Hembusan angin pagi terasa begitu sejuk di sini. Sudah tiga hari lamanya, Azkia bersama Keluarganya pindah ke Kota Lembang. Kebetulan, kedua orang tuanya memiliki perkebunan teh dan stroberi di sini. Sejak lama mereka menitipkannya pada kerabat-kerabat yang tinggal di Lembang. Memang rencananya, setelah kelulusan Azkia, mereka akan pindah ke Kota Lembang. Hal itu tentu saja membuat Andre harus bolak-balik Jakarta-Bandung, karena ia sendiri sedang menempuh pendidikannya di salah satu Universitas di Jakarta, yakni UIN Syarif Hidayatullah.
Sedangkan Azkia, dia berencana akan melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia berharap, jarak yang cukup jauh ini semoga dapat membuatnya melupakan Ryan dengan segera. Saat sedang duduk melamun di taman rumahnya, Fathimah, Ibu Azkia mengejutkannya. "Kia!"
Azkia mengerjapkan matanya, "Eh, Mama! Iya, Ma? Kenapa?"
"Anak Mama yang cantik! Kalau lagi di luar rumah, dipakai dong jilbabnya. Kemarin, kan, udah Mama beliin," nasihat Fathimah seraya mengelus lembut rambut Azkia yang terurai panjang.
Azkia hanya bisa meringis, sembari menggaruk pipinya. "Hehe ... iya, Ma. Ya udah, Kia masuk dulu, Ma." Azkia berlalu pergi meninggalkan Fathimah sambil tersenyum canggung. Jujur saja, Azkia belum terbiasa mengenakannya.
Fathimah memandang anak gadisnya yang mulai hilang, masuk ke dalam rumah. Lalu mulai mengambil selang air dan menyiramkan bunga-bunga di taman rumah.
*****
Di sisi lain, Ryan sedang menikmati sarapan paginya dengan tergesa-gesa. Entahlah! Beberapa hari ini, hatinya terasa tak nyaman. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, namun sayangnya, ia tak tahu apa. Beberapa kali ia mengecek ponselnya karena ada banyak pesan masuk dari teman-temannya, entah melalui obrolan pribadi ataupun grup. Tak terkecuali Selly, sejak putus dari Azkia, tidak terlewat satu haripun ia mengirimkan pesan. Padahal, Ryan hanya membacanya dan tak pernah berniat untuk membalasnya, apalagi ia hanya sekedar mengucapkan, 'Selamat pagi, siang, sore, malam' dan hal-hal yang ia rasa tidak penting lainnya.
Sarapannya selesai. Seperti biasa, ia hanya sendirian pagi ini. Bagaimana tidak? Ia sarapan pada jam 8 pagi. Itu adalah pukul yang akan dianggap sudah siang oleh kedua orang-tuanya, jadi tentu saja, mereka sudah berangkat ke Kantor. Tak masalah baginya, ia sudah begitu terbiasa.
Ryan berlalu meninggalkan meja makan dan bergegas mengambil kunci mobilnya. Entah kemana ia akan pergi, ia hanya mengikuti jalan pikirnya saja. Mobilnya kinipun telah melaju membelah jalan perkotaan. Rupanya cukup ramai hari ini, jalanan macet total. Ryan mendengus kesal, ia terjebak macet.
"Sial!" Ryan memukul setirnya seraya mendengus kesal. Dan setelahnya, ponsel di sakunya bergetar. Ia meraihnya, dilihat sebuah panggilan masuk dari Bagas. Tanpa menunggu lebih lama, ia langsung menerima panggilan itu.
"Iya, Gas," sapa Ryan mengawali.
"Lo dimana, nih? Gue sama temen-temen mau ngajakin lo jalan-jalan ke Bandung."
"Gue di jalan. Ngapain ke sana?"
"Itung-itung buat refreshing. Mau jalan-jalan lihat kebun teh, kayaknya enak aja gitu."
"Gue kejebak macet. Kalau kalian mau pergi, silakan! Gue lain kali aja."
"Oke!"
Tut ... tut ... tut ....
Bagas memutuskan panggilannya sepihak. Syukurlah! Ada gunanya juga menerima telepon dari temannya itu. Perlahan jalan mulai terbuka, kendaraan-kendaraan kini telah kembali berjalan. Ryan memutuskan untuk menghindari jalan-jalan yang biasanya ramai.Ryan mengemudikan mobil tanpa sebuah tujuan jelas. Ia hanya terus berjalan ke depan. Saat sampai di sebuah rumah, mobilnya berhenti. Entah apa yang terjadi, ia berhenti di sini. Di depan rumah Azkia. Gerbangnya ditutup dan dikunci. Dalam hati Ryan bertanya-tanya, apakah di rumah ini sedang tidak ada orang? Apakah mereka sedang berlibur? Atau justru ... mereka pindah?
Ryan turun dari mobilnya, berusaha mengintip dari balik pagar. Rumahnya sepi. Tak lama dari situ, ada seseorang yang memanggilnya. "Nyari siapa, Nak?" Tanya seorang Ibu yang membawa keranjang berisi sayur-sayuran.
"Enggak, Bu, gak nyari siapa-siapa," lisannya berbohong, namun hatinya tak bisa. Ryan mencari Azkia.
"Oh, kirain nyari orang rumah ini. Ya sudah, saya permisi dulu!" kata Ibu itu lalu pergi meninggalkan Ryan. Namun dengan segera, Ryan mencegahnya. "Eh, Bu, maaf! Memangnga, orangnya kemana, ya, Bu?" Tanya Ryan dengan sopan.
Ibu itu berhenti dan kembali berbalik ke arah Ryan. "Orangnya pindah, Nak. Ini rumahnya dijual."
"Loh? Kenapa dijual, Bu?" tanya Ryan lagi penasaran.
"Kalau setahu saya, karena mereka mau mengurusi usaha lama di tempat tinggalnya dulu gitu, tapi saya juga kurang paham," jawab Ibu itu jujur.
"Tempat tinggal lamanya, memang dimana, ya, Bu?"
"Nah, kalau itu saya gak tahu."
Ryan mengangguk-angguk. "Ya udah, Bu. Makasih!"
"Sama-sama. Ibu permisi, ya."
Setelah Ibu itu pergi, Ryan masih terdiam ditempatnya berdiri. Selama ia bersama dengan Azkia, ia tak pernah tahu tempat tinggal lama keluarganya dimana. Lalu, usaha lama apa? Mungkin seharusnya ia tak perlu susah payah memikirkannya, tapi tak tahu mengapa, pikiran dan hatinya berkompromi untuk mencari tahu dimana Azkia.
Ryan meraih ponselnya, mengecek nomor whatsapp Azkia. Kelihatannya, nomornya ini sudah tidak aktif lagi. Karena sudah tiga hari ini, ia tak pernah melihat mantannya membuat status di whatsapp. Atau kemungkinan lainnya, Azkia telah memblokir nomornya. Ah! Pikirannya terus saja berkecamuk. Namun semua ini, justru membuatnya semakin ingin mencari dan terus mencari Azkia. Ia masih ingin bersamanya. Ia yakin, Azkia pasti memiliki alasan yang kuat untuk semua inu.
Ryan pun, jadi membuat perkiraannya sendiri. Apakah hal ini yang membuat Azkia memutuskan hubungan dengannya? Apakah ia takut, Ryan tak bisa menjaga perasaannya ketika jarak harus memisahkan mereka? Lalu, di mana Azkia tinggal sekarang? Apakah begitu jauh sehingga keputusannya harus seperti ini? Entahlah!
******
To Be Continued!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta [Hiatus]
Ficción GeneralMungkin saja, belum seperti kisah cinta antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah. Namun di sini, ada suatu rasa yang tersimpan dengan anggun. Menunggu jawaban dari pujaan hati dengan memecahkan jawaban sederhana yang baginya adalah suatu teka-teki...