Bagian 3 - Pertemuan

665 162 11
                                    

Vanka mengembuskan napas berat seraya memandang sendu ke dalam dompetnya yang hanya menyisakan satu lembar uang lima puluh ribu. Seluruh tabungannya sudah habis karena dipakai biaya hidup beberapa bulan terakhir ini.

Semenjak kuliah Vanka memang tidak lagi meminta uang jajan pada kedua orang tuanya setelah pertengkaran hebatnya beberapa waktu lalu. Vanka bahkan tidak pernah pulang dan mengabaikan semua pesan saudara kembarnya yang begitu mengkhawatirkan Vanka.

Vanka sudah bertekad kalau ia tidak akan kembali sebelum ia bisa membuktikan bahwa pilihannya tidak salah dan lagi orang tuanya pun tidak repot-repot membujuknya untuk pulang. Hal itu membuat Vanka semakin enggan.

Namun, permasalahanannya sekarang adalah bagaimana cara ia mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya? hanya mengandalkan gaji dari kerja partimenya saja tidak cukup.

“Apa gue cari kerja lagi ya?” gumam Vankan pernuh pertimbangan. Disatu sisi ia memang butuh untuk mencari kerja tambahan, tapi di sisi lain ia juga takut hal itu akan mengganggu kuliahnya.

“Lo mau pindah kerja?” Tiba-tiba seseorang menyeletuk membuat Vanka menoleh kaget ke arahnya. Rupanya tadi ia bergumam cukup keras.

“Eh, Sean?” Lelaki itu lantas duduk di sebelah Vanka sedang gadis itu buru-buru kembali menutup dompetnya.

“Sori nggak sengaja nguping.” Vanka menggeleng pelan sambil tersenyum.

“Nggak apa-apa kok Sean.” Begitulah pertanyaan Sean berakhir tanpa jawaban karena selanjutnya anggota BEM yang lain mulai berdatangan memenuhi ruangan dan rapat dimulai tak lama kemudian.

Sean memilih untuk menyibukan diri dengan buku catatannya. Menulis setiap hal yang dianggap penting sementara Vanka malah melamun memikirkan segala hal yang memusingkan. Bulan depan ia harus membayar kos-kosan belum lagi ia harus membeli pentab baru karena miliknya yang lama sudah rusak.

Baru memikirkannya saja Kepala Vanka sudah pening. Ternyata benar bahwa menjadi orang dewasa itu tidak enak pantas saja Peterpan sempat menolak untuk dewasa dan lebih memilih terus menjadi anak-anak yang tinggal bahagia di Neverland. Jika bisa, Vanka ingin melakukan hal yang sama. Sayangnya itu semua hanya dongeng belaka.

“Vanka?” Vanka merasakan tepukan di bahunya. Ia mengerjap dan langsung salah tingkah ketika menyadari tatapan semua orang kini terarah padanya.

“Progres PDD.” Sean berbisik.

“Ah, itu ... progres PDD yang pertama udah selesai desain maskot, bikin twibbon sama bikin video teaser. Terus hari selasa kemarin udah intern sama humas.” Vanka menutup laporan singkatnya lalu menatap sang ketua panitia yang sepertinya sudah siap untuk bertanya.

“Hasil desain maskotnya udah ada?” Vanka mengangguk lalu mengirimkan gambar hasil desainnya ke grup panitia.

“Udah dikirim ke grup,” katanya. Menit-menit berikutnya mereka sibuk membahas maskot yang baru Vanka bagikan. Beberapa langsung berdecak kagum, beberapa lagi masih bertanya-tanya.

“Bagus maskotnya. Ini lo yang bikin?” Itu Sean yang bertanya.

“Iya hehe gue nggak begitu jago bikin video makanya pas pembagian job PDD kemarin gue pilih desain maskot atau pamflet aja.”

“Emang ya anak DKV tidak mengecewakan.” Vanka tersenyum mendengar pujian Sean. Bukannya Vanka gila pujian, ia hanya senang ketika hasil kerja kerasnya dihargai terlebih kalau sudah menyangkut jurusannya yang mana selama ini selalu dipandang sebelah mata oleh keluarganya.

“Oke, ada yang mau ditanyakan lagi buat PDD?”

“Cukup.”

“Kalau gitu kita lanjut ke sie acara.” Begitu tugasnya selesai Vanka lagi-lagi tidak memperhatikan untungnya ia sudah menyuruh teman satu sienya untuk mencatat.

Bittersweet [𝙴𝙽𝙳]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang