ngomong bentar. Ini serius."

Sepasang mata Ibra terbelalak, takut masalah tadi dipertanyakan lagi. "Iya, Bang. Ntar gua bilangin Gibran. Udah ya, gua mau balik-"

Sebelum Ibra benar-benar pergi melarikan diri, Arlen menangkap lengan Ibra. Arlen menggeleng sambil tersenyum miring. "Gua pengen lu jadian sama Natya."

"Mana mungkin, Bang? Gua nggak suka sama Natya," tukas Ibra.

"Tapi Natya sukanya sama lu, bukan Gibran," ungkap Arlen. Tangannya yang semula di lengan Ibra, kini beranjak ke bahu Ibra. "Gua mohon," bujuk Arlen.

Ibra tertawa renyah. Ia berpikir ini lelucon yang sama sekali tidak lucu. "Natya suka sama gua? Dia bilang gitu sama lu?"

Drama apa yang direncanakan Arlen? Ibra sudah tahu, Arlen memaksa Ibra berpacaran dengan Natya supaya Arlen bisa merebut Hanum. Ibra tidak sekotor itu sehingga dia harus memikirkan segala cara untuk memisahkan Hanum dari para pesaingnya. Ibra sadar, Hanum lebih pantas dengan adiknya, bukan dirinya apalagi kakak sahabatnya.

"Lu minta gitu biar gua sama Hanum jauh, kan? Lu pikir gua bego?" sambungnya.

Natya mendengar percakapan dua laki-laki antara kakak dan sahabatnya di luar. Mereka bertengkar karena Ibra menolak permintaan Arlen yang menginginkan Natya menjadi kekasihnya. Natya juga tidak apa-apa kalau Ibra tidak suka, mereka bisa menjadi sahabat selamanya. Walaupun hati kecilnya memberontak dan berkata bahwa Ibra adalah miliknya.

"Percaya sama gua. Natya suka sama lu, dia cinta sama lu. Lu harus bantuin gua, gua nggak mau jadi abang yang nggak bisa nyenengin adeknya."

"Ya cara lu salah, bangsat! Gua punya cara sendiri buat suka sama orang! Jangan paksa-paksa gua buat suka sama orang!" teriak Ibra sampai urat lehernya kelihatan.

Arlen tersenyum miring. "Terus cara lu yang maksa adek gua pacaran sama adek lu kagak salah gitu?" Nada suaranya masih pelan, tidak setinggi lawan bicaranya yang emosi.

"Mm- Gini, oke. Gua ngaku, gua salah. Gua nggak seharusnya begitu sama Natya. Makanya daritadi gua juga minta maap sama lu. Tapi tolong, jangan maksain gua buat suka sama orang. Gua nggak bisa pacaran sama Natya. Dia sahabat gua, bukan gebetan gua." Ibra menyingkirkan tangan kekar Arlen dari bahunya. "Oh iya, gua udah mundur dari Hanum, demi adek gua. Buat lu, mendingan jangan gangguin Hanum sama Gibran. Biarin aja mereka, lu juga harus mundur."

Membalik badan, Ibra berjalan menuju ke rumahnya yang berjarak dua meter dari tempat Arlen memarkirkan mobilnya.

Ada rasa marah yang menyelimuti raga Arlen. Bukannya mendengarkan perkataan Ibra sebagai masukan, justru ia malah semakin bertekad dan tidak ingin mundur.

xxx

"Cantik banget. Mau ke mana, sih?" ledek Gibran menunjukkan senyumannya yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.

Hanum menunduk tersipu malu. Pasalnya jarang sekali Hanum berpakaian seperti ini. Feminin, tapi masih ada kesan simple-nya. Apalagi Gibran biasa bertemu Hanum dengan seragam sekolah tiap harinya. "Udah, ayo!" Hanum mendorong punggung lebar Gibran tanpa sabar.

Gibran tak henti-henti menatap sanjung penampilan Hanum. Rasanya bagai kupu-kupu yang hinggap di dalam perut Hanum. Geli, dan manis. Hanum bingung bagaimana cara ia megekspresikannya. Yang pasti, Gibran juga tampan.

Sesampainya mereka berdua di ruang makan. Ruang makan kediaman Gibran. Ada bundanya Gibran di sana, namanya Sisil. Hanum mengangguk senang kala bunda Gibran menyapanya dengan hangat.

"Kalo diliat-liat, lo mirip sama Bunda, tau," gumam Gibran seraya melahap hidangan yang bundanya sajikan.

Bunda Sisil terdiam di kursinya, memikirkan Hanum di dalam benaknya. "Hanum, kamu sudah berapa lama temenan sama Gibran?"

"Belum lama, Tante. By the way, aku siswi baru," jawab Hanum sopan.

"Ah, iya. Ibra pernah bilang. Dia bawel, ceritain kamu terus, tuh."

Gibran tersentak. Buru-buru ia mengambil gelas di hadapannya dan menuangkan air untuk diminumnya. "Kapan?" Gibran meminum airnya dengan sekali tegakan. "Kapan dia cerita itu ke Bunda?"

"Tuh, kalian itu udah cocok," ledek Bunda Sisil. Ia berdiri dan lekas pergi dari meja makan. Hanya menyisakan Gibran dan Hanun berdua.

Keadaan berubah menjadi canggung. Salah satu dari mereka tidak ada yang membuka pembicaraan terlebih dahulu. Gibran fokus menghabiskan makanannya, sedangkan Hanum masih diam sembari memikirkan maksud Bunda Sisil barusan.

"Sisil ..."

Gibran sekilas menoleh pada Hanum. Rasa canggungnya berubah lagi menjadi merinding.

"Sisil, ponakanku." Dipeluknya tubuh Hanum. Hanum tampak sedih. Lalu menangis. Isakannya perlahan mengeras, saat itu juga Gibran tak melepas pelukannya yang terlanjur erat.

Ⓒⓘⓡⓒⓛⓔ Ⓓⓘⓒⓣⓘⓞⓝⓐⓡⓨ

To Be Continued

Love you readers!

Circle Dictionary [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang