Mata beiris hitam itupun perlahan terbuka setelah hampir seperempat jam menutup."Hai," ucap lirih Brama penuh rasa sesal. Tangan kanan lelaki itu menggenggam lembut jemari Kirana, sementara tangan yang lain membelai wajah pucat wanita berpipi sedikit tembam yang tengah terbaring lemah di sebuah sofa tunggal berukuran besar dan lebar yang ada di ruang utama rumah pantai Brama.
Mata Kirana mengerjap, sepertinya wanita berparas manis tersebut masih mengalami disorientasi waktu dan ruang.
"Kirana ... sayang." Brama menatap cemas Kirana yang juga tengah menatap lelaki berahang tegas itu dengan tatapan tak terbaca.
"Kenapa Kamu bohong!" tanya Kirana tiba-tiba dengan sinis. Matanya masih menatap lekat Brama.
"Maaf. A—"
"Kenapa kamu tega berpura-pura menjadi Bramastya, Pak Brama?!" potong Kirana cepat.
"A-apa? Pura-pura jadi Bramastya? Maksud kamu?"
"Maksud saya sudah sangat jelas. Apa motifmu dengan semua ini?!" Kirana bangkit dari tidurnya, kemudian duduk bersandar sambil menatap tajam Brama yang tidak beranjak dari posisinya disamping Kirana.
Brama menatap lekat wanita yang sangat dicintainya itu sambil menggeleng pelan. "Apa yang ada dipikiranmu sekarang, sweety. Kamu pikir aku ini siapa, hem? Aku Bramastya, sayang. Mas Bram-mu!"
Kirana tiba-tiba berdiri sambil tertawa keras. "Ya Allah ... Ya Rob. Ampuni aku." ucapnya disela-sela tawa. "Tolong, bawa saya pulang! Sudah cukup saya dengar semua kekonyolan ini. Saya akan lupakan semua ini, saya maafkan atas kelancangan kamu mencatut nama almarhum tunangan saya. Namun dengan syarat. Menjauh dari kehidupan saya! Hubungan kamu hanya dengan Aldo, itupun karena kontrak yang sudah ditanda-tangani antara kamu dengan perusahaan milik tunangan saya!"
"Menjauh? Kamu suruh aku menjauh dari kamu? Bukan aku, sayang, yang harus menjauh. Aldo, yang seharusnya seperti itu. Menjauhimu, menjauh dari kehidupan kita!" Brama mendekat kearah Kirana yang diam mematung sembari menatap kearahnya.
"Kamu sakit jiwa!" desis Kirana, ketika Brama berada tepat dihadapannya. Mata keduanya saling beradu. Cinta dan rindu terlihat jelas dari tatapan lelaki berwajah tampan itu, berbanding terbalik dengan sorot mata penuh amarah dan curiga yang ditampilkan oleh Kirana.
"Sakit jiwa," bisik Brama ketika lelaki itu merapatkan tubuhnya ke tubuh Kirana yang bergeming sembari membelai lembut anak rambut yang menjuntai bebas di samping telinga wanita berpipi tembam itu.
Kirana menahan napas dengan degup jantung yang memburu, dan bisa dipastikan bahwa Brama pasti mampu mendengarnya.
"Apa kamu tahu siapa yang membuatku seperti ini? Kamu, sayang. Kamu yang membuatku berubah gila. Bangun dari koma dengan kondisi yang buruk. Wajah dan pita suaraku rusak. Butuh bertahun-tahun untuk bangkit. Operasi demi operasi harus aku lalui, tetapi bukan itu yang membuatku sakit. Tidak bisa bersamamu, tidak melihatmu dan menyentuhmu serta tidak tahu kabarmu, itu kesakitan terbesarku. Insecure pasca kecelakaan juga membuatku hancur. Ketakutan akan penolakanmu karena melihat wajahku monsterku selalu jadi mimpi burukku, Kirana."
Kirana menatap wajah lelaki yang tengah menggenggam erat kedua tangannya dengan berkaca-kaca. Posisi mereka yang tengah duduk berdekatan di sofa, membuat Kirana leluasa menatap wajah Brama dengan teliti, seperti mencari tahu kebenaran cerita Brama tentang perombakan total wajahnya.
"Mata kamu masih sama, Mas. Hitam dan tajam." Kirana membelai lembut kelopak mata Brama sambil menatapnya lembut
Brama memejamkan matanya sekejap sebelum kembali menatap wajah kekasihnya dengan lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFORGETTABLE LOVE. (On Going! )
Romance"Rasanya ingin mati saja dan menyusulmu disana, karena mencintai selain dirimu adalah hal yang mustahil kulakukan. Bukankah kita telah berjanji selalu bersama sampai ke alam keabadian?" ~ Kirana larasati.~ "Aku kembali disini dalam wajah yang ber...