12 || Gift

849 73 2
                                    

Beberapa hari ini memang terasa kosong bagiku. Meskipun aku sendiri yang menciptakan suasana kosong itu. Tapi aku juga tidak menyangka bila menjauh darinya membuat hariku sekosong ini. Tapi aku benar benar harus melakukannya, untuk keselamatanku dimasa yang akan datang. Walaupun entah mengapa terasa berat dan tidak rela. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan kehadirannya. Seperti saat ini, aku berjalan menuju kelas sambil menundukan kepalaku, supaya aku tidak bertatap muka dengannya.

"Adisty" samar samar aku mendengar seseorang memanggilku. Karna kemungkinan jaraknya lumayan jauh, aku tidak dapat mengenali siapa pemilik suara itu.

Dari pada nanti bertemu orang yang ku hindari, aku lebih memilih untuk pura pura tidak mendengar panggilan itu dan mempercepat laju langkahku.

"Adisty"

Aku setengah berlari saat mendengar panggilan kedua dari orang yang aku tidak tau siapa orang itu. Tapi tiba tiba sebuah tangan mencekal pergelanganku, membuat langkahku terhenti. Tangannya terasa dingin.

"Dis, lo kok gue panggil kagak nyaut nyaut sih" sontak aku menoleh pada orang itu, kemudian membuang nafas lega. Ternyata Zello, bukan Pak Zein.

Iya, setelah kejadian 1 minggu lalu, aku bertekad untuk menghindari Pak Zein. Saat dia mengajakku berbicara, aku selalu beralasan ini itu supaya aku bisa jauh darinya. Persetan dengan nilai. Aku bisa saja melaporkannya ke rektor atau kalau tidak dekan fakultas kampus ini karena tidak profesional. Tapi aku tidak yakin, secara orang tua Pak Zein adalah pemilik kampus ini. Tidak, aku harus yakin, tidak ada pemimpin yang mencampur tangankan kepentingan pribadi dengan kepentingan pekerjaan. Pak rektor juga terkenal orang yang adil dan mementingkan keprofesionalan selama ia menjadi rektor. Jadi aku percaya, meskipun Pak Zein adalah anaknya, kalau memang dia salah pasti tidak akan dibela. Dan aku merutuki diriku sendiri karena baru akhir akhir ini berpikiran seperti ini. Mengapa tidak kemarin kemarin saja? Kalau tau seperti itu aku tidak akan terjebak oleh Pak Zein.

"Woyy dis? Lo gak kesambet kan?" Ucap Zello membuatku kaget sambil menggoyangkan kecil pundakku.

"A-h-ha? Apa? Lo ngomong apa barusan?"

Dia terkekeh sejenak "Makanya kalo orang ngomong tuh jangan ngelamun bae!"

"Hehehe"

"Lo mau gak jalan sama gue?"

Kenapa sih, hidupku dipenuhi laki laki yang selalu menerorku. Mau tolak tidak enak, mau terima juga tidak mau sebenarnya.

Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal "Mmm... gimana ya? Berdua doang emangnya?" Zello mengangguk semangat. Mau beralasan yang bagaimana ya? "Ta-tapi gue lagi bokek. Iya lagi bokek"

Zello memutar bola matanya jengah "Kek sama siapa aja. Yang ngajak kan gue, yang tanggung juga gue dong"

Sekali lagi aku merutuki kebodohanku. Kenapa aku tidak kepikiran alasan yang mendukung gitu loh? Lemot sekali ini otak perasaan.

"Emang mau berangkat kapan?" Tanyaku sekali lagi.

"Besok"

Besok ya? Besok berarti malming dong. Aisshh.... alasan apa yang tepat ya? Biar tidak ketahuan kalau aku menghindarinya gitu loh. Bukan mem-backlist dia menjadi sahabat, tapi menjaga jarak karena aku sudah menolaknya. Aku tidak mau nantinya Zello merasa terphp.

"Besok cafe lagi rame ramenya Zell. Gak mungkin gue di ijinin buat cuti"

Zello mengernyitkan dahinya tampak berpikir "Ya udah sekarang aja gimana?"

O maygat! Ngebet banget sih dia!

"Gue hari ini juga ada sift. Mana tugas besok belum gue kerjain semua. Tanya aja sama Raina" elakku lagi membuatku tidak enak sendiri. Kalau saja dia juga mengajak Raina aku pasti mau mau saja ikut.

Married With DosganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang