~▪︎ Arumi Khairunnisa ▪︎~
Sang mentari telah naik ke atas menampakkan dirinya kepada dunia. Hari senin yang menggerahkan, setelah tadi pagi berdiri dua jam untuk upacara bendera, sekarang di siang bolong murid kelas sebelas IPA ini harus melaksanakan jadwal olahraga.
Jika saja gurunya rileks dan bisa diajak tawar-menawar, maka mereka akan bisa olahraga di tempat yang teduh. Namun, tidak ada yang bisa menolak kehendak guru yang bernama Asep Budiyanto ini. Beliau sering dipanggil Bapak AB.
Setelah melakukan pemanasan, mereka berlindung dekat pohon besar di sudut lapangan. Menempati posisi bersila menyaksikan pria berbadan kekar yang berdiri di depan mereka, peluit menggantung di lehernya. Sesekali ia tiup peluitnya dengan bibir yang ditumpangi kumis tebal.
Muridnya harus berlari secepat mungkin. Yang tiba duluan, dia yang akan mendapatkan nilai paling banyak, dan yang tiba terakhir? Dia akan mendapatkan olahraga tambahan alias hukuman.
"Ajeng, Arumi, Binjus, dan Sinta. Untuk yang saya sebut namanya, silakan menempati posisi siap untuk berlari!"
"Mereka bukan tantangan yang berat buat kamu. Semangat, Rum!" desis Nabila seraya menghinggapi pundak kanan sahabatnya, Arumi.
"Iya, benar. Tapi mata kamu harus awas juga, takutnya si Ajeng beraksi tanpa sepengetahuan kamu, Rum," imbuh Melya mengikuti gerakan Nabila dari sebelah kiri.
Gadis yang tengah berada di antara Nabila dan Melya menoleh ke arah bicara sahabatnya secara bergantian. Sebagai respon, ia hanya mengangguk-angguk saja. Terkadang ia menggerakkan mulutnya karena mengunyah permen kiss di balik masker mulutnya.
"Arumi!" bentak Pak AB karena melihat Arumi yang masih duduk di tempat.
Arumi sontak mendelik mendengar suara itu, bola matanya yang bulat hampir saja keluar.
"I-iya, Pak," jawab Arumi lantas berdiri dan mengambil posisi siap bersama temannya yang lain.
"Dasar cumi-cumi lelet!" ejek seseorang dari samping kanan Arumi.
Arumi tidak menghiraukan ucapannya. Dia mencoba fokus agar nanti tiba di garis finish dengan cepat. Sedangkan seseorang yang berada di samping, terus memandanginya dengan tatapan sinis.
"Bersedia ... siap ... mulai!" teriak Pak AB sambil meniup peluitnya.
Seketika suasana lapangan ramai dengan suara telapak tangan beradu sambil menyuarakan nama sahabatnya masing-masing yang sedang berlari. Dengan jarak lima meter menuju finish, ke-4 pelari itu saling menyusul satu sama lain.
Keringat yang mulai bercucuran, rasa lelah yang menghampiri, tidak memadamkan semangat mereka. Nampak gadis ber-masker itu sedikit jauh di depan dari temannya yang lain. Tidak mau kalah, Ajeng bertekad keras untuk menyusul Arumi, rambut yang diikat kucir 'pun mengayun dengan cepat.
"Yeayyy!" teriak Arumi saat dirinya lebih dulu tiba di garis finish.
"Bagus, kamu tiba dalam waktu 25 detik, Arumi," ujar Pak AB memuji Arumi yang sedang ngos-ngosan dihadapan teman-temannya.
Teman-temannya ikut bangga, tetapi seseorang justru mengeluarkan asap dari kepalanya.
Dilanjut oleh empat orang selanjutnya. Tiba pada absen Melya dan Nabila, mereka berlari bersamaan, Nabila mendapatkan urutan kedua, sedangkan Melya ketiga, paling tidak di antara mereka tidak ada yang kena hukuman.
"Guys, ke toilet, yuk!" ajak Arumi seraya mengipaskan tangan ke sebagian wajahnya yang tertutup.
"Yuks!" jawab mereka serentak.
Seperti biasa, jika Arumi merasa sangat gerah, ia akan diantar kedua sahabatnya ke toilet untuk membuka maskernya sejenak, itu pun jika di dalamnya tidak ada siapa-siapa.
Mereka pamit kepada Pak AB dan bergegas pergi. Ajeng tersenyum miring melihat Arumi keluar dari lapangan, hal itu dijadikan ia kesempatan untuk memberi pelajaran kepada Arumi karena telah mengalahkan dirinya dalam berlari.
Dengan dibuntuti tiga orang sahabatnya di belakang, Ajeng berhasil menghentikan langkah Arumi bersama Nabila dan Melya. Di belakang lab multimedia, Ajeng ingin sekali mencelakai Arumi dengan kuku harimaunya.
"Astaghfirullah, ada apa, Jeng?" tanya Arumi dengan nada sedang.
"Kenapa sih kamu berani ngalahin aku, hah?" hardik Ajeng sambil mendorong keras pundak Arumi.
Arumi tersungkur ke tanah, ia meringis kesakitan ketika lengan kanannya terluka. Melya langsung membantu Arumi berdiri dan menenangkannya. Sedangkan Nabila, ia refleks maju melawan Ajeng dengan penuh keberanian.
"Heh, Arumi menang karena dia lebih cepat larinya daripada kamu, terus kenapa nyalahin sahabat aku atas kekalahan kamu?" bentak Nabila tepat di depan muka Ajeng.
"What? Dengar, ya. Di sekolah ini aku yang atlet lari, aku yang paling cepat dalam berlari, bukan si Arumi!" ketus Ajeng, ia mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk Arumi layaknya seperti menodong pistol.
"Atlet tapi kalah, haha!" ejek Nabila meluapkan emosinya.
Ajeng seketika melayangkan tangannya.
Plak!
"Arumi ...," ujar Nabila melihat Arumi mendapatkan tamparan yang seharusnya mengenai pipinya.
Tidak ada sirine, tidak ada yang melaporkan, tiba-tiba tiga orang pria berbadan tinggi datang menghampiri Arumi yang baru saja kena tamparan. Ketiganya memasang gaya masing-masing. Dua orang berseragam kusut melipat tangan di dadanya, Rio dan Reza. Sementara pria satunya mengenakan seragam sesuai kaidahnya, dengan ketampanan di atas 2R menatap tajam Ajeng dengan mata sinisnya.
Kaki Ajeng bergetar, jantungnya berdebar begitu kencang, ia tidak bisa lari dari kenyataan.
"Hai, Ezra!" sapa Ajeng dengan suara seksi.
Tidak ada tanggapan dari pria yang disapanya. Ketakutan terlukis di wajah ketiga sahabat Ajeng, mereka memberi kode agar melarikan diri. Tetapi, Nona di depannya malah diam menikmati yang ia anggap pemandangan berdasi itu.
Suasana seketika hening, tidak ada yang berani mengangkat bicara. Sedangkan Nabila dan Melya berusaha menahan tawa karena tingkah cewek monster itu, Ajeng belum tahu bagaimana Ezra. Ajeng sekali lagi mengedipkan salah satu matanya.
"Maksud kamu apa ngedorong dan menampar Arumi, hah!" bentak Ezra di tengah kesunyian.
Pasukan Ajeng mematung setelah mendengar kata yang dilontarkan Ezra, mereka panik tidak karuan.
"Aku gak bermaksud begitu, Zra. Percaya deh," jawab Ajeng dengan santai.
Dari depan, Ezra menarik kucir rambut Ajeng dengan lembut. "Aku enggak akan percaya!"
"Zra, lepasin!" bentak Arumi dari belakang.
Ezra menoleh kepada Arumi dengan tangan yang masih menarik rambut perempuan di depannya.
"Lepas, biarin mereka pergi," titah Arumi lirih.
Dengan penuh emosi, Ezra melepaskan kepalan tangan dari rambut Ajeng, dan memberi peringatan kepada Ajeng dan pasukannya. Nabila tergelak melihat Ajeng yang genit menjadi ketakutan. Arumi dan kawan-kawannya berdiri melingkar setelah Ajeng pergi.
"Ezra ... sudah kubilang, jangan main kekerasan, apalagi sama cewek," ungkap Arumi menasihati.
"Hehe, sorry, Sista. Terlanjur emosi tadi, ehe. kamu gak pa-pa?"
"Sahabat kita kuat 'kan? Noh, dia enggak menampilkan reaksi apapun, yang ada malah santai-santai saja," terang Melya, dan yang lainnya mengiyakan ucapan Melya.
"Sudah, aku gak pa-pa. Nah, kalian berdua, sudah kubilang kalau pakai seragam itu jangan kayak preman selokan, susah banget dibilangin!" geram Arumi melihat Rio dan Reza yang kusut.
"Ehehe." 2R menggaruk tengkuk mereka sendiri yang nyatanya tidak terasa gatal sama sekali.
Bruuk!
"Astaghfirullah!" teriak Arumi.
Bersambung . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Arumi Khairunnisa <TAMAT>
Teen FictionArumi Khairunnisa, perempuan berparas tidak sempurna mencoba menguatkan diri ketika keluar dari desanya. Pindah ke kota demi mengikuti keinginan orang tua dan kisah SMA yang ia lalui berjalan di luar ekspektasi. Kali ini aku dan partnerku sedang be...