{11}bingung

116 12 2
                                    


Alvino dan Qeyla sampai disuatu tempat yang sangat asing bagi Qeyla. Tempat itu berada atas dibukit, hamparan rumput hijau yang luas dan pohon-pohon yang tak terlalu lebat membuat tempat ini menjadi sangat sejuk. Disana kita bisa melihat padatnya kota Jakarta dan gedung-gedung tinggi. Terlihat sangat indah saat matahari telah terbenam, cahaya keorengan menghiasi langit.

Suara serangga saling bersahutan membuat tempat ini serasa alami tanpa bantuan manusia.

Alvino turun dari kuda besinya, berjalan meninggalkan Qeyla yang masih mengagumi tempat ini. Kemudian ia duduk beralas rumput hijau, matanya yang tajam menatap kepadatan kota yang ada dibawah sana.

Qeyla sadar dirinya ditinggal lalu ia menghampiri Alvino yang duduk nyaman menikmati senja.

"Bagaimana lo bisa tau tempat ini?" tanya Qeyla duduk disebelah Alvino.

"Tempat ini adalah tempat gue nenangin diri saat gue  merasa frustasi atau uring-uringan" jawab Alvino dibalas anggukan kecil.

"Lo suka tempat ini?" tanya Alvino basa-basi.

"Siapa juga yang nggak suka sama tempat seindah dan senyaman ini" balas Qeyla tersenyum kecil.

"Lo orang pertama yang gue ajak kesini" ujar Alvino membuat Qeyla menoleh bingung.

"Nggak ada yang tahu ada tempat kek gini kecuali gue" tambah Alvino menyadari kebingungan.

"Kenapa?" tanya Qeyla.

"Kenapa apanya?" tanya balik Alvino membuat Qeyla mendengus.

"Kenapa gue yang lo pilih ajak kesini? Bukannya tempat ini privasi lo" tanya Qeyla bingung.

"Karena lo istimewa" jawab Alvino singkat membuat Qeyla mengerutkan keningnya.

"Maksudnya?" tanya Qeyla tak mengerti.

Alvino menggeleng matanya terus memandangi senja. Qeyla juga diam ia menikmati hembusan angin sore membuat rambutnya ikut terbawa angin.

Keadaan disana hening hanya suara ranting dan daun yang terbawa angin. Qeyla yang iseng menoleh kearah Alvino menatap ciptaan tuhan sangat sempurna. Rambut hitam legam, manik mata yang indah dan tatapan tajamnya seakan menghipnotis siapapun yang melihatnya. Bulu mata yang lentik, hidung mancung, kulit putih bersih tanpa cacat, bibir tebal sesx yang menggoda, dan rahang yang kokoh membutnya pantas menjadi seorang pemimpin.

Alvino tiba-tiba menoleh membuat Qeyla gelagapan tapi langsung ditutupi dengan raut datarnya.

"Kenapa? Terpesona sama gue?" tanya Alvino tersenyum miring.

"Nggak siapa bilang" elak Qeyla sedikit ketus agar tidak ketahuan memandangi wajah Alvino.

"Jujur aja kali"

"Nggak ya"

"Semakin lo ngelak semakin gue yakin kalo lo terpesona sama gue"

"Ge-er banget sih"

Qeyla memukul pelan lengan Alvino sambil tertawa kecil Alvino tersenyum mendengar tawa merdu dari mulut Qeyla.

"Gue mau cerita boleh nggak?" tanya Alvino menidurkan tubuhnya diatas rumput menyilangkan kedua tangannya dibelakang telinga.

"Cerita aja" jawab Qeyla ikut menidurkan tubuhnya disebelah Alvino.

"Gue dulu punya sahabat kecil, dulu gue juga suka sama dia. Cuma suka bukan cinta, suka berarti menyayangi sebagai sahabat. Dia suka bintang, menyukai ketenangan. Sifatnya sama seperti gue pendiam, acuh tetapi peduli diam-diam. Saat dia menginjak umur 8 tahun dia pindah keluar negeri, gue nggak tau dia kemana. Karena setelah itu kita kehilangan kontak. Dan mulai saat itu gue menjadi lebih dingin begitu juga dengan Daniz lebih banyak diam. " ujar Alvino panjang lebar.

The Lives Of Two Twin Girls Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang