Bagian 14 - Tentang Dirinya

494 136 18
                                    

“Sebagai permintaan maaf lagi?” tanya Sean ketika Vanka untuk kesekian kalinya membelikan dia minuman. Kali ini bukan minuman kaleng atau botol, melainkan segelas frappucino andalan cafe tempat dia bekerja.

Vanka mengangguk. “Maaf udah bikin keributan di tempat lo.”

“Gak bisa dimaafin,” jawab Sean spontan membuat Vanka terperanjat. “Gue mau tau ada masalah apa lo sama Jo, boleh?”

Meski secara garis besar sudah tahu, tapi Sean tetap ingin mendengar dari sudut pandang Vanka. Bisa jadi ia melewatkan hal tertentu yang sangat penting.

“Duduk dulu!” titah Sean sambil menunjuk bangku kosong di depannya dengan dagu.

“Gue harus kerja Sean.”

“Bentar doang kok, lagian cafenya masih sepi.” Vanka menyapu pandang ke setiap sudut cafe dan ucapan Sean memang benar. Termasuk Sean, hanya ada tiga pelanggan lain yang tengah asik ngobrol. Mau tidak mau Vanka menuruti ucapan Sean. Ia menarik kursi di depannya lalu mendudukan diri di sana.

“Gue pengen bantuin lo Vanka gak ada maksud lebih,” kata Sean memulai kembali percakapannya. “Kebetulan gue kenal lo sama Jo kebetulan juga gue tau kalian ada masalah. Ya sebenernya wajar aja sih lo keberatan, secara gue bukan siapa-siapa lo.” Sean mengambil jeda sementara Vanka hanya menatapnya sambil menunggu kalimat selanjutnya.

“Jadi sebelum itu, boleh gue jadi temen lo?”

Vanka kini mengerjap bingung. Sebelumnya tidak pernah ada orang yang meminta ijin dulu untuk berteman jadi dia tidak tahu harus menjawab apa. Lagipula bukankah mereka memang sudah berteman?

“Maksud gue bener-bener jadi temen lo, bukan cuma sekedar temen organisasi yang numpang lewat yang kalau udah demis nanti dilupain gitu aja,” lanjut Sean seolah bisa membaca pikiran Vanka, tapi cewek itu tetap bergeming.

“Gue gak mau kedengeran sok bijak sebenernya, tapi apa lo gak capek terus-terusan kaya gini? Mutusin cowok lo, ngehindari Jo dan bahkan mungkin nolak temenan sama gue. Entah lo sadar atau nggak, lo udah ngusir satu persatu orang-orang di sekitar lo. Orang-orang yang peduli sama lo.”

Vanka meremas ujung bajunya. Ia sudah tahu itu, tapi Vanka melakukan ini demi dirinya sendiri. Demi mimpi yang harus ia raih dan demi hati yang harus ia jaga agar tidak lagi terluka.

“Gue udah pernah nyoba itu Vanka, bedanya gue kecewa sama diri gue sendiri, bukan orang lain. Lo mungkin gak tau sejak kuliah gue membatasi pertemanan gue, sebisa mungkin gue gak terlibat sama urusan orang lain dan milih buat bersikap bodo amat. Semua itu gue lakuin karena gue gak mau bikin orang lain kecewa lagi.”

“Terus sekarang kenapa lo tiba-tiba peduli sama gue Sean? Gak kaya lo biasanya,” sela Vanka.

“Karena Sean yang selama ini lo kenal, bukan Sean yang sebenernya.” Vanka menatap Sean lamat-lamat. Mencoba mencari pembenaran di sana. Perubahan Sean terlalu mendadak.

“Jo udah cerita ke gue, makanya gue pengen denger dari sisi lo juga,” aku Sean akhirnya karena tak kunjung mendapatkan respon seperti yang ia inginkan.

“Cerita soal apa?” tanya Vanka waswas.

“Semuanya termasuk tentang janji kalian berdua buat ngeraih mimpi sama-sama.”

Kedua mata Vanka sontak melebar, tapi beberapa detik kemudian ia langsung mendengus. “Kalau lo udah tau ngapain nanya?”

“Dibilang gue pengen denger dari sisi lo juga.”

“Gak ada yang bisa gue ceritain Sean.”

“Lo tau alasan Jo tiba-tiba berubah pikiran?” pancing Sean membuat Vanka terdiam dan memilih mengalihkan pandangan. Sepertinya nanti Sean harus minta maaf pada Jonathan karena mencuri perannya untuk memberi penjelasan pada Vanka, tapi kalau tidak begini sampai kapanpun Vanka tidak akan mau bicara.

Bittersweet [𝙴𝙽𝙳]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang