Kondisi Ryan setelah kecelakaan yang tak begitu buruk, membuatnya malam itu juga bisa segera dibawa pulang oleh Ayahnya, Danang. Namun sebelum itu, Danang berniat untuk kembali menengok keadaan korban lain yang bertabrakan dengan mobil Danang. "Papa mau nengok orang yang kecelakaan tadi, kamu mau ikut atau gak?"
Ryan mematah-matahkan lehernya, sedang bersandiwara agar bisa menolak tawaran sang Ayah. "Aduh, gak deh, Pa. Ryan langsung ke mobil aja sama Pak Joko. Iya, kan, Pak?" Sebelah mata Ryan memberi isyarat kepada Joko dengan mengedipkannya.
"Oh ... oh anu, Pak, iya. Saya nemenin Den Ryan ke mobil aja. Toh, di luar sedang hujan, saya kan jadi bisa mayungin gitu."
"Oke, kalau begitu, saya pergi dulu."
Setelah Danang meninggalkan kamar itu, Ryan menghela napas tenang. Rasanya ia tak ada niatan sama sekali untuk melihat orang yang sudah menghancurkan harinya itu. Seharusnya dia tidak berakhir di sini, jika orang itu bisa mengendarai mobil dengan benar. Ya, menurut Ryan, orang itu yang salah bukan dirinya. Bukankah dirinya sudah handal dalam mengendarai mobil? Tentu saja, pasti orang itu tidak tahu bagaimana cara mengemudi dengan benar.
"Ayo, Pak Joko! Antar saya ke mobil, saya capek, mau tidur."
Dengan sigap, Joko langsung mendekati Ryan dan berniat untuk menuntunnya. "Sini, Den, saya bantu."
"Eh, gak usah. Gue bisa sendiri," tolak Ryan dengan angkuh. Walau kakinya sedikit pincang dan tangannya sakit, namun si keras kepala ini tetap nekad berjalan sendiri. Ia tak akan mau memohon pada orang yang dinggap ada di bawahnya.
*****
Sementara itu, di ruangan tempat Rizki dirawat, Irwan mengajak keluarganya untuk pulang ke rumah. Mengingat hari semakin malam, dan Azkia sendiri butuh istirahat.
"Ya sudah, saya sekeluarga pamit pulang dulu. Insya Allah, besok mampir lagi," kata Irwan berpamitan seraya mengelus kepala Rizki.
"Iya, Om. Makasih udah mau jenguk, malah jadi ngerepotin deh," balas Rizki dengan menyematkan seutas senyuman manisnya.
"Heh, mana ada ngerepotin? Kamu itu malah sering bantu Om sama Tante, bantu antar-jemput Azkia tiap hari. Justru kita yang malah gak enak," sambung Fathimah.
"Iya, Mas. Maafin Azkia udah sering ngerepotin."
Rizki tertawa renyah, lalu menggengam tangan Azkia. "Kamu itu udah kayak adek Mas Rizki, Kia. Gak ada kata ngerepotin untuk melakukan hal itu buat adeknya sendiri."
Andre hanya memperhatikannya. Ia enggan mengangkat mulutnya untuk berbicara. Ia tak mau suasana menjadi buruk karenanya.
"Ndre!" panggil Irwan mengagetkan lamunan Andre.
"Iya, Pa."
"Kita pulang naik mobil kamu, ya? Mobil Papa ditinggal di Kantor tadi, suruh karyawan yang bawa balik ke rumah."
Andre langsung mengangguk, lagipula untuk apa ia menolaknya. "Oh, iya, Pak. Nanti Andre yang bawa mobil."
"Ya sudah, Rizki, cepat sembuh, ya. Om Irwan pamit dulu. Mas, Mbak, saya pamit pulang, ya."
"Iya, terima kasih."
"Assalamu'alaikum."
Irwan dan keluarganyapun keluar dari ruangan tersebut. Baru saja mereka keluar, Danang masuk ke dalam ruangan itu untuk berpamitan pulang kepada Rizki.
"Assalamu'alaikum," salam Danang ketika memasuki ruangan.
Mereka pun menjawab bersamaan. "Wa'alaikumsalam."
"Eh, Om Danang," ujar Rizki karena ia telah mengetahui namanya.
"Bagaimana? Sudah lebih baik setelah dijenguk?"
"Alhamdulillah, Om, saya baik."
Danang melihat dua orang, yang ia pikir adalah orang-tua dari Ryan. "Oh, ini orang-tuanya Rizki, ya? Perkenalkan, Pak, saya Danang."
"Iya, Pak, kami orang tuanya. Maaf, tapi Pak Danang ini siapa, ya?" kata Ayah Rizki, Bram.
"Saya orang-tua dari anak yang bertabrakan mobil dengan anak Bapak."
Bram manggut-manggut, tak lupa senyuman masih setia menghiasi wajahnya. "Bagaimana keadaan anak Bapak?"
"Alhamdulillah, lebih baik. Hanya sedikit luka memar dan malam ini bisa dibawa pulang."
"Alhamdulillah," ucap syukur kedua orang-tua Rizki bersamaan.
"Hmm ... jadi begini, Pak, Bu. Saya sudah membayar semua administrasi anak anda. Dan saya melakukan ini, ikhlas lillahi ta'ala."
Untuk kedua kalinya, orang-tua Rizki kembali memanjatkan syukur. "Saya berterima kasih sekali untuk itu, Pak. Tetapi, bukannya saya ingin sombong atau apa, Insya Allah saya masih bisa membayar itu." Kata Bram seraya tersenyum kikuk.
"Iya, Pak, tidak apa-apa. Saya melakukan ini, ya karena ikhlas, bukan karena apapun. Mengingat dulu, almarhumah istri saya meninggal dunia karena kecelakaan. Jadi saya pikir, saya ingin melakukan ini sebagai bentuk sedekah."
"Oh iya, Pak. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih."
"Hmm ... kalau begitu, saya pamit pulang. Hari semakin malam, dan jangan lupa istirahat dan minum obat yang teratur untuk anak Bapak."
"Iya, Pak, terima kasih."
"Okey, get well soon. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Rizki dan kedua orang-tuanya bersamaan.
*****
Danang menembus rintikan air hujan yang jatuh begitu deras. Lalu ia pun masuk ke dalam mobilnya, yang di sana sudah terdapat Joko yang duduk di tempat sopir dan Ryan di belakang yang sudah tertidur dengan nyenyaknya.
"Aduh, Pak. Kenapa gak minta saya jemput? Lihat toh, jadi basah semua," kata Joko ketika Danang sudah duduk di sampingnya.
"Lah, cuma basah sedikit. Sudah, ayo jalan!" titah Danang yang langsung dilaksanakan oleh Joko, asistennya.
Beberapa jam yang dilalui untuk sampai di Jakarta, membuat Ryan nampak semakin menikmati tidurnya. Bahkan setelah sampai, ia belum juga bangun. Danang yang iseng ingin menjahili anaknya pun, turun dari mobil bersama Joko dan membiarkan Ryan tertidur di dalam mobil. Toh, sudah beberapa kali Joko berusaha untuk membangunkannya, namun tetap saja, telinga Ryan begitu tebal sehingga tak menggubrisnya sama sekali. Apa boleh buat lagi, Danang pun memutuskan untuk melakukan hal itu. Lihat saja, apa yang akan terjadi pada anak semata wayangnya itu. Jika ia mengeluh badannya sakit, maka ia akan berusaha untuk tidak peduli.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta [Hiatus]
General FictionMungkin saja, belum seperti kisah cinta antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah. Namun di sini, ada suatu rasa yang tersimpan dengan anggun. Menunggu jawaban dari pujaan hati dengan memecahkan jawaban sederhana yang baginya adalah suatu teka-teki...