DUA PULUH

27 3 0
                                    

Sesuai keputusan Tuan Besar kemarin, hari ini Ryan mulai kembali bekerja. Tidak ada hukuman yang lebih berat lagi baginya, selain harus kembali beraktifitas seperti biasa dan tentunya harus bangun begitu pagi. Tapi setidaknya, ia juga merasa bersyukur karena dipindahkan ke Bandung. Di sana ia tidak akan terkena gangguan oleh wanita yang begitu sering bersikap manja padanya. Siapa lagi kalau bukan Selly? Ya, tentu saja dia.

Ryan meraih kunci mobilnya dan berniat akan langsung berangkat. Ia tak terbiasa harus mendapatkan sarapan pada waktu seperti ini, jadi ia putuskan untuk mencari sarapannya nanti di sana. Ya, inilah salah satu kebiasaannya. Tidak mau sarapan di waktu yang masih sangat pagi karena akan membuatnya mual, tetapi juga tidak bisa meninggalkan sarapan karena akan membuat lambungnya sakit. Wajar saja, dulu semasa Raysa masih ada, Ryan tak pernah meninggalkan sarapan. Ia selalu mendapatkan sarapan di waktu yang tepat. Tidak terlalu pagi dan tidak terlalu siang. Dan semenjak kepergiannya, pola makan Ryan menjadi kurang teratur.

Kini Ryan sudah menyusuri jalan perkotaan untuk menuju Bandung. Tiga jam bukanlah waktu yang sebentar, apalagi di dalam mobil ini, ia hanya sendirian. Beda halnya dengan kemarin, ia pergi bersama teman-temannya yang membuat ia tak sadar sudah mencapai jarak yang begitu jauh. Pantas saja, semua temannya mengeluh lelah dan bosan kemarin. Mungkin seperti yang ia rasakan saat ini.

Memang membutuhkan waktu yang lama, tetapi akhirnya Ryan mulai memasuki kota Bandung sekarang. Bahkan, perut Ryan mulai meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacing di perutnya mulai berdemo meminta diberi asupan. Sedikit melirik arlojinya, pukul 8 tepat. Ia menghentikan mobilnya di depan sebuah Restoran, sepertinya ia mengenali tempat ini. Apa tanpa sadar dia sudah pernah pergi ke sini? Entahlah, Ryan tidak mengingatnya.

Keputusannya saat ini adalah mendapatkan sarapannya. Tentu tak akan jadi masalah bila ia harus tiba di Kantor sedikit lebih lama lagi. Bukankah sang Ayah juga tak akan suka jika ia tidak tepat waktu dalam pola makan? Jika dirinya sakit, tentu saja Ayahnya itu tidak akan suka. Sekeras apapun, rasa sayangnya pada anak semata wayangnya ini begitu besar namun tidak begitu ditampakkan.

Ryan membaca tulisan arab yang berada di atas pintu masuk. Dia memang tidak terlalu paham agama, tapi setidaknya ia lumayan paham dengan huruf hijaiyah walaupun sedikit tersendat. "Ah, gak penting." Ucapnya malas dan berlalu masuk tanpa membaca lanjutan tulisan tersebut. Melihat itu membuat otaknya harus berpikir keras dan tentu saja akan membuang waktu berharganya sia-sia.

Ryan memilih duduk di kursi yang berada di tengah ruangan. Restorannya sepi, hanya ada dirinya dan seorang wanita penjaga kasir yang mengenakan jilbab berwarna biru dongker. Tentu saja, pukul 8 adalah waktunya bekerja bukan istirahat. Jadi wajar saja, jika masih sepi.

"Permisi, Mbak!" teriak Ryan memanggil wanita penjaga kasir seraya mengangkat tangan kanannya.

Wanita itupun langsung menghampirinya dengan sopan. "Iya, mau pesan apa?" Tanyanya menawari.

Ryan tampak menimang-nimang, makanan apa yang ada di Restoran sederhana seperti ini? Apalagi pelayannya hanya satu? Tetapi akhirnya, Ryan memutuskan untuk bertanya. "Kira-kira makanan yang enak buat sarapan di sini apa?"

"Buat sarapan, di sini ada bubur ayam, nasi kuning juga bisa, roti gempal sama kopi enak itu, Mas," jawab wanita itu dengan sopan.

"Bubur ayam aja deh sama minumnya, air biasa aja."

"Iya, Mas."

Setelah wanita itu pergi, Ryan mengotak-atik ponselnya, berniat memberikan kabar pada pihak kantor bahwa dirinya berhenti sebentar di sebuah Restoran untuk makan pagi. Baru saja pesannya terkirim, pintu masuk Restoran terbuka lebar. Memperlihatkan sosok wanita cantik, begitu cantik, bahkan sangat cantik. Ryan tak bisa melepaskan pandangan matanya dari wanita itu. Khimar berwarna piece-nya yang terbilang cukup syar'i, berkibas begitu anggunnya. Matanya yang indah, kulitnya yang putih, pipinya yang merona bahkan membuat Ryan kini beranjak bangun dari duduknya.

Wanita itu belum menyadari ada mata yang memandangnya begitu lekat. Ia terus berjalan menuju meja kasir, nampak meletakkan sesuatu. Dan kini, matanya pun bertabrakan dengan pandangan Ryan. Waktu terasa berhenti, memperlihatkan semua memori. Semuanya kembali berputar seperti kaset rusak, untuk yang kedua kalinya. Ryan kaku di tempat, begitu juga dengan wanita yang ia pandang. Mata wanita itu, mulai tampak berkaca-kaca. Hampir saja, sebuah tetesan jatuh meluncur bebas jika tidak segera ia tepis dan mengalihkan pandangannya. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan hendak masuk ke ruangannya. Namun tidak semudah itu, Ryan langsung mengejarnya dan mencekal tangannya begitu kuat.

"Azkia," ucap Ryan lirih namun masih jelas terdengar. Ya, wanita itu adalah Azkia Khanna Candriana. Gadis yang ternyata masih sukses menempati salah satu bagian dari hatinya.

Azkia tidak menjawab, ia hanya diam menahan tangis. Jika berkata sekali saja, ia yakin buliran itu pasti akan jatuh. Ryan kembali memanggilnya lagi. "Azkia."

Azkia mencoba melepaskan cekalan tangan Ryan dengan sekuat tenaga. Merasa paham, Ryan sedikit melonggarkan pegangannya dan membiarkan Azkia pergi masuk ke dalam sebuah ruangan. Setelah hal itu terjadi, wanita yang tadi menawarkan makanan pada Ryan, yang tak lain adalah Maya, datang membawa nampan yang di atasnya sudah ada semangkuk bubur ayam dan segelas air.

Maya berjalan menuju meja yang ditempati Ryan tadi, namun ia tak menemui orang di sana. Namun masih ada sebuah ponsel, yang tergeletak bebas di atas mejanya. Maya menengok ke kanan dan kiri, hingga akhirnya ia melihat bahwa konsumennya berada di depan pintu ruangan Azkia. Maya berpikir, apakah ia harus ke sana dan menanyakan ada apa? Ah, yang terpenting dia harus menghampirinya terlebih dahulu.

"Permisi, Mas. Itu pesanannya sudah siap," kata Maya lemah-lembut.

Ryan langsung mengeluarkan dompet dari saku celananya dan memberikan selembaran uang merah lalu berlalu begitu saja. Maya menerimanya dengan tampang bingung, sementara si konsumennya itu malah pergi begitu saja setelah mengambil ponselnya di meja. Dan setelah itu, ia pun keluar tanpa menyentuh sedikitpun makanannya. Sebenarnya, ada apa ini?

*****

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang