SEPULUH

32 3 0
                                    

Seruputan kopi pahit hangat di sore hari ini begitu terasa nikmat dirasa. Belum lagi, rintikan air hujan yang jatuh di kota saat ini menambah kenikmatan tersendiri bagi para penikmat kopi. Namun tidak dengan pria kekar ini, ia berada dalam ruangan kerjanya ditemani sang asisten yang setia menemani, tentu saja tak lupa dengan secangkir kopi yang turut hadir. Di dalam ruangan ini, mungkin ia tidak akan tahu bahwa di luar sedang turun hujan.

"Jadi, menurut Bapak, keputusan itu sudah diambil dengan yakin?" tanya Joko disela-sela pembicaraan.

"Sudah, Jok. Ya ... saya harap, saya tidak salah memindah-tugaskan Ryan ke Bandung. Toh, saya melakukan ini karena saya mau dia itu berubah. Dia sudah dewasa dan seharusnya bisa mengubah kebiasaan buruk lamanya, kalau masih ada Mamanya ya ... saya tidak masalah. Tapi sekarang, kan, saya sendiri. Seharusnya dia juga mulai belajar," jelas Danang sambil sesekali memijit dahinya.

Joko mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti sekaligus meng-iyakan. "Hmm ... iya, Pak. Semoga saja, Den Ryan bisa berubah."

Danang menyeruput kopinya sedikit dan perlahan. Dan saat yang bersamaan, Joko mengatakan hal yang membuatnya terkejut. "Lagian, kenapa Pak Bos gak menikah lagi saja?"

Kerongkongannya terasa tercekik dengan pertanyaan tadi. Langsung saja, Danang terbatuk. "Kamu ini bilang apa? Gak mungkin saya menikah lagi. Kalaupun ada yang menikah, ya Ryan bukannya saya."

Joko menyengir lebar mendengar jawaban Bosnya ini. "Hehehe. Pak Bos, kan, masih muda, masih ganteng, masih gagah, dan masih banyak yang mau loh, Pak. Apa salahnya menikah lagi? Biar Pak Bos ada yang urus, Den Ryan juga jadi punya Mama baru, toh."

"Sembarangan aja kamu, Jok! Di hati saya cukup Raysa yang mengisi, tidak ada yang lain lagi. Saya pikir juga, Ryan gak akan suka kalau saya menikah lagi. Dan satu hal yang paling penting, saya tidak pernah menemukan orang yang bisa menandingi Raysa, Almarhumah istri saya."

"Iya, Pak, iya. Pak Bos mah setia, ya, orangnya."

"Yang harusnya tanya itu saya, kapan kamu menikah? Kok kamu malah nyuruh saya menikah dua kali, kamu sendiri saja belum menikah."

"Awal tahun besok, Pak. Sekarang, saya masih mau mapan dulu. Masalah calon itu sudah ada di kampung, tinggal digas saja, Pak," cengir Joko terlihat malu-malu.

"Ya, bagus kalau begitu. Nanti saya pasti datang."

"Siap, Pak Bos!"

Tok ... tok ... tok ....

Suara ketukan pintu, menghentikan pembicaraan Danang dan asistennya Joko. "Masuk!" suara lantang Danang menginterupsi.

Seorang laki-laki masuk ke dalam ruangan itu. Rupanya, ia adalah Ryan. "Maaf, Pa, ganggu!" Kata Ryan setelah menempatkan dirinya di kursi di hadapan Danang dan di samping Joko.

"Engggak ganggu. Kenapa?" tanya Danang langsung tanpa berniat untuk basa-basi terlebih dahulu.

"Ryan mau ke Bandung, mau lihat-lihat Kantornya aja, sih. Soalnya Ryan belum pernah ke sana, jadi biar besok gak bingung gitu."

"Boleh saja, tapi ini sudah sore. Apa gak takut kemalaman? Sudah shalat Asar?"

Ryan berlagak kikuk, memang sejak kapan Ryan pernah shalat? Dan sejak kapan pula sang Ayah menanyakan perihal itu padanya? "Nanti kalau udah adzan di jalan, berhenti di masjid buat shalat, Pa." Katakan bahwa Ryan sedang tidak berbohong, tapi kenyataannya dia sedang berbohong.

"Oke! Kamu ke sana sendiri?" tanya Danang lagi.

"Iya, Pa."

"Ya sudah, mau berangkat kapan?"

"Sekarang, Pa." Ryan berdiri dari duduknya lalu menyalimi tangan sang Ayah dan setelahnya berlalu keluar ruangan.

Setelah Ryan keluar dari ruangan, Joko kembali membuka mulutnya. "Sejak kapan Pak Bos nanya shalat sama Den Ryan? Lah setahu saya, Den Ryan itu gak pernah shalat loh, Pak."

Danang menghela napasnya gusar. "Iya, saya tahu. Salah saya dan Raysa dulu, tidak pernah mengajarinya tentang agama dan terlalu memanjakannya, memberikannya uang, uang, dan uang. Waktu saya terbuang hanya untuk mengurus Perusahaan, tanpa mengenalkan anak saya dengan adanya Tuhan. Sebenarnya saya sangat sedih, Jok. Istri saya sudah meninggal, tapi anaknya tidak tahu bagaimana cara mendoakan Mamanya."

"Tapi tadi, Den Ryan bilang mau shalat di Masjid, Pak Bos. Mungkin dia sudah belajar sendiri, ya?"

"Dia itu pandai berbohong, Jok. Tapi saya berharap, kebohongannya tadi akan membuatnya sedikit berpikir. Bahwa agamanya Islam, dan bukan hanya di KTP saja."

"Aamiin, Pak. Semoga saja ini langkah awal perubahan yang baik bagi Den Ryan ke depannya."

Danang mengangguk seraya tersenyum. "Aamiin."

*******

Selama di perjalanan Ryan nampak gelisah. Baru kali pertama ini, Danang menanyakan perihal shalat padanya. Pertanyaan tadi, membuatnya mengingat bahwa ia memeluk agama Islam. Dan seperti yang orang banyak tahu, bahwa mereka beribadah dengan shalat. Ryan mengacak rambutnya gusar, ia bahkan tak tahu apa dan bagaimana itu shalat?

Ya, dia akui, dia tak pernah tertarik mendengarkan pelajaran Agama sejak masih duduk di bangku SD. Baginya, pelajaran itu bagaikan dongeng pengantar tidur. Ryan akan segera tertidur pulas di kelas ketika Guru Agama mulai menjelaskan pelajaran. Kalaupun diberikan tugas, ia selalu mencontek pekerjaan temannya. Jika tidak mau, ia akan terus memaksa agar diberikan contekan dengan imbalan upah yang tidak sedikit.

Pribadinya yang suka memerintah sejak kecil tanpa menerima penolakan, membuatnya memiliki sifat Bossy. Ia selalu melakukan apa yang dia mau, hingga akhirnya hanya ada seorang gadis yang bisa memintanya untuk melakukan apapun. Bahkan kalau mau, ia akan membuatkan 1000 candi untuknya. Terlihat lebay, tapi itulah kenyataannya. Ia akan melakukan apapun untuk gadis kesayangannya. Azkia.

Cukup hentikan. Kini pikiran Ryan kembali mengingat masa lalu indahnya bersama gadisnya. Kenangan itu kembali berputar seperti kaset rusak. Ryan ingin menghentikannya, namun mengingat itu semua sangat disukai hati dan pikirannya. Entahlah, ia menjadi kurang fokus untuk saat ini.

*******

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang