Di sudut lapangan, siswa-siswi kelas sebelas IPA dua tengah berkumpul, bersuka riang, tapi tidak dengan Arumi. Ia memang bergabung bersama teman sekelasnya, namun masih merasa diasingkan sedari awal. Ia duduk mencari yang teduh dengan bibir terus berdzikir. Tangannya memainkan tasbih digital berwarna hitam.
Jam terakhir adalah pelajaran PJOK. Semuanya sudah berpakaian olahraga. Hanya saja cuaca hari ini cukup membakar. Jadi, tidak ada yang berolahraga duluan sebelum guru datang.
Dari depan jauh dari mereka, seorang pria menginjakkan kakinya di tepi lapang. Peluit hijau mengalungi leher pria pemilik kepala kinclong itu karena tersorot cahaya mentari.
"Berkumpul di sini, gaes!" teriaknya melihat anak-anak sedang lengah dengan keasyikan masing-masing.
"Siap, Pak!" sahut murid kelas sebelas IPA dua.
Ia meniup peluitnya hanya dengan sekali tiupan, mereka langsung berkumpul di hadapan. Menginstruksikan agar berbaris membentuk empat banjar. Beda dari pasukan yang baris pada umumnya, mereka malah bergerak-gerak seenaknya. Apalagi kaum adam. Ada yang melipat tangannya di dada, berkacak pinggang, dan meregangkan badan.
Hwaaaa ....
Seseorang di antaranya menguap sambil memejamkan mata tanpa malu. Penampilan yang kusut dan rambut panjangnya tertiup angin. Semuanya menoleh ke arah sumber suara. Gurunya membuka mata lebar-lebar. Murid itu menyadari semua orang menatap.
"Eh, maaf, Pak," katanya tersipu malu.
"Gak papa. Santuy, Bro," sahut guru olahraga mengangkat turun kedua alis.
Yang lain hanya menggelengkan kepala melihat tingkah konyol temannya dibarengi tawaan kecil. Untung saja pria yang katanya guru itu bukan golongan guru killer. Arumi membayangkan jika itu terjadi di sekolah desanya, pasti ia tidak akan lolos dari Pak AB.
Mereka memulai gerakan-gerakan pemanasan yang dipimpin oleh ketua murid. Termasuk Arumi, ia mengikuti setiap gerakan yang dipraktekkan.
Farhan berjalan hati-hati menuju mereka yang sedang membentangkan tangan. Ia membawa berkas-berkas milik guru.
"Cuk, semangat!" bisik Farhan dari belakang.
Kebetulan Arumi menempati posisi paling samping dan belakang. Mendengar suara itu, kefokusan Arumi melarikan diri. Farhan sengaja berjalan sangat pelan ketika melewati Arumi.
"Heh, kok ke sini?" balas Arumi diam-diam.
Farhan menghentikan langkahnya di samping Arumi. "Aku kan teman yang baik. Harus nyemangatin, dong. Bye!" kata Farhan seraya mengedipkan sebelah mata.
Farhan melanjutkan langkahnya ke depan. Ia menyalami guru olahraga yang sedang duduk santai di kursi, memperhatikan muridnya yang sedang pemanasan.
Saat Arumi merasakan kesendirian, pasti selalu ada orang yang sama menghiburnya. Arumi jadi merasa tidak sendiri lagi, walaupun terpisahkan oleh jarak dengan teman baiknya, Karina dan Farhan.
"Cie yang disemangatin," sindir Anita mengerlingkan mata.
Tidak ada sahutan. Arumi membiarkan Anita mengoceh sendiri sesukanya. Ia lupa kalau di dekatnya ada Anita. Pasti saat melihat Farhan tadi, Anita langsung mengamatinya.
'Farhan, kamu ini enggak lihat situasi, deh,' batin Arumi.
Sepuluh menit berlalu. Mereka berkumpul di depan kelas untuk menormalkan suhu badan. Mereka mendongak memandangi wajah bulat sawo matang.
"Anak-anak, maaf tadi bapak telat satu jam. Kita ngobrol dulu sebentar, ya. Bapak tuh lagi sedih tau."
"Tidak apa-apa. Cie ... sedih kunaon, Pak?" tanya ketua murid mewakili semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arumi Khairunnisa <TAMAT>
Novela JuvenilArumi Khairunnisa, perempuan berparas tidak sempurna mencoba menguatkan diri ketika keluar dari desanya. Pindah ke kota demi mengikuti keinginan orang tua dan kisah SMA yang ia lalui berjalan di luar ekspektasi. Kali ini aku dan partnerku sedang be...