5. Pasar minggu

313 38 2
                                    

Hari ini Minggu, sekolah masih libur. Damara yang pekerjaannya sudah selesai merasa suntuk, sedari tadi ia hanya berguling di tempat tidurnya. Sudah berkali-kali pula ia jatuh ke lantai. Dan rasa bosannya tambah menjadi-jadi saja.

Diliriknya kamar sebelah, masih tertutup dengan rapat. Artinya sang pemilik kamar masih asyik dalam mimpinya. Jengah dengan rasa bosan yang terus mendesaknya, Damara memutuskan ke rumah Ashoka dan membangunkan pria tidur itu.

“Mau ke mana, Nak?” tanya Maharani, Mama Damara.

“Ke rumah Ashoka,” jawab anak gadis itu.

Maharani manggut-manggut, “Mau jogging?”

“Rencananya.”

“Yaudah, hati-hati.” ujar sang mama yang kembali menonton serial indianya.

Damara kembali melanjutkan langkahnya, hingga di depan rumah ia melihat papanya yang sedang senam sendirian.

“Papa lagi goyang ngebor?” tanya Damara sambil menatap papanya aneh.

Harry, papa Damara menghentikan gerakan senamnya, “Enak aja, kamu. Papa lagi ngezumba ini.”

Damara cekikikan, “Oh, kirain goyang ngebor.”

Gadis itu lalu berlari kecil keluar pagar setelah puas melihat wajah bete papanya, ia memasuki pagar rumah sebelah.

“Assalamu’alaikum tante Sana, om Pram.”

“Wa’alaikumussalam anak cantik.”

“Tante, Ashoka ada, kan?”

“Ada di kamar, bangunin aja, Nak.”

Damara mengangguk, ia lalu naik ke atas tangga. Tapi pandangannya mengarah pada Om Pram yang sedang mencuci piring.

“Om yang bersih nyucinya, kalo gak bersih nanti mantunya cerewet. Xixixi.” Gadis itu memang selalu mengejek papa dan juga om Pram ayah dari Ashoka jika bertemu.

Sampai di depan kamar Ashoka, Damara menarik nafas dalam-dalam, lalu di keluarkan keras-keras. Selanjutnya ia menggedor-gedor dengan tak santai pintu kamar di depannya, sampai-sampai tante Sana dan om Pram terkaget. Tapi mereka membiarkan saja, lagi pula orang tua Damara pasti bisa mengganti jika saja pintu itu rusak.

Di rasa si pemilik kamar tak ada pergerakan, Damara mengerucutkan bibirnya, ia pikir Ashoka akan terbangun dan kesal padanya.

Damara lalu membuka pintu, terpampanglah sosok pria yang masih membungkus dirinya dengan selimut. Ia berjalan tak santai mendekati pria itu, sengaja kakinya yang memakai sandal hello Kitty ia hentak-hentakkan.

“Ashoka! Bangun! Waktunya kita bermetamorfosis!”

“Ashoka! Bangun! Waktunya kita lari-lari cantik!”

“Ashoka bangun! Waktunya kita tebar-tebar pesona!”

Damara yang habis berteriak membuka matanya yang awalnya ia pejamkan, tapi Ashoka tak kunjung bangun juga. Membuang nafas lelah, Damara memutuskan untuk duduk di atas ranjang, ia lalu menepuk pelan pipi Ashoka lembut.

“Ashoka, bangun.”

Jika cara kasar tak membuat Ashoka bangun, maka ia akan membangunkannya dengan cara yang halus. Iya, terbalik memang.

“Bangun, temenin Damara jogging. Damara suntuk di rumah.”

Damara meraba seluruh permukaan wajah Ashoka, ia mencubit pelan pipi pria itu. Tapi Ashoka tak kunjung bangun, Damara juga sengaja menyentuh bulu mata pria tidur itu.

“Bangun, ih.” Ia memencet hidung Ashoka, tapi tidak bergeming juga. Damara melepas hidung mancung Ashoka, takut nyawa pria itu melayang jika ia menekannya lama-lama.

Damara lalu mengecup pipi pria itu, “Bangun, anak perjaka gak boleh bangun siang-siang.”

“Nanti jodohnya nenek-nenek.”

Ashoka sudah tak sanggup lagi menahan tawanya, matanya kini terbuka memandang geli ke arah Damara. Gadis itu banyak sekali pamalinya, entah siapa yang mengajarkan.

“Ashoka ngerjain Damara? Bangunnya udah dari tadi?” Damara berkacak pinggang, menatap Ashoka melotot.

“Apasih, Mara. Pagi-pagi kenapa udah rusuh?”
Damara memalingkan wajahnya, Ashoka terkekeh melihat itu. Pria itu lantas terduduk dan mengusap lembut kepala Damara.

“Tunggu sebentar, Ashoka cuci muka dulu. Kita ke pasar Minggu.”

Setelah pria itu masuk ke kamar mandi, barulah senyumnya terbit.

“Yes, jajan gratis lagi.”

✨✨✨

Jogging di pasar Minggu emang selalu mengasyikkan, apalagi jika bersama Ashoka. Karena semua jajanan di sana, akan menjadi gratis untuk Damara. Ashoka yang bayarin, hehe.

“Kenapa lo, kelilipan?” tanya Ashoka pada Damara yang terus saja mengedipkan mata pada pria-pria tampan yang lewat.

Damara bersungut, “Ashoka gak tau? Ini itu tips and trik menggaet cowok-cowok ganteng.”

Senyum remeh Ashoka tersungging, “Bukannya kegaet malah dikira kemasukan beton.”

“Gak asyik banget, sih. Harusnya Ashoka pergunakan kesempatan dengan baik!”

“Maksud, lo?”

Damara menaik-turunkan alisnya, “Damara bantu cariin cewek, ya.”

“Gak!”

“Yang bohai bahenol montok ehem ehem, mau gak?”

“Gak!” tolak Ashoka kesekian kalinya.

Damara berdecak, lalu seperti apa tipe Ashoka yang sebenarnya. Ia lantas menarik lengan Ashoka agar mendekat padanya, lalu dagunya bergerak mengisyaratkan pada Ashoka agar melihat ke depan.

“Gimana, rasanya mantep-mantep aselole kan?” kata Damara setelah menunjukkan seorang cewek dengan bodi aduhai kepada Ashoka.

“Sakit mata malah gue,” keluh Ashoka setelah melihat cewek di depan sana yang hanya memakai cropty tanpa bahu yang dipadukan dengan jeans pendek.

Gadis itu lantas menggandeng tangan Ashoka ke jejeran penjual, percuma saja mencarikan jodoh untuk Ashoka. Pasti ditolak mentah-mentah.

“Mas, arlojinya berapaan?”

“Yang mana, mbak?”

“Yang ini!” tunjuknya pada arloji kapel berwarna bata.

“Sepasang dua ratus lima belas, mbak.”

“Mahal amat, lima puluh ribu aja ya, mas.” Tak tanggung-tanggung, Damara menawar dengan harga yang sangat jauh dari harga asli.

“Gak bisa mbak, itu kemurahan. Bisa rugi saya.”

“Namanya juga nawar,” Mata Damara kembali beraksi, kemasukan beton kata Ashoka.

Melihat itu, Ashoka lantas mengeluarkan uang bergambar Sukarno-Hatta tiga lembar dari dompetnya. Ia membayar arloji itu untuk Damara, yang dihadiahi cengiran khas gadis itu. Setelah membayar, Ashoka menggandeng tangan Damara menjauh dari sana.

“Malu-maluin banget,”

“Kan biar dapat murah.”

“Harus banget nawarnya jauh di bawah patokan harga?”

“Namanya juga usaha,” bela Damara untuk dirinya sendiri.

Ashoka terdiam, terserah apa mau Damara saja.

“Buat Rey?” tanya Ashoka pada akhirnya.

“Hah?” Damara melirik arloji kapel di tangannya, “enggak, buat Damara sama Ashoka, kok.”

Ashoka manggut-manggut, lalu mengambil arloji yang lebih besar untuk di pasang di tangannya. Berhubung ia lupa memakai arlojinya tadi. Damara pun sama, ia memakai juga. Mereka melanjutkan jogging, memutari area pasar minggu.

Ashoka menoleh pada gadis di sebelahnya yang mencolek-colek lengannya, gadis itu tersenyum manis menatap dirinya. Ashoka yang di tatap seperti itu menarik sudut bibirnya, lalu menghapus peluh yang membasahi dahi sampai pipi Damara.

“Jangan senyum, nanti gue jatuh cinta.”

AmicitiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang