20 || Trauma

873 64 0
                                    

Aroma obat obatan menyeruak di indra penciumanku. Nuansa putih juga ku lihat saat pertama kali aku membuka mata. Kepalaku terasa berdenyut sekali. Sakit. Itu yang ku rasakan. Tapi sebisa mungkin aku menyadarkan diriku. Saat sudah benar benar sadar, ternyata aku sedang di rumah sakit. Aku mengingat kejadian sebelum aku berbaring disini. Emhh... ternyata tadi pagi penyakitku sempat kambuh. Aku memang memiliki penyakit aneh. Penyakit yang akan kambuh jika aku melihat kekerasan atau melakukan kekerasan. Gejalanya kepalaku terasa sakit hebat, dan kalau tidak kuat aku bisa sampai pingsan seperti tadi.

Dan apa itu tadi? Aku bermimpi tentang masa lalu? Lebih baik aku tidak sadar sampai selamanya saja. Dari pada sadar dengan rasa bersalah yang membekas. Bodoh sekali aku dulu. Ibu sakit saja aku telat mengetahuinya. Padahal ibu dulu selalu berjuang untuk membahagiakanku. Ibu selalu mengabaikan rasa lelah dan sakitnya hanya untukku. Tapi apa balasanku? Aku hanya menjadi putri bodoh yang tidak pernah memahami rasa sakit ibu.

"Ibuk"

"Iya sayang?"

"Ibuk tau nggak? Temen Fanya ada yang punya boneka beruang loh. Lucu banget"

"Lalu?"

"Aku juga mau dong buk. Mau ya beliin buat Fanya?"

"Nanti ya sayang, nunggu ada rezeki lebih"

"Tapi Fanya pengen banget boneka itu"

"Emmm.... Ibuk usahain deh"

"Yeeaay!!"

Sekelebat kenangan masa kecilku melintas di memoriku. Aku masih ingat betul. Waktu itu teman sekolahku memiliki boneka beruang yang menurutku lucu sekali. Dan dengan tidak tau dirinya aku meminta boneka yang sama ke Ibu. Di masa itu boneka beruang yang seperti itu harganya tidak murah. Bahkan harga nominal uang untuk membelinya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari hari selama dua minggu. Untuk menuruti keinginanku itu, ibu rela menjadi kuli panggul. Mengangkati karung beras dari gudang pemilik menuju truck untuk dikirim keluar kota.

Aku tak bisa lagi membendung air mataku, dengan kepala yang masih sakit aku mencoba untuk duduk. Tidak ada siapa pun di ruangan ini. Aku menenggelamkan kepalaku di kedua lututku. Menangis sejadi jadinya karena sebuah penyesalan. Penyesalan yang amat besar di dalam hidupku. Andai saja ibu masih ada, aku berjanji untuk membahagiakannya. Bagaimana pun caranya. Andai saja ibu masih ada, mungkin aku tidak akan terpuruk oleh masa lalu. Tapi kembali lagi, itu semua hanya pengandaian yang tidak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah. Ibu sudah meninggalkanku. Untuk selamanya. Ibu meninggalkanku sebelum aku pernah membahagiakannya.

Aku kembali mengangkat kepalaku perlahan. Tak sengaja netraku menangkap sebuah cermin yang memantulkan wajahku. Dengan cepat aku mengambil sendok yang kebetulan ada dinakas sebelah brankarku, kemudian melemparkannya ke cermin itu hingga pecah.

"Gue bodoh"

Aku menjambak rambutku. Tidak ada manusia yang lebih bodoh dari aku memang.

"Dis? Dis lo udah sadar?"

Entah kapan datangnya, Raina tiba tiba sudah ada di hadapanku.

"Dis... lo jangan kayak gini dong"

Aku tetap tidak menghiraukannya. Aku terus menjambak rambutku karena kebodohan yang ku lakukan. Sedangkan kepalaku sudah terasa sakit sekali.

Raina memegangi kedua tanganku. "Udah. Lo nggak boleh kayak gini" ucapnya sambil terus menahan tanganku yang masih berusaha menjambak rambutku.

Raina memelukku erat. Mengelus punggungku pelan. "Udah Dis. Jangan kayak gini. Banyak yang masih sayang sama lo. Termasuk gue. Gue nggak mau kehilangan lo"

Married With DosganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang