Rumah bernuansa modern itu serasa menjadi tempat persidangan. Varrel sekeluarga datang untuk meminta maaf. Sooya terus menunduk, menghindari kontak mata dengan Varrel yang duduk dihadapannya. Wanita itu duduk diapit kedua orangtuanya yang sepertinya tidak sesenang dulu saat menemui keluarga Prabaswara.Sooya terus menghela nafas berat. Dadanya semakin sesak karena melihat langsung orang yang telah menyakitinya. Sooya pernah sakit, tapi tidak pernah sampai sedalam ini.
"Pak, Bu, dengan tulus saya meminta maaf atas sikap anak saya yang sudah bikin Sooya terluka. Dan saya harap, masalah ini bisa segera diselesaikan," ucap Mama Soraya. Wanita itu masih berpenampilan elegant meski umurnya sudah lebih setengah abad.
Papa Sooya menghela berat. "Sejujurnya saya juga sangat kecewa, Bu Soraya. Kami sudah sangat percaya kalau Varrel bisa menjaga Sooya, kami pikir dia tipe pemikir yang dewasa, namun kenyataan tak sesuai harapan."
"Tapi, Pak. Kalau dipikirkan lagi, sebenarnya semua masalah ini kita yang memulai. Jika saja kita biarkan mereka, baik Sooya maupun Varrel memilih pasangan yang tepat untuk mereka, semua ini tidak akan terjadi. Karena mereka tahu mana kebahagiaannya. Seharusnya kita sebagai orangtua juga sadar, kalau kita juga tidak bisa memaksakan kehendak," ujar Papa Hendra, bijak. Mungkin sedikit sikap bijak Varrel menurun dari pria ini.
"Nggak, Pa. Ini salah Varrel. Harusnya saya bisa lebih menjaga perasaan Sooya. Saya akui, saya memang egois." Varrel mengakui kesalahannya, badannya tegak dan sama sekali tak menunduk, menunjukkan jiwa kepemimpinannya.
"Lalu bagaimana, apa kamu juga mau menduakan anak saya?" tanya Mama ketus.
"Nggak, Ma. Sebelumnya, saya mengakui kalau saya juga bersalah. Tapi kehamilan perempuan itu belum menemukan titik terang karena identitas anak dalam kandungannya belum jelas." Jantung Varrel berdegup kencang saat mengatakannya, ia tak pernah segugup ini sebelumnya. "Dan saya berjanji, akan segera mengungkap kebenarannya."
"Lalu perempuan itu?! Apa kamu juga akan biarin dia menanggungnya sendiri?! Brengsek!" Nada tinggi Mama membuat Sooya memejamkan matanya yang memanas.
Tak lain halnya dengan orangtua Varrel yang terdiam, malu sendiri dengan sikap putranya.
"Saya akan bertanggungjawab sampai semuanya jelas, Ma. Saya juga akan menanggung biaya hidup perempuan itu selama hasil tes DNA belum diketahui. Tapi saya mau Sooya kembali, Ma. Tolong." Varrel memohon pada Sang Mama mertua.
"Kalau perempuan itu memang hamil karena kamu, apa kamuㅡ" ucapan Mama tertahan karena Sooya yang beranjak dari tempatnya. Pergi dari orang-orang itu.
Perempuan itu memilih pergi karena tak mau semakin sakit mendengar semuanya. Akan tetapi, itu dimanfaatkan Varrel untuk bisa bicara berdua bersama istrinya.
"Ma, Pa, saya ijin bicara sama Sooya sebentar." Lelaki itu ikut beranjak menyusul Sooya.
Saat Mama merasa keberatan karena Varrel menyusul Sooya, Papa lebih dulu mencegah. "Udah, Ma. Mereka udah dewasa, biar mereka selesaikan sendiri."
****
"Sooya."
"Sooya, berhenti."
"Sooya." Varrel mengejar Sooya yang melangkah cepat menghindarinya.
"Tolong jangan kaya ini, aku mau ngomong. Kasih aku waktu buat jelasin semuanya," ucap laki-laki itu saat berhasil meraih pergelangan tangan Sooya.
Ingin saja Sooya menghentakkan tangannya, tapi saat menatap wajah bersalah Varrel rasa kecewanya melemah. Salahkan hati Sooya yang terlalu lembut dan tidak tegaan.
"Apa Mas Varrel mau bilang kalau Mas Varrel mau nikah lagi?"
"Nggak, bukan itu, Sooya."
"Terus apa lagi? Mas Varrel mau bilang kalau Mas nggak ngelakuin itu? Semuanya karena nggak sengaja? Itu terjadi karena Mas Varrel nggak sadar? Aku udah bosen, Mas," cerocos Sooya dengan nada ketus.
"Iya. Aku juga minta maaf sama kamu, harusnya waktu itu aku dengerin kamu kalau Irene bukan perempuan baik-baik. Aku yang salah menduga. Tapi aku yakin, kalau Irene hamil bukan karena aku. Dia berhubungan sama banyak lelaki, bukan cuma aku aja, Sooya."
"Itu berarti Mas Varrel juga ngelakuin itu kan?"
Varrel menghela nafas. "Aku nggak tau."
Perlahan, Sooya melepas tangannya dari cekalan Varrel. "Berarti semuanya masih abu-abu. Aku mau semuanya jelas."
"Iya, Sooya. Aku bakal buktiin semuanya. Tapi sebelumnya aku mau kamu kembali."
Wanita itu menggeleng lemah. "Bukannya waktu itu aku udah bilang, kalau aku akan pergi saat aku usah nggak sanggup lagi bertahan."
"Tolong, Sooya. Demi pernikahan kita." Sooya melengos dan kembali melangkah. Namun langkahnya kembali terhenti saat Varrel melanjutkan ucapannya. "Demi calon anak kita."
Memanfaatkan kesempatan, Varrel melangkah pelan dan memeluk Sooya dari belakang. Membuat perempuan itu semakin lemah, karena sejatinya ia rindu pelukan hangat ini.
"Maaf terlambat mengetahuinya, harusnya aku juga lebih peka sama keadaan kamu. Kenapa nggak mau kasih tau?" ujar Varrel di sela pelukannya.
"Aku pikir Mas Varrel nggak akan suka."
"Mana mungkin, Sooya. Justru ini hadiah terbaik yang pernah aku terima."
"Tapi Mas Varrel juga dapet hadiah ini dari Irene."
"Kamu lebih percaya sama dia dibanding aku?"
"Ya, karena Irene punya bukti."
Varrel telak, memang bukti yang dibawa Irene cukup kuat. "Belum tentu juga Irene hamil karena aku. Dan aku bakal nunggu tiga bulan buat tes DNA dan buktiin ke kamu kalau aku nggak ngelakuin apapun sama Irene."
"Dan dalam waktu tiga bulan juga aku mau kita menjaga jarak. Aku mau kita kembali kaya dulu lagi ...
... waktu kita belum saling mengenal."
****
oh iya, mau ngingetin ke kalian, jangan panggil aku 'thor' ya? aku tau maksud kalian itu 'author'
tapi di bayangan aku 'thor' itu karakter avangers yang bawa palu gede😭🔫
jadi panggil unnie/eonnie(kakak dalam bahasa korea) aja, biar sama-sama enak😋
makasehh
KAMU SEDANG MEMBACA
✔[1]. Love Me, Hurt Me Too
Fanfic[c o m p l e t e d] genre : perjodohan-romance Seseorang mengatakan kalau cinta ada karena terbiasa, Sooya berhasil mewujudkan itu. Sebuah perjodohan antar perusahaan yang membuatnya terjebak dengan seorang CEO yang mengacaukan seluruh hidupnya. Var...