Bab 20

39 8 1
                                    

Selamat Membaca

Aku meletakkan sendok di atas piring bekas makan malamku. Sejak tadi aku menahan rasa penasaranku, ketika melihat banyak sanak saudaraku yang berkumpul. Ada apa sih, tadi saat aku menanyakan tentang hal itu, mama hanya tersenyum dan menyuruhku untuk istirahat dahulu.

Meja makan malam ini terlihat riuh oleh canda tawa, satu dua aku mendapat pertanyaan tentang kegiatanku di Jakarta. Namun, aku lebih banyak diam mengamati dan mencerna apa topik perbincangan mereka. Namun, tak ada hal menarik yang aku dapatkan, mereka hanya sedang bergurau mengingat masa lalu paman-pamanku saat mereka masih kecil. Aku menggeser kursiku, dan bangun dari dudukku. Aku pun mulai memberesi piring-piring kotor dibantu Mbak Hana, saudara sepupuku.

"Mbak Hana tumben main ke rumahku," kataku saat kami mencuci piring bersama. Mbak Hana tertawa. Aku mengerutkan dahi bingung. Kenapa semuanya kompak tersenyum saat kutanya begitu.

"Ono opo to mbak, kok mesem-mesem? (Ada apa sih mbak kok senyum senyum?)" kataku penasaran.

"Orapopo (Tidak apa-apa),"

"Tenan, ora ngapusi? (Beneran, nggak bohong?)"

"Hihihi, ntar kamu tau sendiri kok, Re. Btw, selamat ya," katanya sambil membilas piring terakhir. Kemudian dengan cekatan tangannya meletakkan piring yang sudah bersih itu di rak khusus piring.

Mbak Hana pun segera meninggalkanku yang sedang sibuk menerka-nerka. Aneh. Selamat untuk apa? Selamat lulus? Nggak mungkin aku lulus udah lama banget. Selamat karena udah punya butik sendiri juga nggak mungkin, waktu itu MBAK Hana udah pernah ngucapin. Lalu sekarang selamat untuk apa? Aku nggak lagi menang lomba lho?

Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku, di sana ternyata mama telah menungguku, "Hehe, gimana Re? Kamu dulu udah pernah setuju kan?"

Mama pun bercerita panjang lebar, jika dua hari lagi aku akan menikah, secepat itukah. Pantas saja mama marah padaku kalau aku tak cepat-cepat pulang, jadi ini toh alasannya. Aku hendak protes, namun ketika mama bilang dulu aku pernah menyetujuinya aku pun berpikir keras.

"Kapan ma?"

"Dulu itu lho, waktu mama telepon. Kamu setuju-setuju aja, jadi waktu itu mama terima lamarannya. Nggak boleh nolak lho udah hampir deket juga harinya,"

"Tapi kenapa mama kemarin nggak kasih tahu Rexa lagi, Rexa kan lupa ma," kataku cemberut.

"Kenapa? Mau nolak nih trus gak jadi nikah?" seru mama.

"Ya gitu kalo boleh. Perasaan aku belum setuju deh ma, atau waktu itu aku nggak konsen sama apa yang diomongin mama, jadi ya mungkin waktu itu aku iya-iya aja jawabnya," kataku.

"Trus sekarang kamu mau mbatalin gitu? Ngapain, emang kamu lagi nunggu seseorang? Siapa, nggak ada kan?" aku tertohok begitu mendengar perkataan mama. Memang, dulu aku menunggu Al, kukira ia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Ternyata tidak, karena dia telah menambatkan hatinya pada gadis lain. Mungkin memang ini yang harus kuterima. Salahku juga yang terlalu kegeeran. Siapapun suamiku nanti, aku akan berusaha mencintainya dan akan kukubur dalam-dalam perasaanku pada Al. Tekadku sudah bulat. Biarlah kali ini aku tak memberontak, aku akan mengalah dengan menerima apapun yang nanti akan terjadi.

...

"Lho mbak kenapa nangis, ini bedaknya nanti luntur lagi lho," seru seorang wanita yang sedang merias wajahku. Mbak Hana yang duduk tak jauh dariku buru-buru membantu wanita itu mengusap air mataku pelan-pelan dengan tisu.

"Weladalah, merantau aja berani. Masa mau nikah aja nangis dulu," ledek Mbak Hana. Aku tertawa masih dengan air mata berlinang.

"Nggak ya, ini kelilipan make up," seruku tak terima jika diledek sedang menangis.

AdeRa [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang