Seorang cowok yang masih mengenakan seragam duduk di bangku taman di halaman belakang rumahnya. Tangan kananya memutar-mutar ponsel yang di pegangnya, seakan tidak takut ponsel tersebut jatuh. Toh, kalau ponselnya jatuh lalu rusak, detik itu juga dia bisa membelinya yang baru. Bukan hanya satu, dua puluh ponsel saja ia sanggup membelinya. Tapi jika di suruh membeli pabrik ponsel tersebut, ia harus minta bantuan dana dulu kepada ayahnya.
Tangan kanannya berhenti memainkan ponsel ketika ada suara deringan yang berasal dari benda pipih tersebut. Ada pesan masuk ke ponsel miliknya.
From : Pak Marco
To : Me
Paketnya telah sampai. Seperti yang Mas Andreas suruh.Andreas memerintahkan Pak Marco untuk memastikan paket tersebut sampai ke tujuan yang telah ia tetapkan, mengingat cewek yang ia hadapi itu sangat keras kepala. Bisa saja paketnya di buang olehnya karna tidak tahu siapa pengirimnya. Dia hafal betul dengan sikap manusia batu itu.
From : Pak Marco
To : Me
Dia juga tau kalau yang mengirim paket itu Mas Andreas.Andreas langsung menyimpan ponsel ke dalam saku celana seragamnya. Ia tidak ada niatan untuk membalas pesan dari Pak Marco. Andreas juga tak peduli jika Zia tahu bahwa yang mengirim paket tersebut itu adalah dirinya.
Andreas menoleh ketika Neneknya memanggilnya. Seorang wanita yang sudah memasuki usia kepala enam menghampirinya yang sedang terduduk.
“Papa dan Mama kamu ingin bicara sama kamu.”
×××
Sekarang dia tidak lagi berada di halaman belakang rumahnya, melainkan ia duduk di ruang tengah bersama laptop berwarna silver yang menampilkan seorang pria dan wanita yang tidak lagi muda. Mereka adalah David Adiwijaya dan Yasmin Amalya, orang tua Andreas yang berada di New York.
Mereka menatap Andreas dengan tatapan yang tidak bisa di jelaskan. Entah mereka marah, murka, Andreas tidak tahu. Ia bersyukur kedua orang tuanya tidak berhadapan secara langsung dengannya, jika saja mereka ada di sini—Andreas tidak bisa membayangkannya. Bisa-bisa dia di suntik lumpuh oleh Mamanya, dan di suruh push up ratusan kali oleh Papanya.
Andreas mendengar Mamanya berdehem. Dia menelan salivanya dan mencoba bersikap biasa saja walau rasa takut menggerogoti pikirannya.
‘Seminggu kamu di Jakarta, seminggu kamu tidak di dalam pengawasan Mama, dan dalam seminggu juga kamu membuat masalah sampai diskors dari sekolah. Hebat!’
Bulu kuduk Andrian terangkat ketika melihat Mamanya tersenyum di akhir perkataannya. Bukan, itu bukan senyum yang tulus, melainkan senyum yang banyak makna yang terselubung. Entah itu tanda Mamanya akan benar-benar menyuntik lumpuh dirinya, memberinya sianida, atau hal-hal yang lainnya yang tak kalah menyeramkan.
Ya, memang Andreas itu termasuk orang yang tidak takut dengan apa pun, tapi ada pengecualian untuk kedua orang tuanya. Dia sangat takut jika sudah berurusan dengan mereka. Jika ditanya apa alasan takut kepada mereka, jawabannya sangat simple. Dia tidak mau nasibnya seperti malin kundang yang di kutuk menjadi batu. Kalau pun Andreas di kutuk menjadi batu, dia akan menjadi es batu. Mengingat sikap dinginnya yang keterlaluan itu.
‘Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi? Papa mau dengar ceritanya dari mulut kamu sendiri.’ Pak David yang menyandang sebagai Papanya Andreas itu membuka suara.
Andreas menghela nafasnya sesaat sebelum berbicara. Jujur saja, ia sangat malas menjelaskan hal tersebut. Memang susah jika sudah memiliki sifat dingin lahir pasti bawaannya malas saja untuk berbicara banyak.
“Andreas membantu teman yang program beasiswanya ingin dicabut jika gak lolos seleksi Olimpiade Matematika.” Kata Andreas menjelaskan sembari menatap kedua orang tuanya dalam layar laptop.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA ES KUTUB
Teen Fiction✔ Spin-off Mr. CEO & Ms. Doctor. ✔ Dapat dibaca terpisah. "Tub, kutub!" "Hm." Jawab Andreas tanpa melihat Zia. "Kalau boleh tahu...kita berdua ini apa sih?" Andreas memutar tubuhnya, cowok itu menatap Zia. Sedangkan Zia menatap Andreas penuh harap...