Kirana menatap nanar wajah kekasihnya yang tengah terbaring tak bergeming dengan berbagai alat kedokteran yang menempel pada tubuh diam bramastya. Seluruh wajahnya terbalut perban, hanya kedua matanya saja yang terlihat terpejam dengan mulut yang sedikit terbuka karena terdapat selang yang memasuki kerongkongannya. Kirana tidak tahu nama peralatan canggih itu semua. Yang dia pahami saat ini adalah, itu semua adalah alat penunjang hidup Bramastya. Jika semua terlepas dari badan-nya maka besar kemungkinan hidup lelaki tampan itu tidak akan bertahan lama. Membayangkan hal ini, sudah mampu membuat jiwa Kirana terguncang, badannya naik-turun, oleh tangisannya. Dengan terisak Kirana hanya bisa menatap tubuh rapuh Bramastya tanpa berani menyentuhnya. karena satu tindakan yang ceroboh bisa mengakibatkan kematian."Mas ... Mas. Mas Bram, ini Kiran mas. Kiran datang."
Kirana melangkahkan kakinya dua langkah ke depan, hingga tangannya menggapai pegangan tempat tidur yang berwarna putih, dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari Bramastya. Berharap ada sedikit gerakan pada tubuh kekasihnya dan berharap akan adanya keajaiban yang datang dari Tuhan.
Sebuah tepukan lembut pada bahu Kiran, membuatnya sedikit terkejut. Spontan Kiran menoleh ke samping kanan-nya. Tampak Wirawan Atmadja tersenyum lembut sambil ber-ucap, "Kirana, Papa ingin bicara sebentar dengan mu."
Kirana mengangguk. " ya Pa," jawabnya kemudian.
"Kita bicara di luar saja. Bramastya biar sama Raditya."
Kirana berjalan meng-ekori Wirawan. Di sebuah di taman rumah sakit yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruang ICU, Wirawan dan Kirana menghentikan langkah kaki mereka, lalu duduk di salah satu bangku yang ada di taman tersebut.
"Kirana, Papa ingin ngomong sesuatu ke kamu."
Kirana mengalihkan pandangan ke arah Wirawan dari tatapan lurusnya.
"Ada yang serius Pa?" Tatapan mata Kirana tampak cemas. Berbagai pikiran buruk terlintas dalam pikirannya.
Suara debas Wirawan terdengar sebelum ia berbicara, "Kiran, Papa akan membawa Bramastya ke Jerman. Di sana ada seorang dokter yang pernah menangani pasien seperti Bram, dan pasien itu mengalami perubahan yang signifikan sewaktu di pegang langsung oleh beliau."
Wirawan memandang sejenak Kirana, mengamati perubahan wajahnya. Tampak bola mata Kirana membesar, tetapi mulutnya tidak bersuara.
"Papa, akan melakukan apa saja untuk kesembuhan Bramastya, meskipun tingkat keberhasilannya itu kecil. Papa akan tetap mengambil kesempatan itu," jelas Wirawan kemudian.
Kirana terdiam membisu, tetapi dari kedua pipinya, mengalir air mata yang menetes perlahan tak berhenti.
Wirawan mengelus pundak calon menantunya itu dengan lembut."Menangis lah Kirana ... menangis lah, jika itu bisa membuatmu lebih baik dan lega. Doa kan Bramastya yang terbaik. Papa janji akan menjaga Bramastya untukmu!"
Tiba-tiba tubuh Kirana meluruh, dengan sigap wirawan merengkuh tubuh lemah itu dan membopongnya menuju ke arah perawat yang sedang berjaga tidak jauh dari taman.
Beberapa jam kemudian tampak Kirana terpaku menatap tubuh Bram yang di dorong keluar dengan segala alat-alat medis--penopang kehidupannya, yang masih menempel di tubuh diam itu. Tempat tidur itu pun bergerak perlahan menuju ke arah ambulan yang telah siap di depan pintu rumah sakit bagian samping. Semua keluarga Bramastya dan juga keluarga Kirana berdiri tidak jauh dari pintu rumah sakit.
Semua wajah terlihat sedih, Isak tangis mengiringi pemindahan Bram ke Jerman. Kartika tersedu dalam pelukan suaminya, sedangkan Raditya terlihat tabah dan berjalan di samping tempat tidur Bram yang akan memasuki mobil ambulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFORGETTABLE LOVE. (On Going! )
Romance"Rasanya ingin mati saja dan menyusulmu disana, karena mencintai selain dirimu adalah hal yang mustahil kulakukan. Bukankah kita telah berjanji selalu bersama sampai ke alam keabadian?" ~ Kirana larasati.~ "Aku kembali disini dalam wajah yang ber...