Suara knalpot menyadarkan Azkia dari lamunannya, ia menengok keluar Restoran begitupun sama dengan Andre. Rupanya, Maya sudah datang, seperti biasa bersama motor tua milik almarhum Bapaknya dulu.
"Assalamu'alaikum," kata Maya setelah sukses membuka pintu.
Azkia dan Andre menjawabnya bersamaan. "Wa'alaikumussalam."
"Maaf, Ki, Mbak Maya agak lama. Soalnya Ibu sakit, jadi bantu beres-beres dulu," tuturnya sembari duduk bersama Kakak beradik itu.
"Iya, Mbak, gak apa-apa. Lagian, aku juga gak bilang dulu kalau mau buka Restoran."
"Ibumu kumat lagi, May?" sahut Andre sambil menatap ke arah Maya.
"Iya, Mas. Tapi sekarang alhamdulillah udah mendingan."
Andre mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kembali menyeruput kopi buatan sang adik. Setelah itu, ia izin berpamitan. "Udah ada Maya, sekarang Abang boleh pergi?" Tanyanya pada Azkia.
"Iya, Abang. Tapi nanti gak usah dijemput, ya? Kemungkinan, habis dari Kampus mau ke toko buku sama temen."
"Iya, tapi hati-hati loh."
"Siap, Bang!"
"Ya udah, Abang pergi. May, duluan, ya."
"Oh, iya, Mas. Silakan!"
"Assalamu'alaikum," salam Andre seraya menyematkan seutas senyum manisnya.
"Wa'alaikumussalam."
Andre pun keluar dari Restoran tersebut dan kembali menyusuri jalanan.
*****
Sinar mentari sudah begitu cerahnya masuk lewat celah-celah ventilasi. Dengan jendela yang masih tertutup rapat oleh gorden, pakaian yang masih lengkap setelah ia melaksanakan shalat subuh pun, masih melekat di tubuhnya. Sarung, kopiah bahkan sajadahpun ia gunakan untuk menutupi kepalanya. Ryan kembali tergeletak bebas di atas kasur empuknya.
Danang memang memberikannya libur seminggu dari kerjanya, tapi tidak dengan kuliahnya. Bukankah seharusnya ia berangkat? Namun dengan seenak jidatnya, ia malah berbaring malas saat ini.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu tak membuat Ryan bergerak sedikitpun. Namun akhirnya, ia terbangun juga. Mau bagaimana lagi? Ketukan itu berubah suara menjadi gedoran seperti seorang yang sedang mengamuk.
"Iya, iya. Sebentar!" jawab Ryan malas lalu melangkah memutar knop pintunya.
Setelah terbuka, Ryan membuka matanya lebar. Jika sudah begini, bisa ditebak bahwa itu adalah Danang, sang Ayah. "Kamu kuliah pagi, kan?"
"Pa, aku izin 3 hari, ya? Badanku sakit semua. Lagian, temen-temen juga pada tahu kalau aku habis kecelakaan. Pasti beritanya udah nyebar ke satu kampus. Izinin, ya, Pa?" pinta Ryan dengan mimik memelas.
Danang terdiam sejenak.
"Please, Pa! Only 3 days," kali ini ia sambil mengatupkan kedua tangannya. Berharap, semoga Tuan Besar ini mau mengabulkan permintaannya.
Danang menghela napasnya lalu menjawabnya. "Okey, only 3 days! No more!" Danangpun meninggalkan kamar Ryan setelahnya.
Ryan menatap kepergian sang Ayah dengan bahagia, lalu bisa menarik napas dengan tenang. Ia tahu, bahwa Ayahnya itu akan menghabiskan waktunya di Kantor hingga malam nanti. Dan selama itu pula, Ryan bisa bebas pergi kemanapun yang ia inginkan. Hanya saja, ia harus berhati-hati agar tidak ada seorang penjagapun yang mengetahui kepergiannya. Ia harus menjelma menjadi maling yang mengendap-endap di rumahnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta [Hiatus]
General FictionMungkin saja, belum seperti kisah cinta antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah. Namun di sini, ada suatu rasa yang tersimpan dengan anggun. Menunggu jawaban dari pujaan hati dengan memecahkan jawaban sederhana yang baginya adalah suatu teka-teki...