[12] Nanon pt.2

16 4 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









—— Sudut pandang orang pertama ——








Badanku kaku mendengar curahan semua yang telah Nawa lalui. Tidak menyangka apa yang telah menimpa Nawa selama ini, ternyata memang benar-benar parah, dan Nawa melewati itu semua sendiri? Tanpa minta bantuan orang tua atau siapa pun? Tanpa ada orang yang melindunginya?

Tanganku dengan cepat membawa Nawa kedalam pelukanku. Ia menangis tersedu, seolah menuangkan semua beban yang ia bawa di dalam pelukanku.

Dan ia mengalami semua ini, karena di tinggalkan oleh seorang teman sewaktu SD? Orang yang selalu ada untuknya selama empat bulan, lalu menghilang? Itu semua karena aku? Yups, aku adalah teman masa kecil Nawa yang selalu tidak bisa melihat gadis itu di rundung.

Aku yang dulunya tidak pandai bergaul, pendiam dan jarang banyak ngomong, menjadi berani saat gadis ini banyak yang tidak suka. Saat seorang pria kecil melempar bola pada kepala Nawa berulang kali, aku menarik pria itu hingga terjatuh.

Aku kira, semua akan baik-baik saja jika aku pergi. Karena, saat itu mereka tidak ada lagi yang berani membully Nawa. Tapi ternyata, semua itu karena ada aku, saat aku pergi, mereka melakukan hal seperti itu lagi, bahkan lebih. Aku jadi menyalahkan diriku, karena telah pergi meninggalkan Nawa.

Aku yang dulunya tinggal bersama Nenek-Kakek di desa dari kecil, mendadak merengek ikut pindah bersama orang tuaku. Karena aku dulu jarang mendapatkan kasih sayang mereka, jadilah aku ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan gadis kecil dengan senyum indah ketika bermain gundu bersamaku.

Dalam kurun waktu empat bulan itu, banyak yang kita berdua lalui. Bermain kejar-kejaran, bermain gundu atau kelereng, sering ke sawah tempat nenekku bertani, dan masih banyak lagi. Dulu Nawa sangat manja dan juga ramah pada semua orang. Mangkannya, aku kaget dengan Nawa yang sekarang.

"Nangis aja sepuasnya, luangin semuanya!" titahku mengelus punggungnya.

Nawa melepas pelukanku lalu menyusut air mata dengan kedua tangannya. Dengan refleks aku menyimpan kedua tanganku di pipi Nawa, dan ikut mengusap air matanya.

"Maafin aku," ucapku bersalah.

Tentu saja, aku merasa bersalah sekali. Jika aku tidak merengek ikut bersama orang tuaku, Nawa tidak akan menjadi Nawa yang sekarang. Mungkin, ia akan menjadi Nawa yang sangat ceria dan banyak di kagumi.

"Kenapa kamu yang minta maaf, Non?" tanyanya.

Aku tertegun bahwasannya, ia menggunakan aku-kamu.

"Maaf karena saat kamu butuh, aku enggak ada," kataku lagi.

Aku bingung, apakah aku harus jujur dengan Nawa, kalau aku adalah teman masa kecilnya. Tapi, aku takut Nawa akan kecewa dan menjauhiku lagi, pasalnya aku yang membuatnya seperti ini.

"Apasih, jangan mulai gak jelas," ketus Nawa.

Betapa bahagianya aku hari ini. Bisamelihat senyum indah ini lagi, walau senyum yang berbeda. Jika dulu senyum dengan mata cerah dan berseri, sekarang senyum dengan mata sendu bekas air mata.

"Na, boleh gak, aku deketin kamu?" tanyaku tanpa ragu.

Nawa menatap mataku, seolah menelaan apakah aku berbohong atau tidak.

"Ini udah deket. Kalau jauhan, lo di sini, gue di kelas," jawab Nawa.

Aku mengacak gemas rambut Nawa, lalu merangkulnya.

"Jangan cuek lagi, ya. Gue gak bisa di cuekin sama lo," cicitku.

Nawa menghindar. "Ih siapa lu, ngatu-ngatur, dosen bukan," tuturnya dengan tawa.

"Aku? Aku kan Nanon yang paling ganteng," jawabku percaya diri.

Jika masalah tampang, aku memang kalah dengan Ae. Tapi kalau masalah karisma, jangan di tanya.

Nawa mendekatkan wajahnya dengan wajahku, lalu memiring-miringkan wajahnya mencari letak kegantengan di seluruh wajahku.

"Hmmm... masih gantengan Seokjin, sih," ucapnya.

Ah elah, masa ia di sandingkan dengan idola favoritnya?

"Mohon maaf aja nih, skincare saya dengan Kim Seokjin beda jauh buk, dia skincare nya puluhan juta, saya 50 rebu aja dapet 3," kataku mencoba bercanda.

Alhasil, Nawa tertawa. Akhirnya, keinginanku membuatnya tertawa terlaksana. Kini, tinggal keinginanku yang sangat besar, selalu menjaga Nawa sampai akhir nafasku.

"Iyalah, masih kalah kau," senandungnya.

Tiba-tiba handphone Nawa berbunyi, menandakan ada telepon masuk, yang ternayat itu adalah Ea. Aku malah kasihan dengan sahabatku itu. Bisa-bisanya dia jatuh cinta sama si Ae.

Ae memang sahabatku juga. Hanya saja, jika urusan percintaan yang serius, Ae gak pantes buat Ea. Ae yang emang dasarnya playboy, dan gak akan taubat kecuali saat mantan pacarnya kembali. Mantan pacar yang sudah menjadikan Ae seperti ini.

"Non, gue ke Ea dulu ya, kayanya dia lagi bete deh," pamitnya.

"Ya udah, nanti pulang aku anter, ya." Biasalah, cari kesempatan dalam kesempitan.

"Gimana nanti, ya."

"Eh bentar, aku belum punya nomer kamu," kataku.

Beberapa bulan kenal, aku tidak punya nomer Nawa sama sekali, ya tahu sendirilah.

Nawa meminta ponselku, lalu mengetik nomernya di kontakku, sesudah itu dia pergi sambil melambaikan tangannya.

Aku tersenyum sambil memandangi foto profil whatsapp Nawa. Kenapa ia bisa cantik dan imut secara berbarengan? Bisa-bisa gila aku melihat foto ini kelamaan.



¤ NANONAWA ¤

💫 NANONAWA 💫 [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang