Selamat Membaca
Pagi yang lumayan cerah dengan awan-awan seputih kapas seolah-olah terlihat seperti permadani dari surga menjadi latar belakang kecerian siswa-siswi SMA Arunika. Ditambah musik-musik ceria yang sengaja diputar oleh panitia membuat suasana sekolah tercinta ini terasa hidup. Seperti yang telah digembor-gemborkan dari beberapa minggu lalu. Ekskul drama akan menampilkan teaternya tahun ini. Banyak wajah-wajah yang menampilkan ekspresi tak sabaran karena mengingat ekskul ini sukses membuat penonton terkesan pada tahun lalu. Ditambah tema yang diangkat tahun ini tentang kisah seorang putri. Ah, gadis mana yang tak langsung membayangkan adegan-adegan romantis. Mereka pasti menunggu-nunggu saat sang pangeran berkuda yang menolong pujaan hatinya.
Kursi-kursi penonton mulai terisi. Beberapa kursi kosong dibagian depan yang dikhususkan untuk kepala sekolah, beberapa staf dan karyawan, serta untuk beberapa anak osis yang masih terlihat mondar mandir membantu menyiapkan alat yang dibutuhkan untuk teater. Hanya hitungan menit kursi-kursi yang masih kosong itu akan segera terisi pula. Suara dengung anak-anak yang sedang riuh bergosip mulai terdengar. Adapula yang bersiul-siul karena tak sengaja melihat pemain teater yang sudah selesai dirias. Satu dua mengagumi baju yang dipakai, lebih banyak yang beradu argumen dengan temannya siapa pemain teater yang paling cantik.
Tak kalah heboh dengan suasana area depan panggung, bagian belakang panggung yang menjadi tempat berkumpulnya para pemain ramai akan celotehan para pemain drama yang sedang berlatih.
"Wahai Marreta yang cantik jelita," terdengar seruan Altaf. Ia berdiri tegap lalu tangan kanannya melambai ke depan, sedangkan tangan kirinya berada di punggung. Ia kemudian sedikit membungkuk bak pelayan kerajaan.
"Sedang apakah nona...."
"Woi !! Woi!! Jelek ah gaya lo. Kurang maskulin harusnya lo angkat dagu lo biar kesannya sombong jangan bungkuk-bungkuk macam babu kek gini," Altaf memutar bola matanya jengah takkala mendengar suara Rexa yang super cempreng itu. Ia pun mencari pemilik suara yang menegurnya tadi. Tatapannya mengarah pada seseorang yang baru datang dengan baju tambal-tambalan yang telah dibuat kusam dan dekil. Wajahnya bahkan sudah dihias-hias menyerupai kakek-kakek tua.
Tawa Altaf pun meledak. Ia bahkan memegangi perutnya yang terguncang-guncang, "Lo? Ahahahaha.... Gak nyangka si Mei bisa buat wajah lo jadi butek begitu.... hahahahaha"
"Ketawa aja terus!!" Rexa mengerucutkan bibirnya. Bukannya berhenti Altaf malah melajutkan aksi meledeknya. Rexa yang sedari tadi sudah sebal bertambah sebal. Bagaimana tidak, saat ia memasuki ruang di belakang panggung teman-temannya tak henti-henti meledeknya. Mau bagaimana lagi inilah resikonya karena ia mau saja mengambil peran menjadi bapaknya si Cinderella. Yah, teater kali ini berjudul Cinderella dan Sepatu Berliannya. Rexa tetap bangga walaupun hanya berperan sebagai bapaknya si Cinderella. Toh memang ia sendiri yang membuat naskah cerita dalam drama ini.
"Eh mbah uyut foto yuk nanti gue kirim ke mamak lu," tiba-tiba Altaf merangkul Rexa dan menekan tombol rana pada kameranya secepat kilat.
Cekrek..
"Eh!!...... AL!!!!!!" Rexa langsung menjubit lengan Altaf keras-keras, yang dicubit hanya nyengir kuda.
"Hapus gak," ancam Rexa.
"Nggak ah buat kenang-kenangan," balas Altaf.
Lalu seorang cewek dengan pakaian yang formal mirip pembawa acara di televisi mengakhiri pertengkaran mereka, "Ehm, acaranya mau mulai nih, gimana udah pada siap kan?" tanyanya.
"SIAP!!" sahut semua pemain kompak kecuali Rexa.
Rexa mengangkat tangannya, "Eh Sekar tunggu!! Gimana kalo kita yel-yel dulu biar tambah semangat,"

KAMU SEDANG MEMBACA
AdeRa [End]
Fiksi Remaja"Siapa cewek yang paling lo sayangi? awas aja kalo lo jawab 'bunda' lagi," "Rexa," Sial. Gara-gara keinget perkataan Altaf kok aku jadi aneh gini? Sebenernya wajar sih aku kan sahabatnya dari kecil sering kemana-mana bareng jadi ya normal-normal a...