ENAM BELAS

26 3 0
                                    

"Ma, Pa, Azkia berangkat dulu," ucap Azkia sesaat setelah menyelesaikan sarapannya sembari mencium tangan kedua orang-tuanya.

"Loh? Kamu kuliah pagi? Katanya siang," jawab Fathimah membalas ciuman tangan anaknya dengan belaian lembut di kepala.

"Mau ke Restoran, Ma. Masa mau tutup lagi?"

"Baru tutup kemarin, kan? Istirahat dulu, jangan terlalu dipaksakan, Nak," kata Irwan menambahi.

Azkia menghela napasnya lembut, lalu menyematkan senyum indah di lisannya. "Kia udah cukup istirahat, Pa. Lagian aku juga berangkat bareng Bang Andre. Iya, kan, Bang?" Azkia memegang bahu Andre yang baru saja menyelesaikan sarapannya.

"Iya, Pa, Ma. Kia berangkat bareng aku," balas Andre singkat saja.

"Ya udah, Bang, ayo!"

Andre pun kini melakukan hal yang sama seperti yang Azkia lakukan tadi, mencium tangan kedua orang-tuanya. Walaupun rasanya sudah berbeda, tetapi Andre bersyukur masih bisa berada diantara mereka. Lalu, setelah menyalimi, Azkia dan Andre pun langsung bergegas keluar rumah. Tak lupa, keduanya mengucapkan salam terlebih dahulu. "Assalamu'alaikum." Ucap keduanya bersamaan.

Irwan dan Fathimahpun, tentu langsung menjawabnya. "Wa'alaikumussalam."

Setelah Azkia dan Andre sukses masuk ke dalam mobil dan mulai berjalan menjauh dari rumah, Fathimah memijit keningnya, lelah. Irwan yang melihat hal itu langsung memegang bahu Fathimah. "Ma." Panggil Irwan yang tak mendapat balasan dari Fathimah.

Merasa diabaikan, Irwan kembali mengulang panggilannya. "Ma." Masih tanpa jawaban. Karena itulah, dengan nekad Irwan melanjutkan perkataannya. "Papa mengerti, Mama belum bisa menerima Andre setelah tahu kebenarannya. Tapi jangan bersikap seperti ini sama dia, Ma. Ini bukan salahnya. Kalau bisa memilih, Andre juga pasti tidak menginginkan hal seperti ini. Papa mohon pengertian Mama. Yang lalu, sudah Papa anggap sebagai sebuah pelajaran." Jelas Irwan yang malah membuat Fathimah sukses menangis.

Meski dalam tangisannya, Fathimah tetap mengangkat suaranya sehingga kini yang terdengar suara parau khas orang menangis. "Dosa apa yang saya lakukan dulu, ya Allah." Suara isakan tangis Fathimah semakin jelas terdengar. "Asal Papa tahu, saya sudah berusaha menganggap Andre seperti anak saya sendiri! Sama halnya seperti dulu, ketika Andre masih bayi. Tetapi setelah tahu semuanya, bayangan orang itu selalu menghantui, Pa!" Deru tangis Fathimah tak lagi bisa dibendung.

"Ma, sudah. Jangan seperti ini, Papa sedih melihatnya," Irwan berusaha menenangkan dengan kini berdiri di samping Fathimah sembari mengelus pelan kepalanya yang terbalut dengan khimar.

"Kalau Papa sedih, kenapa Papa melakukan ini semua?" suara Fathimah terdengar serak di telinga dengan volumenya yang lebih besar dari sebelumnya. "Entah ini semua balasan dari kesalahan Mama di masa lalu, atau ini sebuah ujian bagi rumah tangga kita?" Isakan tangisnya semakin meledak saja. Bahkan kini, kedua mata Irwanpun mulai memerah menahan tangis. Tak tahu lagi apa yang harus ia katakan, mulutnya terasa bungkam.

Namun Irwan sebisa mungkin tetap kuat menjalani ujian ini. Sebisa mungkin, ia akan tetap kokoh berdiri menyelesaikan semua permasalahan yang ada dalam rumah tangganya. Jika ia tumbang dan hanya pasrah pada keadaan, bisa jadi rumah tangga yang telah dibangun cukup lama, harus hancur karena sebuah kesalahan yang tidak disengaja di masa lalu.

"Sudah, Ma. Ayo, istigfar dulu! Ingat Allah, Ma. Kita bisa menyelesaikan masalah ini, hanya dengan kepala dingin," nasihat Irwan dengan lemah lembut seraya mengelus khimar berwarna abu-abu milik Fathimah.

Memang membutuhkan waktu cukup lama, namun akhirnya, perlahan-lahan Fathimah bisa menenangkan dirinya. Isakan tangisnya mulai berhenti dan menyisakan basah pada kedua pipinya serta sesenggukannya yang belum bisa berhenti. Fathimah benar-benar merasa kalut dengan semua ini.

*****

Ckrek!

Azkia membuka pintu Restorannya. Karyawannya belum datang, karena ia belum menyuruhnya untuk berangkat. Tetapi kelihatannya, lebih tepat disebut sebagai partner. Walaupun Maya bekerja untuknya dan diberika gaji, tetapi Azkia tak pernah merasa dirinya adalah Bos di sana. Restoran sederhana yang tak terlalu besar, namun cukup ramai dikunjungi, entah yang terlihat seusianya, lebih tua, atau bahkan lebih muda.

"Bang Andre, mampir dulu, yuk! Sambil nungguin Mbak Maya datang, nanti Kia bikinin kopi," tawar Azkia pada Andre yang tentu saja disetujuinya.

"Oke! Kopi yang biasa, ya, Dek. Jangan manis-manis, karena yang manis udah ada di hidup Abang," balas Andre setelah duduk di sebuah kursi yang biasanya ia duduki bila berkunjung ke Restoran.

Sambil membuatkan kopi untuk Andre, Azkia menjawab. "Wah, Abang udah ada ekhem, nih, ceritanya." Goda Azkia dengan menekankan kata 'ekhem'.

"Dih, siapa yang punya ekhem? Ekhem Abang, kan, Kia doang. Mana mau Abang godain cewek lain kalau belum halal," Andre memecahkan tawanya yang diikuti oleh sang adik. Namun seketika, tawanya terhenti.

Azkia yang sudah selesai membuatkan kopi, berjalan menghampiri Andre lalu meletakkan secangkir kopi di depannya. "Kenapa, Bang? Kok melamun." Tanya Azkia yang sudah duduk di depan sang Kakak.

"Oh, gak kenapa-kenapa. Terima kasih kopinya, ya," Andre berusaha memasang senyumnya yang malah terlihat canggung bagi Azkia.

"Abang kenapa, sih?" tanya Azkia lagi dengan pandangan penuh selidik.

"Lah, emang Abang kenapa?" tanya Andre balik yang membuat Azkia merasa kesal.

"Abang aneh! Tadi ketawa kenceng banget, terus tiba-tiba diem, ekspresinya kayak orang bingung," Azkia kini menekuk wajahnya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Iya, Abang bingung. Sampai sekarang, jodoh belum terlihat. Makanya, kamu cariin Abang jodoh dong," lagi-lagi, Andre menjahili sang adik yang selalu merasa cemburu ketika Andre membahas soal jodohnya.

"Ih, jangan dulu, Bang! Nanti Bang Andre gak perhatian lagi sama Kia," Azkia memasang wajah kecut.

Andre tersenyum bahagia melihat Azkia yang seperti ini. Ia berharap, apapun kelak yang ia tahu tentang dirinya, tak akan mampu menghilangkan rasa sayang untuknya. "Ya gaklah, Dek. Perhatiannya Abang ke kamu ataupun calon Abang nanti itu, bakalan sama cuma dengan rasa yang berbeda."

"Kok rasa?"

"Kalau buat Kia, rasa Kakak untuk Adik kecilnya. Kalau buat jodoh, ya ... ekhem!"

"Ish, tuhkan! Abang mau bagi-bagi sayang!"

"Kamu bagi-bagi sayang aja, Abang gak pernah protes loh, Ki."

"Emang Kia pernah bagi sayang ke siapa, Bang? Hah? Abang jangan bid'ah, ya."

"Dih, siapa yang mengada-ada? Emang nyatanya dulu kamu pernah sekali bagi-bagi sayang kamu ke Ryan, kan?"

Deg!

Sebuah nama yang kembali terlintas dalam indra pendengarannya. Rupanya, setelah mendengar nama itu bahkan Azkia mengakui bahwa tidak akan hilang sebuah nama dalam hatinya. Ia pernah memiliki tempat khusus di sana. Lalu ia mencoba untuk menguburnya dalam-dalam, namun apa ini? Hanya menyebut namanya sekali saja, membuatnya kembali teringat.

*****

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang