SEMBILAN BELAS

25 3 0
                                    

Pandangan Arsen tak lepas dari melihat setiap senyuman yang Azkia sematkan. Azkia bercerita tentang masa-masanya sebelum hijrah, begitu banyak rintangan dan godaan yang harus dihadapi. Dan syukurnya, ia mampu melewati semua itu. Dari cerita yang Arsen dengarkan, ia merasa ingin menaruh hati padanya. Toh saat ini, Azkia tidak memiliki laki-laki special bukan di hidupnya?

"Sen," tegur Azkia yang melihat Arsen nampak melamun dan tak mendapatkan gubrisan apapun.

"Arsen!" ulangnya lagi lebih keras sampai Arsen mengerjapkan matanya.

"Eh, iya, Ki? Gimana-gimana?" tanya Arsen seperti orang linglung.

Azkia menghela napasnya lembut, "Kamu dari tadi gak dengar aku ngomong apa?"

"Loh? Kata siapa? Aku dengerin, kok."

Azkia tersenyum licik berniat menjahili temannya ini. Sudah begitu lama rasanya, Azkia tidak becanda dengan teman lawan jenis, karena biasanya Azkia hanya bisa bicara berdua dengan seorang teman akrabnya, yakni Tiara. "Ah, masa sih? Kamu tuh melamun tadi. Coba bilang, tadi aku cerita apa?"

"Kamu cerita soal masa-masa hijrah kamu, kan? Banyak godaannya, rintangannya, bahkan sampai kamu tuh nangis-nangis di kamar karena gerah pakai khimar. Iya, bukan?"papar Arsen yang mendapatkan cengiran dari Azkia.

"Malah nyengir lagi. Oh, ya, kamu kuliah atau gak?" Arsen mencari topik pembicaraan baru agar semakin lama ia bisa mengobrol dengan Azkia.

"Alhamdulillah, kuliah. Kamu sendiri kuliah, kan? By the way, kamu juga kelihatan banyak berubah loh. Sekarang bawaannya buku lagi," Azkia mengambil buku yang sedang dibaca oleh Arsen tadi dan membacanya. Terpampang judul buku yang menceritakan tentang jejak islam di Nusantara. "Wah, bukunya keren lagi. Mau jadi ahli sejarah Islam, nih, ceritanya?"

"Gak juga, cuma suka aja baca buku itu. Buat nambah pengetahuan," jawab Arsen seadanya.

Azkia hanya manggut-manggut mengerti. Tak selang berapa lama, suara pintu di buka kembali terdengar itu tandanya ada yang baru saja datang. "Eh, udah dulu, ya, Sen? Mau bantu Mbak Maya." Kata Azkia seraya bangkit berdiri dari duduknya.

"Mbak Maya?" tanya Arsen membeo.

"Itu yang jaga kasir namanya Mbak Maya dan masih jomblo loh," ucap Azkia dengan sedikit memelankan pada kalimat yang terakhir.

"Terus?"

"Ya, gak apa-apa. Cuma kasih tahu, lagian Mbak Maya cuma beda dua tahun loh sama kita."

Arsen menelan ludanya malas, yang ia harapkan saat ini adalah gadis di depannya bukan orang lain. "Ya." Singkat, padat, dan jelas membuat Azkia menahan tawanya, alhasil pipinya pun menggembung.

"Kenapa ketawa? Emang ada yang lucu?" Arsen sedang berusaha bersikap cuek, ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis yang baru beberapa menit yang lalu telah menempati hatinya dengan bebas.

"Iya, ada. Aku yang lucu," jawab Azkia dengan maksud bercanda. "Ya udah, aku ke sana dulu, nanti Mbak Maya antar minum sama sekalian makan ke sini. Masa teman udah datang daritadi, gak dikasih apa-apa. Ngomong-ngomong, itu gratis, ya. Tapi kalau datang lagi, bayar." Tutur Azkia panjang-lebar dan terlihat begitu cerewet. Namun kenyataannya, memang inilah sifat aslinya dulu semasa sering berkumpul bersama teman-temannya.

"Sebentar dulu, Ki. Minta nomor handphone-mu dong, nih," Arsen menyerahkan ponselnya pada Azkia.

Azkiapun mengambilnya dan tangannya pun langsung menari-menari di atas keyboard milik Arsen. Setelah selesai, ia langsung menyerahkannya kembali. "Nih, nanti jangan lupa kirim pesan biar bisa aku simpan juga nomormu. Terus, kalau udah selesai makan dan aku gak ada atau gak bisa ditemui, kamu titip pesan aja sama Mbak Maya, oke? Tapi kemungkinan aku sih gak kemana-mana, cuma ada di ruangan. Hmm ... tapi tetap titip pesan sama Mbak Maya aja kalau ada apa-apa. Oke?"

"Iya, Kia."

"Oke, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Azkia sudah pergi dari hadapannya, menyisakan Arsen dan bekas kehadiran gadisnya. Tunggu dulu! Sejak kapan Azkia berganti nama menjadi gadisnya? Arsen tersenyum sendiri sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya, ada begitu banyak bunga bertebaran di hatinya untuk saat ini. Dan yang dengan bebasnya menebar adalah Azkia.

*****

Cciitt....

Ryan kembali menarik rem dengan tiba-tiba. "Kenapa, Yan? Rumah lo masih di depan sana, dikit lagi padahal." ujar Bagas melihat tindakan Ryan.

"Lihat, noh! Di belakang ramai banget, kayaknya udah pada tahu kalau gue gak di kamar," jelas Ryan memutar bola matanya malas. Ia melihat sekumpulan orang memakai baju serba hitam, yang tak lain dan tak bukan adalah para bodyguard dari sang Ayah.

"Kalau gitu, lewat depan aja," usul Teddy polos yang mendapat toyoran dari Dion yang duduk di belakangnya. "Lo udah Kuliah masih aja otaknya taruh dengkul. Heran gue!"

Ryanpun menjalankan mobilnya. "Loh? Kok malah jalan? Ntar lo bakal kena marah sama bokap lo gimana, Yan?"  tanya Bagas heran.

"Mau gimana lagi? Ya udah, diem aja," dengan begitu santainya, kini Ryan sudah memposisikan mobil di depan gerbang belakang rumah. "Setelah gue turun, langsung cabut!" Perintahnya tidak bisa ditolak.

Ryan membuka pintu dan turun dari mobil. Lalu posisinya digantikan oleh Teddy dan langsung menjalankannya. Di hadapannya, sudah berjejer para penjaga dengan warna pakaian favoritnya. Jika dilihat sekilas mereka seperti menyambut, namun aslinya, mereka memasang tampang super ganas yang tentu saja dilakukan atas perintah dari Bosnya, Danang.

Sayangnya tidak semudah itu, Ryan tak akan takut hanya dengan tatapan seperti itu. Namun berbeda lagi urusannya, bila yang memberikan tatapan itu adalah Tuan Besar di rumah ini. Ryan berlalu begitu saja dengan cueknya, saat kakinya akan memasuki rumah, langkahnya terhadang oleh seorang laki-laki. Dan inilah yang ia takuti.

"Sudah sembuh?" interogasi langsung dari Danang.

Ryan hanya terdiam menghindari tatapan sang Ayah. "Ryan Putra Aditama!" Danang mempertegas suaranya.

"Iya, Pa," jawab Ryan tak ingin banyak bicara. Cukup ia mendengarkan dan meng-iyakan semua perintah Ayahnya, maka hidupnya akan tenang.

"Dari mana kamu?" tanya Danang lagi.

"Jalan-jalan, Pa," jawab Ryan jujur, kalaupun berbohong, Ayahnya ini pasti akan mengetahuinya dengan segera.

"Kemana?"

"Tadi niatnya cuma mau muter-muter...,"

"Kemana?" putus Danang, ia tak suka dengan jawaban yang terlalu bertele-tele.

"Bandung, Pa."

"Sama siapa?"

"Temen-temen."

"Namanya?"

"Bagas, Dion, Teddy, Arsen."

Danang mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menilik arloji yang melingkar di tangannya. Setelah itu, ia memegang bahu Ryan dengan menepuknya keras terlebih dahulu. "Berarti masa liburan kamu sudah habis. Besok mulai bekerja di Kantor Cabang. Kamu boleh masuk." Danang berlalu pergi meninggalkan Ryan dan langkah Danang diikuti oleh seluruh bodyguardnya. Kini, hanya Ryan seorang yang berada di sana.

Kembali memutar bola matanya malas, lalu menatap bosan kepergian sang Tuan Besar. Ia pun melangkahkan kakinya dan tujuannya saat ini, hanya kamarnya.

*****

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang