DUA PULUH TUJUH

18 3 0
                                    

Semua perkataan Arsen kemarin, masih terus berputar hebat di pikiran Ryan. Memang ada benarnya juga, dilihat dari penampilanpun Azkia sudah nampak jauh berbeda dari yang dulu. Ryan sendiri? Dia bahkan merasa lebih buruk lagi dari yang dulu. Sedangkan Arsen, memang cukup terlihat sedikit perubahan dari temannya itu. Ia jadi lebih suka menghabiskan waktu dengan perkumpulan orang-orang yang bisa dibilang lebih baik tentunya daripada Ryan. Waktunya ia habiskan untuk mengikuti kajian-kajian yang ada di Kampus. Setidaknya itulah beberapa hal yang diberi tahu Bagas pada Ryan tentang Arsen.

Masih seperti jadwal biasanya, Ryan kini sudah berada di ruangannya dan duduk menghadap meja kerjanya tentu saja. Beberapa kali ia mencoba memijit pelipisnya yang terasa pusing. Pusing di sini bukan karena ia sakit, namun karena bingung langkah apa yang harus diambil untuk ke depannya. Ryan tak mungkin memilih mundur, dia bukanlah seorang pengecut yang akan menyerah begitu saja sebelum mendapatkan apa yang diinginkan. Namun untuk majupun rasanya cukup sulit. Entahlah, Ryan merasa perjuangannya untuk mendapatkan Azkia kembali akan tak semudah dulu.

Lelah berkelut dengan pikirannya, akhirnya Ryan memutuskan untuk menghubungi Bagas. Seharusnya saat ini, ia sudah berada di Restoran itu lagi. Ia sama sekali tidak tahu-menahu, apa yang direncanakan Bagas demi menjalankan perintahnya.

Dari dalam ponselnya terus terdengar bunyi 'Tut ... tut ... tut', namun Bagas tak kunjung mengangkatnya. Kemana pula dia?

Sedangkan dilain sisi, Bagas memang sudah berada di Restoran milik Azkia. Tentu saja ada alasan mengapa ia tak mengangkat telepon dari Ryan.

"Gak usah diangkat," kata seorang wanita yang duduk di hadapan Bagas yang tak lain adalah Azkia.

Bagas hanya diam sembari menganggukkan kepalanya. Saat itupun, Azkia terdiam pula. Ia ingin menanyakan berbagai pertanyaan, tetapi ia tak tahu harus memulainya dari yang mana. Merasa keheningan ini harus segera dileburkan, Bagaspun menarik napas panjang. "Hmm ... Ki!"

"Iya, Gas."

"Sebenarnya perasaan lo buat Ryan tuh masih gak sih?" pertanyaan yang akhirnya terlontar dari mulut Bagas.

Azkia menyematkan senyuman di sudut bibirnya. "Insya Allah, udah gak."

"Serius lo? Terus kenapa lo menghindar dari Ryan waktu dia ke sini?"

"Gue belum siap ketemu sama dia. Ya ... posisinya itu, gue kaget ada dia di sini. Sebenarnya, gue gak berusaha buat menghindar kok."

"Btw, kenapa lo pindah ke Bandung?"

"Pasti Ryan yang suruh lo buat cari tahu informasi tentang gue, kan?"

"Hehe, ya begitulah."

Azkia membenarkan posisi duduknya lalu berdeham pelan. "Oke, gue bakal cerita semuanya dan lo gak perlu tanya. Pokoknya, gue bakal cerita semuanya tanpa harus lo tanya dulu. Dan lo, cukup siapin handphone, buat ngerekam. Oke?"

"Kenapa harus direkam?"

"Nanti lo kasih rekamannya ke Ryan, Gas. Jadi lo gak perlu capek-capek buat jelasin ulang. Dan juga, gue mau Ryan tahu semuanya itu langsung dari gue bukan dari orang lain."

"Oke deh. Sebentar," Bagas mulai menyalakan perekam suara dari ponselnya. "Yuk, mulai!"

Azkia menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan. "Oke! Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum, Yan. Gimana kabarnya? Kalau aku, alhamdulillah baik. Aku tahu, pasti kamu punya banyak pertanyaan, kan? Nah, hari ini aku mau jawab semuanya. Aku tahu, kamu sibuk. Jadi kamu suruh Bagas buat cari informasi tentang aku. Jadi untuk yang pertama, alasan kenapa aku minta putus sama kamu. Orang tua aku kan tahu kalau aku pacaran, pada awalnya mungkin mereka masih biasa aja. Tapi makin lama, orang tua aku kurang suka kalau aku pacaran. Katanya, dalam Islam itu gak ada yang namanya pacaran. Terus, aku disuruh buat putusin kamu waktu masih kelas Sebelas. Tapi gak aku lakukan, jadi pada saat itu aku melakukan backstreet sama kamu tanpa sepengetahuan orang tua. Tapi ya ... pada akhirnya bakal ketahuan juga. Jadi aku putusin kamu saat kelulusan, toh aku juga mau pindah."

Azkia memberikan jeda dalam perkataannya, lalu kembali melanjutkannya. "Kenapa aku pindah ke Bandung? Hmm ... sebenarnya ini masalah pribadi keluarga aku, jadi mungkin gak bisa aku kasih tahu. Pada intinya, aku pindah, ya karena ikut orang tua. Mama juga sedikit demi sedikit mengajari aku lebih banyak tentang agama. Aku juga banyak ikut kajian, baca buku tentang Islam. Dan di situlah, aku mulai memutuskan berhijab. Hijab itu kewajiban, kan? Walaupun saat itu akhlakku belum baik, tapi setidaknya aku udah mencoba berusaha untuk jadi lebih baik. Allah menyukai hamba-Nya yang mau berusaha berubah, toh Allah gak akan merubah suatu kaum jika kaum itu tidak berusaha sama sekali."

Azkia terdiam sejenak, berpikir hal apa lagi yang harus ia katakan. "Oh iya, masalah kemarin aku menghindar dari kamu, aku minta maaf banget. Di situ posisinya aku kaget lihat kamu, jadi aku langsung pergi gitu aja. Dan kalau kamu tanya, aku masih sayang atau gak sama kamu? Jawabanku, masih. Tetapi, sayang di sini adalah sebagai teman gak lebih. Sekarang, aku udah gak ada niatan untuk pacaran tetapi, kalau sekedar berteman, it's okey! Aku akan lebih memilih ta'aruf daripada harus pacaran, Yan. Tapi bukan untuk sekarang. Sekarang ini, aku masih mau fokus belajar dan berkarir. Kalau kamu sendiri mungkin, masih mengharapkan aku buat balikan sama kamu. Maaf, aku gak bisa. Kalau emang kamu sayang yang benar-benar sayang, tunggu aku sampai waktunya tepat nanti. Tapi kalau kamu lelah menunggu, silakan! Kamu boleh pergi, toh aku juga gak menyuruh kamu buat menunggu. Itu hakmu. Oke, itu aja. Assalamu'alaikum." Azkia menganggukkan kepalanya pada Bagas tanda ia sudah menyelesaikan perkataannya.

Bagas langsung menghentikan rekaman suara pada ponselnya. "Hufft ... udah nih?"

"Iya, udah. Btw, thanks, Gas."

"Buat apa?"

"Kalau lo gak mau ngaku ke gue, gue gak bakal punya kesempatan buat jelasin semua ini sama Ryan."

"Oh, iya iya. Tapi kalau menurut gue, Kia. Ryan pasti tetap belum puas dengar rekaman ini, dia pasti bakal datang terus tanya-tanya lagi."

"Ya udah, kalau mau datang mah, silakan. Anggap aja silaturahmi."

"Ya udah, deh. Tugas gue berarti selesai lebih cepat nih. Gue pulang, nih, ya?" Bagas berdiri dari duduknya dan diikuti oleh Azkia.

"Eh, lupa."

"Kenapa?"

"Nih, gue kasih nomor handphone-nya Ryan, kali aja lo berniat nelepon," Bagas memberikan ponselnya pada Azkia, dengan tujuan agara Azkia bisa menyimpan nomor Ryan di ponselnya.

"Hmm ... lebih baik gak perlu deh, Gas," tolak Azkia dengan lembut.

"Kenapa?"

"Gak apa-apa."

"Ya udahlah. Gue pulang, ya?"

"Iya, assalamu'alaikum," salam Azkia mengawali, ia tahu pasti bahwa Ryan dan para curutnya ini jarang sekali mengucapkan salam atau bahkan tidak pernah.

Bagas tersenyum kikuk mendengar salam dari Azkia. Sedikit merasa malu mungkin, karena nyatanya dia memang seorang Muslim, namun jarang sekali mengucapkan salam. "Wa'alaikumsalam."

Bagas berjalan ke arah luar Restoran lalu mulai menaiki mobilnya dan seketika melesat di jalanan. Azkia memandangnya dari dalam, semoga saja akan ada perubahan yang muncul dari Ryan nantinya. Bukan karena berharap Ryan kembali untuknya, tetapi untuk kebaikan Ryan sendiri tentunya.

******

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang