3 || Lunch?

1.4K 82 10
                                    

Tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan orang yang didepanku ini. Pertama kalinya loh dia bersikap lembut walaupun sama sama menyiksaku. Lalu yang membuatku tambah tercengang adalah dia yang sekarang mengajakku makan bersama. Aneh bukan? Padahal setauku dia menolak ajakan Bu Lola untuk belanja tadi. Apa mungkin yang dikatakan Raina itu benar? Kalau Pak Zein memang menyukaiku? Pasalnya dia termasuk dosen yang paling cuek, tidak mungkin sekali mengajak mahasiswinya makan. Bahkan aku sering melihat saat mahasiswi yang menyapanya saja tidak pernah dibalas oleh Pak Zein.

Dia memalingkan wajahnya "Tidak perlu melihat saya seperti itu. Kesannya saya tidak pernah berbuat baik kepada orang lain" Lah memang benar kan? Tidak intropeksi diri sekali! "Lagipula saya mengajak kamu makan hanya sebagai ucapan terima kasih, tidak lebih" ucapnya lagi membuatku terdiam sejenak.

Pipiku terasa panas. Kok kesannya aku jadi kepedean ya? Aku juga bisa bisanya berpikiran seperti itu sih. Gara gara Raina ini! Pasti aku kebaperan karena ucapannya tadi.

"Ya-ya sudah! Bagus kalo gitu. Seenggaknya saya gak terima capek doang karena disuruh suruh sama bapak" ucapku sambil terus menghindari tatapan matanya.

"Tapi, pipi kamu kok merah?" Aduh! Kelihatan sekali ya kalau pipiku memerah? Bisa jatuh harga diriku kalau Pak Zein tau aku berpikiran lain "O! Saya tau sekarang. Pasti kamu sedang kepedean ya? Pasti kamu berfikir alasan saya mengajak kamu makan karena saya ingin pdkt atau semacam ngedate gitu kan?" Ucapnya lagi membuatku melebarkan mata sempurna. Ini dosen atau cenayang sih? Mengapa tebakannya tepat sasaran?

"Ng-nggak! Justru bapak itu yang kepedean. Mana ada saya berpikiran kayak gitu. Iya kalau bapak itu sekelas Lee jong suk atau Nam joo hyuk, baru ada kemungkinan saya berpikiran seperti itu!" Dengan begini semoga Pak Zein percaya dengan alasanku. Malu dong kalau sampai ketahuan aku memang benar benar sedang kepedean.

Ia memicingkan matanya "Setau saya, perempuan yang berbicara ketus berarti dia sedang berbohong" ucapnya tam mau kalah. Ini dia berniat mengajakku makan tidak sih? Kok bikin kesel mulu dari tadi.

"Nggak! Sudah Pak, saya pulang mau dulu" ucapku mengalihkan pembicaraan.

"Loh? Kamu benar tidak mau makan bersama saya? Padahal ada puluhan orang yang mengantri untuk diajak makan oleh saya"

Aku memutar bola mataku malas. Sapu mana sapu? Ingin sekali aku mengetok kepalanya supaya narsisnya hilang.

"Sayangnya saya bukan termasuk puluhan orang itu. Lagian saya juga mau kerja habis ini" ucapku, kemudian mulai melangkah meninggalkan Pak Zein. Namun, baru berapa langkah, Pak Zein meraih tanganku.

"Saya dengar kamu bekerja di cafe ya?" Tanyanya dan aku mengagguk sebagai jawaban "Ya sudah, kalau begitu kita makan dicafe tempat kamu bekerja saja, sekalian kamunya kerja"

"Bapak tau dari mana memangnya?" Tanyaku sambil menyipitkan mataku.

Dia tampa mengalihkan tatapan matanya "Em... itu, sa-saya pernah dengar kamu cerita sama tan dekat kamu itu" aku yang semula penasaran, sekarang mengangguk anggukan kepalaku "Jadi, bagaimana? Mau atau tidak?" Tanyanya memastikan.

Aku terdiam sejenak untuk berpikir, boleh juga tawarannya, lumayan kan? Makan enak gratis. Lagi pula jadwal siftku masih 1 jam lagi. Hitung hitung juga supaya aku tidak menjadi babunya secara sia sia. Ada imbalan.

"Oke deh!" Jawabku pasti, kemudian melangkahkan kaki keluar ruangan, disusul oleh Pak Zein.

Kami berjalan berdampingan menuju parkiran. Disepanjang perjalanan, banyak mahasiswi yang menatapku sinis. Sebisa mungkin aku tidak menggubris tatapan tatapan itu. Ya walaupun memang aku sudah biasa menjadi pusat perhatian, tapi untuk kali ini tatapan mereka berbeda.

Married With DosganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang