Selamat Membaca
"Lho dikunci?" Rexa mengayun-ayunkan handle pintu itu berulang-ulang. Memukul-mukulnya keras berusaha agar terdengar dari luar.
Rexa melihat jendela rusak di sebelah kanan pintu. Ia tarik tuas jendela dan mendorong jendela itu ke luar. Ia kesulitan membuka jendela karena jendela itu memang sudah berkarat. Berderit-derit saat ia sentuh.
Tiba-tiba Rexa merasakan guncangan keras. Sekejap saja tubuhnya menghantam kursi reot di ujung gudang. Ia mengusap-usap punggungnya yang terasa sakit. Rexa menatap ngeri lemari-lemari buku yang bergetar-getar karena guncangan yang belum usai itu.
"Gempa! Gempa!," seru seorang pria yang menjadi satpam sekolah. Dia berlari dari lorong ke lorong melewati gudang dimana Rexa berada.
Rexa dengan terhuyung-huyung, berusaha meraih pintu, "Pak tolong, pak. Bukain pintu ini pak. Pak!," teriaknya sambil menggedor-gedor pintu itu. Namun teriakannya tak terdengar jelas oleh satpam itu. Rexa mencengkeram apa saja yang berada di dekatnya ketika merasakan guncangan yang agak keras.
"Hah ... hah ...," nafas Rexa naik turun ketika guncangan itu sudah reda.
Brak, trak tak tak. Tiba-tiba sebuah lemari menimpa badan Rexa dari belakang. Rexa yang semula berdiri menjadi tengkurap di lantai yang penuh debu. Rexa meringis merasakan berat lemari yang menimpa setengah tubuhnya ke bawah itu.
"Tolooong," cicit Rexa. Ia menggerak-gerakkan tubuhnya, namun tetap tak dapat melepaskan dirinya dari himpitan lemari itu. Rexa mengulurkan tangannya ke saku rok dengan susah payah. Mengambil ponselnya yang untung saja tidak rusak.
Ia memencet salah satu kontak yang terpikirkan olehnya. Terdengar nada sambung. Rexa buru-buru mematikan sambungan telepon itu ketika tahu yang sedang ia telepon adalah Altaf.
"Arggh, kenapa gue mencet dia sih. Gue nggak boleh nganggu dia," Rexa pun mencari kontak Akas, namun nomernya tak aktif. Jarinya terus menggulir ia hendak menelepon Johan. Namun belum sempat tangannya menyentuh nomor Johan, Altaf meneleponnya.
"Rexa! Rexa! lo dimana?" terdengar suara Altaf panik.
"Gue ...,"
"Lo kenapa? Lo belum keluar dari sekolah kan?"
"Al, hsss," Rexa menggigit bibirnya, begitu menyadari aliran darah yang keluar dari ujung pelipis dan lengannya.
"Lo Kenapa Re," Rexa mendengar suara Altaf yang tersendat-sendat seperti sedang berlari.
"Tolongin gue, gue di gudang,"
"Iya-iya tenang Re, gue bakal kesana bentar lagi,"
Altaf tak menanyakan apapun lagi, ia juga tak mematikan sambungan teleponnya dengan Rexa. Cowok itu dengan cepat menuju gudang sekolah sambil menempelkan ponsel ketelinganya untuk tetap memastikan bahwa Rexa baik-baik saja.
Tak lama kemudian Rexa mendengar suara dobrakan dari pintu gudang. Altaf menghantamkan tubuhnya ke pintu. Baru pada dobrakan ketiga pintu itu jebol. Rexa yang melihat Altaf segera tersenyum lega. Ia menangis karena ternyata Altaf masih peduli dengannya.
Altaf berlari ke tempat Rexa yang terhimpit lemari itu. Dengan sekuat tenaga ia mengangkat lemari itu sedikit ke atas.
"Re lo bisa gerak kan? Lo coba pelan-pelan merangkak ke situ biar gue yang tahan lemarinya," Rexa mengikuti arahan dari Altaf. Ia pun bisa bernafas lega. Namun badannya terasa sangat sakit. Apalagi di bagian pinggangnya ke bawah. Altaf dengan hati-hati menjatuhkan lemari itu ke lantai. Tatapannya beralih ke wajah Rexa.
"Pelipis lo," Altaf menunjuk darah di pelipis Rexa.
"Eh nggak papa kok. Belum kerasa sakit," sahut Rexa.
"Lo Ngapain Sih Di Gudang, Kaya Nggak Ada Tempat Lain Aja. Mau Main Petak Umpet Hah?" sembur Altaf keras. Altaf tak tega melihat kondisi Rexa, namun ia juga tak bisa membendung amarahnya untuk tidak memarahi cewek itu. Altaf pun membantu Rexa untuk berdiri.
"Mmm, tadi gue," Rexa menatap benda kecil tergeletak di samping sepatu Altaf. "Eh ini udah ketemu," kata Rexa memamerkan benda itu pada Altaf. Ia pun hanya bisa meringis begitu melihat wajah Altaf yang masih marah.
"Sebenernya tadi gue lagi cari ...,"
"Ssst, udah diem dulu ceritanya nanti," Altaf buru-buru menggendong Rexa di punggungnya. Membawa cewek itu ke rumah sakit dengan hati-hati.
...
Matanya mengerjap perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Saat nyawanya sudah terkumpul semua. Ia menyadari dirinya yang berada di ruangan serba putih. Ia mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya hingga ia bisa di sana.
"Gue kenapa tidur di sini? Al mana," gumam Rexa.
Ia tak mengalami luka yang berarti, hanya perlu diperban dan memperbanyak istirahat. Rexa menolehkan kepalanya ke berbagai arah berusaha mencari sosok Altaf. Rexa mendudukkan dirinya. Ia buka selimut yang semula menutupi tubuhnya. Kakinya ia turunkan dari brankar rumah sakit.
Setelah kedua telapak kakinya bertumpu dengan mantap di lantai, Rexa menuju pintu. Melongokkan kepalanya ke lorong rumah sakit. Ia berjalan perlahan di lorong itu. Kakinya yang tak beralas memudahkannya kemanapun tanpa mengganggu orang lain yang sedang sakit.
Tiba-tiba langah kakinya terhenti di depan salah satu kamar, ia seperti mendengar suara Altaf dari dalam sana. Rexa segera menempelkan telinganya ke pintu yang sedikit terbuka itu untuk memastikan benar atau tidaknya jika itu suara Altaf.
Namun Rexa tak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Rexa memicingkan matanya untuk melihat mereka. Ia mengenali cowok yang berdiri di sana itu memang benar Altaf. Dan seorang cewek yang bersamanya itu ...
Ara? batin Rexa. Ia sedikit terkejut, namun buru-buru ingat jika mereka memang berpacaran jadi wajar kalo dia bersama dengan Altaf. Rexa kembali menatap ke dalam, ia belum tahu siapa yang berbaring di brankar. Seorang pria dengan berbagai selang yang berseliweran di atas tubuhnya.
"Saya bersedia bertunangan dengan Ara,"
Bagai tersengat petir di siang bolong, Rexa tersentak ketika mendengar Altaf berucap dengan lantang. Ia memundurkan tubuhnya, tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
Mundur dan terus mundur, Rexa menundukkan kepalanya karena tak terasa sebuah sungai tercipta mengalir melewati pipinya. Walaupun ia sudah sering merasakan sesak di dadanya tak kala melihat mereka bersama. Ia tetap tak tahu mengapa rasanya sesakit itu jika mengetahui langsung pernyataan itu dari mulut seseorang yang ia cintai.
"Rexa!" panggil seseorang yang menyadari keberadaanya di sana.
"Lo udah lama di situ?" katanya lagi dengan nada sedikit panik.
Rexa tak menjawabnya, ia membalikkan badan dan menjauhi Altaf yang tadi memergokinya berdiri di sana. Rexa ayunkan kakinya kuat-kuat. Ia berlari kencang tanpa tujuan. Yang penting ia ingin segera menghindari Altaf.
"Rexa, lo mau kemana?" teriak Altaf yang mengejar larinya. Isak tangis Rexa semakin kencang. Rexa sampai di pelataran rumah sakit. Kakinya yang tak beralas menginjak tajamnya kerikil tak ia rasakan. Rexa mempercepat larinya ketika melihat taksi yang sedang menepi. Ia segera masuk ke dalam taksi itu. Rexa kemudian menyebutkan alamat rumahnya.
"Re, lo kenapa sih. Re! Dengerin gue dulu," Altaf mengedor-gedor kaca mobil dari luar. Rexa mengacuhkannya. Ia segera menyuruh sopir itu untuk segera membawanya pergi.
Rexa membuka ponselnya, ia usap wajahnya yang sudah sembab.
Tante, Rexa berubah pikiran.
Rexa pilih berangkat hari ini aja.
Ia berhasil mengirimkan pesan itu ke Tante Erika. Setelah itu ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, tangisnya pecah. Rexa membekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara.
...
TBCTerimakasih 😊
Salam literasi!Pee
KAMU SEDANG MEMBACA
AdeRa [End]
Fiksi Remaja"Siapa cewek yang paling lo sayangi? awas aja kalo lo jawab 'bunda' lagi," "Rexa," Sial. Gara-gara keinget perkataan Altaf kok aku jadi aneh gini? Sebenernya wajar sih aku kan sahabatnya dari kecil sering kemana-mana bareng jadi ya normal-normal a...