Matahari makin terik, beriringan dengan detak jam di dinding sebuah kafe yang terus bergerak menuju angka dua belas. Di dalam sana, tampak sesosok gadis cantik dengan balutan dress merah muda tengah duduk santai menikmati secangkir kopi sembari menunggu seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya. Jujur saja, jantungnya saat ini berdetak begitu cepat seiring dengan berjalannya waktu. Hingga akhirnya, matanya menangkap sesosok pria dengan jaket kulit kesayangannya yang baru saja memasuki kafe itu.
"Julian!" Gadis itu melambaikan tangannya semangat melihat pria tersebut.
Dengan sedikit ragu, pria yang dimaksud itu berjalan perlahan mendatangi gadis tersebut.
"Sit down, please! Kamu apa kabar?" Tanya gadis itu bersemangat.
"Baik."
"Aku kira kamu nggak bakal datang hari ini. Ternyata aku salah. I'm so happy!" Gadis itu refleks menggenggam tangan mantan kekasihnya itu.
Julian yang terkejut, segera menarik tangannya dari genggaman Jesslyn, "Sorry."
"Oh, iya. Aku udah udah order malt coffee buat kamu. It's still your favorit, right? I remember how you always order it when we going to date." Ucap gadis itu penuh percaya diri.
Julian hanya bisa menyunggingkan senyum dengan sedikit terpaksa menanggapi gadis itu. Padahal sudah lama sekali pria itu sudah tidak meminum minuman itu lagi.
"Oh iya, aku dengar dari beberapa teman, kamu sekarang kerja di Galaxtico Magazine, ya? Gimana di sana? Was it fun?" Jesslyn tampak benar-benar ingin mencairkan suasana antara mereka.
"Biasa aja. Sama seperti studio-studio lain." Jawabnya singkat.
"Aku inget banget dulu kamu pernah cerita ke aku. You want to build your own photo studio and music label."
Ucapan lembut Jesslyn berhasil mengalihkan perhatian Julian untuk lebih berfokus pada dirinya.
"Last year, opa aku unfortunately dia passed away."
"Aku.. turut berbela sungkawa, Jess." Julian menunjukkan simpatinya pada sang mantan kekasih.
"Thank you..." Gadis itu menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya.
Julian menamatkan gadis yang pernah mengisi hari-harinya selama lebih dari dua tahun itu.
"Jadi aku dapat jatah warisan dari opa aku. Ada beberapa ruko dan tanah di daerah Cilandak. Tempatnya strategis banget, di Simatupang." Jelas Jesslyn.
"Uhm, so?"
"So, aku mau nawarin kerjasama untuk kamu. Kamu bisa pakai ruko or tanah itu. Nggak perlu bayar untuk uang sewanya selama beberapa tahun!" Jesslyn tampak bersemangat.
"Maksudnya?" Julian tentu saja heran dengan ucapan Jesslyn.
"Ya, kamu nggak perlu bayar sewa untuk beberapa tahun atau mungkin sampai kedepannya. Kita bisa pakai sistem bagi hasil aja mungkin? Kamu 75, aku 25 maybe?"
Bagi Julian, tentu saja itu adalah salah satu tawaran yang amat menarik, karena memang betul kata Jesslyn, memiliki studio foto dan label musik sendiri adalah impiannya sejak dulu. Terlebih lagi ia tak perlu membayar uang sewa untuk gedung itu, tentu pertimbangan itu bisa menjadi titik berat. Ia bisa membayar staf dan anggota krunya dengan lebih tinggi, serta mungkin bisa membeli beberapa peralatan baru yang lebih mutakhir.
Namun di sisi lain, Julian juga masih memiliki beberapa keraguan di dalam hatinya. Ia baru saja diterima sebagai fotografer di kantor majalah tempatnya bekerja sekarang, bahkan belum mencapai satu tahun. Apalagi ini salah satu majalah terbesar di Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Leaves In December Night [FINISH]
FanfictionHari ini malam bulan Desember. Tak ada hujan malam ini, hanya angin yang berhembus lembut dan menggugurkan daun-daun kering di atas pundakmu. Pundak tempatku bercerita, tentang mimpi-mimpi kita. Namun aku tak tahu, apakah mimpimu masih sama dengank...