Bab 19

26 8 0
                                    

Selamat Membaca

7 tahun kemudian,

Aku menghempaskan tubuhku pada salah satu tempat duduk bus kota. Kuperhatikan hiruk pikuk segala aktivitas di dalam bus. Berbagai macam manusia silih berganti naik atau pun turun dari bus. Dari yang ramah sampai judes. Dari yangt sok sibuk sampai yang santai sekali. Dan dari yang terlihat sedih sampai yang hepi-hepi aja. Semua bercampur menjadi satu di dalam sini. Membuatku pengap. Sedikit gerah memang. Tapi aku tak menyesal untuk pulang dengan bus ini daripada aku harus memakai kendaraan pribadi.

Bukannya sombong sih, aku kini sudah bisa membeli sebuah mobil mewah keluaran terbaru. Tapi aku lebih memilih menyimpan uang itu. Toh, aku lebih suka memakai kendaraan umum jika bepergian jarak jauh. Memang sih salah satu alasanku yaitu karena aku malas pulang sendiri menggunakan motorku yang ada di Jakarta. Jika ada yang sukarela memboncengku, aku baru setuju.

Tak terasa kesibukanku menjadi desainer membuatku melupakan kata pulang. Bertahun-tahun aku tak mau pulang. Bukannya tanpa alasan aku hanya malas bertemu dengan dia. Walau tak hanya sekali papa menegurku untuk pulang menjenguk keluarga, terutama mama yang katanya begitu kangen padaku. Aku jadi merasa seperti Bang Toyib atau Malin Kundang. Entahlah. Hahaha, tapi aku kan perempuan.

Jujur di dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku mengakui ada perasaan rindu yang sangat-sangat besar. Rindu mama, rindu papa, rindu saudara kandungku, rindu beberapa sahabatku, rindu segalanya yang berkaitan tentangnya. Iya, aku mengakui bahwa aku juga rindu dia. Sangat rindu. Walau dia yang menjadi alasanku untuk pergi dan dia jugalah yang menjadi alasanku malas pulang. Cepat-cepat aku menutupi wajahku yang bersemu merah. Astaga, aku seperti anak remaja saja. Untung aku duduk sendirian di dekat jendela bus.

Aku teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian yang memaksaku mau tak mau aku harus pulang.

Saat itu aku sedang meneriaki satu dua asisten pribadiku. "Mira, tolong rendanya bawain ke sini. Eh Ika, itu lengannya dibuat model lonceng aja. Iya itu, diturunin sedikit. Yak, agak ke samping kanan. Nah, cukup. Perfect,"

Aku pun menyandarkan tubuhku di sofa berwarna merah maroon tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengibas-ibaskan tanganku untuk mengipasi keringat yang sedikit membasahi di sekitar area leherku.

"Huh, capek juga ya hari ini," kata Nisa, seniorku yang kemudian duduk di sampingku sambil melepaskan sepatu hak tingginya. Dia pun mengganti alas kakinya dengan sandal jepit berbulu warna biru laut yang sangat imut. "Nyamannya," gumamnya lirih yang masih dapat tertangkap indera pendengaranku.

Aku lalu setuju saat ia mengajakku makan siang, dan ia berjanji akan mentraktirku di restoran yang makanannya jempolan tak jauh dari gedung ini. Wah, rezeki mana boleh kutolak. Aku pun berjalan menuju meja kerjaku di sebelah meja Nisa. Ada berlembar-lembar kertas berhamburan. Ulahku membuat sketsa model baju tadi malam. Di sampingnya terbujur kaku gelas kopi tanpa air menyisakan noda kehitaman di dasar gelas.

Aku meringis mendapati kehancuran di meja ini karena ulahku. Mataku seketika tertuju pada sebuah amplop berwarna krem dengan dihiasi pita merah hati di ujungnya. Cantik sekali, dari siapa ini? Kupikir ini mungkin surat pernikahan.

Aku pun mengambil amplop itu. Aneh, rasanya aku tak pernah menerima ini sebelumnya. Kubuka bagian depannya perlahan. Seperti dugaanku memang ini surat undangan pernikahan. Tapi surat ini memang ditujukan untukku seperti yang tertera pada bagian bawah lipatan ini. Namaku ditulis dengan tulisan yang rapi dan jelas.

"Oh, Itu surat undangan buat lo, tadi gue yang nerima. Soalnya lo tadi lagi keluar sama Mira ke butik." Nisa pun kembali berkata, "Yang nganter itu bukan tukang kurir lho Re. Cowok cakep, duh astaga. Lo pasti kenal sama dia deh karena tadi dia nanyain lo, kangen katanya. Tapi tadi..."

AdeRa [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang