LIMA

34 5 0
                                    

Ryan terbaring di atas kasurnya. Sejak semalam, ia belum sadarkan diri. Padahal, waktu sudah semakin siang, yakni pukul 09.00. Raysa, Ibu Ryan, memutuskan untuk tidak ke Kantor hari ini. Ia akan menemani anak semata-wayangnya. Sementara sang suami, Danang, sudah berangkat sejak tadi pagi. Tak hanya Raysa yang menemani Ryan, tapi teman-teman yang mengantarkan Ryan pula, menginap semalam. Bahkan sampai saat ini, Bagas, Dion, Tedy, dan Arsen juga ikut-ikutan belum bangun. Mengingat, semalam mereka sampai di rumah ini pukul 3, hampir menjelang pagi, bukan?

Berulang kali Raysa mengompres kening Ryan karena suhu tubuhnya begitu panas. Jika ia tidak sadar hingga siang nanti, maka Raysa akan segera membawa anaknya ini ke Rumah Sakit. Saat Raysa tengah membelai pelan kepala sang anak, Ryan memberikan respon. Ia terbatuk dan kembali muntah, Raysa pun langsung menadahinya dengan kedua tangannya sendiri. Syukurlah! Muntahannya tidak begitu banyak. Karena suara batuk itupun, teman-teman Ryan yang tengah tertidur pulas, akhirnya terbangun dan langsung membantu Raysa, Ibu Ryan.

"Tante, cuci tangan dulu, ya. Tolong jaga Ryan sebentar!" pinta Raysa pada teman-teman Ryan yang sudah duduk dan berdiri di sekelilingnya.

"Iya, Tante!" jawab Bagas, Dion, Teddy, dan Arsen bersamaan.

Setelah Raysa pergi, Bagas mencoba membantu Ryan untuk minum. "Bro, lo minum dulu sedikit."

Namun kelihatannya, Ryan enggan menerima bantuan dari Bagas. Ia langsung merebut gelas dari tangan Bagas. "Gue bisa sendiri!" Ryan meminumnya perlahan, lalu meletakkannya kembali di atas nakas, di samping ranjangnya.

"Lo istirahat gih, Yan! Muka lo pucat banget btw," kata Teddy menasehati.

Ryan memang terlihat begitu lemas, mungkin karena banyak cairan yang keluar dari tubuhnya. Namun sebisa mungkin, ia tetap menjawab. "Gue baru bisa istirahat, kalau lo semua pergi." Katanya dengan nada yang begitu lemah.

Arsen memegang bahu Ryan, lalu berkata, "Yan, apapun yang terjadi sama lo saat ini, anggap itu sebagai pelajaran. Lo ambil hikmahnya ajalah. Seenggaknya sekarang lo tahu, kan, gimana rasanya diputusin tanpa alasan yang jelas?"

Belum selesai Arsen berkata, Ryan hendak memotongnya. Namun teman yang lain pun, kini ikut menasehati. "Udah, Yan! Lo gak usah egois kayak gini. Masalah hati lo itu cuma sama Azkia, bukan sama kita. Janganlah lo luapin amarah lo ke kita!" Kata Bagas menambahi.

"Bersyukur, Yan! Pacar boleh putus, tapi persahabatan jangan sampai ikut putus juga," kini Dion juga ikut memegang bahu Ryan.

Teddy pun tak mau kalah, ia juga tentu saja akan ikut memberi nasehat kepada temannya ini. "Apa yang kita ucapin ke lo ini, bukan maksud apa-apa, kok, Yan. Lo kan cowok, ya lo harus bijaklah nanggepin masalah beginian. Masa mau kayak cewek, sih? Entar kita kuliah, bakal banyak lagi cewek-cewek yang modelnya sama kayak Azkia. Tenang aja!" Cengir Teddy pada akhir kalimatnya.

Ryan menghembuskan nafas lelah. Berpikir ulang dengan tindakannya yang memang terkesan, terlalu terbawa perasaan. Seharusnya ia memang tak bertingkah seperti anak kecil, layaknya anak ABG yang baru saja berpacaran dan merasakan yang namanya putus cinta. Ryan melihat satu per-satu temannya. Benar saja, sahabat adalah segalanya. Patahnya hati ini tak boleh sama sekali mempengaruhi persahabatannya. Ia harus berlaku bijak.

"Thanks banget, Gas, Yon, Dy, Sen! Sorry juga kalau sikap gue kemarin kayak anak kecil. Ah, gue jadi gak enak, nih!" Ryan tersenyum kikuk seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.

"Iya, Bro, santai! Yang penting sekarang lo cepet sembuh dululah, habis itu kita kembali menjadi 'Jomblo Tampan tapi Mapan', iya gak?" tawar Teddy mengingatkan pada zaman ketika mereka baru pertama kali duduk di bangku SMP, dan masih polos-polosnya.

"Ogah, entar kuliah gue mau cari doi. Ya kali ngejomblo terus," tolak Arsen dengan tampang masam, tapi hanya bermaksud bercanda.

"Mending sekarang kita pulang, biar Ryan bisa istirahat," ajak Bagas pada Dion, Teddy, dan Arsen.

Mereka pun menerimanya dengan anggukan. Lalu dengan ala-ala perpisahan manis, mereka memeluk Ryan bergantian seraya menepuk bahunya. Lalu mulai berjalan ke arah keluar kamar. Setelah mereka menuruni tangga dan sampai di bawah, mereka bertemu dengan Raysa yang sudah membawa camilan beserta minumannya.

"Loh? Kok malah pulang, sarapan dulu dong. Ini udah Tante bawain camilan, emang gak laper?" tanya Raysa sambil berjalan menghampiri Bagas, Dion, Teddy, dan Arsen.

"Gak, Tante, makasih! Kita mau langsung pulang aja, soalnya udah mau siang juga. Lagian kita juga belum mandi, iya kan?" kata Bagas pada Raysa lalu menengok ke arah teman-temannya yang ternyata tengah memandangi makanan yang dibawa Ibu Ryan ini.

"Kita mau pulang, kan ya?" tanya Bagas lagi dengan suara agak ditinggikan dan sedikit disertai penekanan.

"Oh, iya, Tante. Kita mau pulang, mungkin lain kali, Tan," sahut Dion seraya tersenyum kecut dan diikuti anggukan juga senyuman dari Bagas, Dion, dan Arsen.

"Oh, ya sudah! Sekali lagi, terima kasih udah bantu jaga Ryan, ya!"

"Iya, Tante!" jawab mereka lagi-lagi bersamaan. Setelah itu, mereka mencium tangan Raysa, mengucapkan salam dan berlalu pergi keluar untuk pulang.

Sedangkan Raysa kembali ke dapur untuk mengurangi makanan dan minuman untuk dibawa ke kamar Ryan.

"Makanannya gak jadi dimakan, Nyonya?" tanya salah seorang pekerja saat melihat Raysa kembali meletakkan makanan dan minuman.

"Enggak, Bi. Teman-teman Ryan mau pulang," jawab Raysa seadanya dengan disertai senyum ramah. Lalu ia pun langsung menuju ke kamar Ryan, untuk kembali menjaganya.

******

Terdiam. Ryan hanya menatap langit-langit kamarnya tanpa suara. Entah mengapa ia masih saja memikirkan gadisnya itu. Ia dibuat penasaran saat ini. Entah ada apa dengan gadisnya? Mengingat, Ryan sangat tahu bahwa ia adalah orang yang pertama bisa menjadi kekasih dari Azkia. Entahlah! Ryan merasa harus tetap mengejarnya, bagaimanapun juga.

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang