DUA PULUH ENAM

19 3 0
                                    

Malam ini masih terasa sama seperti malam-malam sebelumnya. Tentu saja, memang apalagi hal yang berbeda dari hidup Ryan? Kelihatannya tidak ada. Namun entah bila nanti ia bisa kembali bersama gadis pujaannya, Azkia. Mungkin terselip hal manis di akhir hidupnya nanti, bukankah roda kehidupan ini selalu berputar? Jadi bukan hal yang tak mungkin, akan ada kebahagiaan menunggu Ryan di hari esok.

Kini Ryan duduk di sisi paling pinggir sebuah Restoran mewah. Sengaja memilih di situ karena matanya lebih menyukai melihat keadaan luar yang gelap dibandingkan melihat ke dalam yang penuh dengan cahaya terang, baginya untuk sedikit menyakiti inderanya. Kalau saja bukan karena Bagas yang meminta untuk bertemu di tempat ini, Ryan pasti tidak akan segan-segan menolak. Namun sayangnya, Ryan sangat membutuhkan sebuah informasi entah sekecil apapun itu, tentang sang gadis.

Sudah lumayan lama Ryan menunggu, namun Bagas dan Arsen tak kunjung datang. Ada pertanyaan terselip? Ya, tentunya Bagas tidak akan mengajak Arsen jika bukan atas perintah Ryan. Setelah mengetahui hal tadi atas informasi Bagas, Ryan langsung menyuruh Bagas mengajak Arsen ikut pula untuk ditanyakan lebih lanjut. Katakan saja ini terlalu berlebihan, tapi tidak bagi Ryan. Karena apapun yang diinginkan, haruslah didapatkan entah bagaimana caranya.

Merasa bosan menunggu, Ryan pun meraih ponselnya yang ia geletakkan bebas di atas meja di depannya. Ia berniat menghubungi Bagas untuk segera datang. Bisa-bisanya dia membuat Ryan menunggu, memangnya dia siapa? Mungkin itu yang terlintas di pikiran seorang Ryan Putra Aditama.

Kini, ponsel telah menempel di telinga kiri Ryan. Namun belum saja terhubung, Bagas datang yang tentunya bersama Arsen di sampingnya. Di sana, Arsen nampak memasang wajah cuek. Sudah bisa diduga, ia pasti tahu tujuan dari pertemuan ini.

"Sorry, Yan, lama," kata Bagas setibanya di hadapan Ryan dan langsung duduk. Begitupun juga dengan Arsen yang ikut duduk di sampingnya.

"Hmm," mata tajam Ryan tak bisa lepas dari memandang Arsen. Bahkan kini, keduanya nampak beradu pandang. Jika ini adalah sebuah film, bisa dipastikan akan keluar api dari kepala mereka, siap beradu layaknya banteng yang sedang mempertahankan posisinya.

Bagas merasakan situasi mulai memanas sebelum waktunya, padahal dia sedang lapar dan berniat untuk mengisi perutnya terlebih dahulu. "Ekhem!" Bagas berdeham menyadarkan kedua temannya dari adu tatap. Ryan dan Arsen pun akhirnya saling membuang pandang satu sama lain.

"Lo daritadi nungguin gue, belum pesan apa-apa? Betah lo? Ah, kalau gue gak betah," cerocos Bagas berusaha mencairkan suasana.

"Kalau lo mau pesan, pesan aja. Sekalian tuh, sama teman lo," sahut Ryan dengan wajah datarnya. Sedangkan Arsen, merasa namanya disebut, ia mendenguskan napasnya malas.

"Bagus! Lo yang bayar, ya?"

"Gue gak mau pesan apa-apa," Arsen akhirnya mengeluarkan suaranya.

Ryan meliriknya dengan tatapan layaknya seorang macan ingin menerkam. Jika ini adalah sebuah film kartun, pasti sudah muncul tulisan, 'Aing Maung.' Tetapi sayangnya, ini adalah kisah hidupnya yang tak bisa dipermainkan dengan sesuka hati.

"Ya udah, gue aja."

Bagaspun memanggil pelayan di Restoran tersebut lalu memesan beberapa makanan yang ringan beserta minumnya. Setelah pelayannya pergi, kembali terjadi perang dingin dari mata Ryan dan Arsen. Bagas memutar otaknya, ia jengah melihat kedua temannya harus bersikap seperti ini hanya karena seorang wanita yang belum jelas menjadi jodoh siapa kelak.

"Jadi gini...," Bagas memberikan jeda pada perkataannya yang tiba-tiba. Syukurnya, hal itu berhasil mendapatkan perhatian dari kedua temannya ini. "Tadi sore, gue nemu kucing." Sambung Bagas membuat Ryan dan Arsen memutar bola matanya malas.

"Kucingnya gendut banget. Lucu, serius deh! Gak bohong gue. Terus, gue bawa pulang, kan. Gue kasihlah dia nama 'Cemong', eh, pas nyokap gue lihat tuh kucing, katanya suruh dibuang. Kejam banget gak sih?" ujar Bagas seperti anak polos tanpa dosa.

"Gak penting!" jawab Ryan dan Arsen benar-benar bersamaan. Keduanyapun saling tatap sebentar, lalu kembali membuang pandangnya.

Tak berapa lama kemudian, pesanan Bagaspun datang. Sembari melahapnya, Bagas mencoba membuka sesi interogasi ini perlahan-lahan, tetap santai namun pasti. "Jadi gimana, Sen?" Tanya Bagas sambil mengunyah makanannya.

"Hah? Apanya?" tanya Arsen balik.

"Ya ... gue pikir lo udah tahu, maksud gue ngajak lo ke sini buat apa."

"Oh, iya gue tahu. Pasti mau nanya tentang Azkia, kan?"

"Lo tahu dia ada di Bandung dan lo gak kasih tau gue. Maksud lo apa?" kali ini Ryan membuka mulutnya dengan nada bicara tak bisa biasa.

"Sstt ... jangan berisik, Yan. Gue lagi makan."

"Lo bisa serius gak sih?"

"Kan lo sendiri yang menyerahkan tanggung-jawab untuk mencari tahu tentang Azkia ke gue. Jadi, biarin gue yang jadi moderator sekaligus penanya di sini. Lo cukup menyimak."

Entah ada angin apa, perkataan Bagas mampu membuat Ryan mengikuti perintahnya. Ia pun diam tak lagi menjawab. Sepertinya, dia memang sudah tak sabar untuk mendapat jawaban dari Arsen, maka dari itu ia langsung menurut begitu saja.

"Nah, Bro! Jawab dong, kalem aja tapi," Bagas mempersilakan Arsen untuk menjawab.

"Gue baru tahu Azkia ada di Bandung kemarin, waktu gue turun dari mobil lo."

Ryan berusaha mengingat kembali hal yang telah lalu. Rupanya, tempat itu. Pantas saja, kelihatannya Ryan pernah ke sana sebelumnya.

"Terus, kenapa lo gak kasih tahu Ryan? Lo kan tahu, Ryan masih ngarep banget sama tuh cewek."

"Gue harus jawab jujur tapi menyakitkan, atau bohong tapi menyenangkan?"

Bagas malah cengengesan mendengar jawaban itu. "Versi dua-duanya boleh deh. Yang menyakitkan dulu aja, habis itu yang menyenangkan, biar jadi obat."

"Jawaban jujurnya, gue suka Azkia."

Deg!

Ryan mengepalkan tangan kanannya siap dan kelihatannya siap meluncurkan sebuah tonjokan di pipi lawannya. Bagas yang menyadari itu, berusaha menetralkan suasana kembali. "Uhuk! Ekhem. Yan, minum dulu sebentar. Tarik napas dalam-dalam. Santai. Bisa gawat kalau lo buat keributan, nanti kita diusir sedangkan makanan gue belum habis. Kan kasihan makanannya."

"Lanjut, Sen!" kata Bagas lagi.

"Gue berpikir, Azkia sekarang udah banyak berubah. Gak hanya dari segi penampilan, tapi juga hati. Gue rasa, cewek kayak dia gak pantas buat cowok yang suka nge-bar macam Ryan."

"Wah, jujur banget, ya! Kayaknya ini emang lumayan sepet, menyakitkan hati hehehe. Ada lagi?"

"Gak."

"Jawaban bohong deh."

"Gue mau Ryan bisa bahagia dengan wanita yang emang udah sayang sama dia dari dulu. Dan pastinya, bisa melupakan masa lalu. Seperti yang kita tahu, Kia pernah buat lo sampai down banget."

"Cukup menyenangkan. Jadi sekarang, kelanjutan lo mau gimana nih sama Azkia?"

"Gue mau berjuang buat dia. Kalau emang Ryan masih berharap sama dia, silakan. Kita sama-sama berjuang dan lihat siapa yang menang," Arsen bangun dari duduknya. "Gue permisi! Assalamu'alaikum." Arsen pergi meninggalkan Ryan dan Bagas begitu saja tanpa menunggu lebih banyak pertanyaan lagi. Ia kira, semua jawaban itu sudah mewakili semuanya. Sisanya, biar Ryan cari tahu sendiri. Arsen tak peduli.

******

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang