11 . Nasi Liwet

102 20 0
                                    

Happy Reading~
.

.

.

Hari Ahad ini Arumi tidak diam di rumah saja seperti biasa. Zulaiha mengajaknya untuk mengunjungi restoran. Untung saja Yusuf setuju dengan rencana sang istri mengajak putri nya. Kabar gembira bagi Arumi. Kebetulan ia ingin tahu rumah makan yang dikelola kedua pasangan yang setiap hari sibuk mengurus usaha restoran nya.

Yang membuat Arumi lebih senang lagi, kata Zulaiha lokasi restoran tersebut dekat dengan Alun-Alun Garut atau kerap disebut 'algar'. Berharap nanti bisa mampir ke tempat itu, tentunya dengan persetujuan Zulaiha dan Yusuf.

Tepat pukul 09.00 WIB, Yusuf mulai melajukan mobil dengan kecepatan sedang.

'Bagaimana jika nanti di sana kita makan bareng? Terus, luka ini dilihat orang banyak. Jika mereka risi dan merasa tidak nyaman bagaimana?' batin Arumi bersuara seraya menatap ke bawah.

"Arumi, kamu lagi mikirin apa?" tanya Zulaiha.

Arumi menoleh ke arah lawan bicara. "Enggak mikirin apa-apa kok, Bu."

"Hmm. Yaudah kalau tidak ada apa-apa," balas Zulaiha.

Senyuman tersungging di bibir Zulaiha ketika melihat Arumi beralih memandangi jalanan. Mata Arumi menyala menandakan kegembiraan. Tetapi, di sisi lain ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Arumi setelah satu bulan lebih tinggal di kota.

Beradaptasi dengan lingkungan yang baru memang agak sulit. Apalagi orang di sekitarnya tidak bisa menerima kehadiran Arumi. Di desa, Arumi bisa merasakan kebahagiaan yang sempurna. Namun, di kota ini kadar bahagia Arumi berkurang.

Netra Arumi menangkap stan pop ice di pinggir jalan yang dilewati mobil Yusuf. Ia teringat tumpahan pop ice dari Anita. Setiap kali melihat objek yang berhubungan dengan apa yang dilakukan teman-teman di sekolah. Lagi-lagi membuat Arumi ingat dan mengeluh.

'Astaghfirullah. Maafkan Rumi, Ya Allah. Harusnya aku bersyukur masih ada teman yang mau menerima, Karina dan Farhan.'

"Sebentar lagi kita sampai, Nak," ujar Zulaiha membuyarkan lamunan Arumi.

Arumi tergegau dengan suara ibunya. Zulaiha tertawa kecil, tetapi tidak dengan pria yang fokus menyetir. Yusuf hanya membisu sebelum pembicaraan tertuju padanya.

"Alhamdulillah. Arumi tidak sabar ingin segera tiba. Kapan restoran itu berdiri, Pak, Bu?" tanya Arumi berharap Yusuf menyahut.

Yusuf selayang melirik ke belakang sambil berkata, "Setelah bapak sama ibu menikah. Lima belas tahun yang lalu."

"Ooo, iya. Tetapi ...." Arumi menjeda memikirkan sesuatu.

"Tapi apa?" tanya Yusuf.

Bagaimana bisa, usia Arumi sudah enam belas tahun. Tetapi, Yusuf bilang ia menikah lima belas tahun yang lalu. Tidak-tidak, Arumi pikir ayahnya salah bicara mengenai ini. Jadi, tidak ada yang harus di ragukan.

"Tidak jadi, hehe," sahut Arumi tersenyum kikuk di balik masker.

Pikiran Zulaiha tidak karuan selama beberapa menit usai mendengar jawaban Yusuf. Entah apa yang akan dipikirkan anaknya.

Yusuf memarkirkan mobil honda brio berwarna merah miliknya di depan restoran. Arumi menilik area depan dengan saksama. Angin berkesiur melewati dedaunan yang melambai.

"Ini dia. Kamu wajib tahu bagaimana dalamnya," ajak Zulaiha seraya merangkul lengan Arumi.

Yusuf menghampiri keduanya. "Yuk kita masuk."

Arumi Khairunnisa <TAMAT>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang