10. Ashoka dilema

252 24 5
                                    

Damara terus saja melempar permen coklatnya ke kaca balkon Ashoka, tapi tetangganya itu tak kunjung keluar. Ia sudah greget sangat pada Ashoka, tenggorokan Damara sudah sangat kering karena terus berteriak memanggil pria itu.

Kesal karena diabaikan, Damara berjalan dengan menghentak kaki keluar kamar. Tak lupa menenteng tas Ashoka yang tadi ketinggalan di sekolah.

“Kenapa gak teriak lagi?” Papa Harry menatap anaknya antara gemas dan ingin marah, “telinga Papa masih kuat kok.”

Damara menatap jengkel papanya, “Percuma, Ashoka gak mau bukain pintunya.”

Harry mendengus melihat anaknya yang melangkah menjauh, dan menghilang di balik pintu.

“Untung anak gue ya lo.”

Sedang Damara memasuki pekarangan rumah Ashoka, bersamaan dengan sebuah mobil sedan berwarna hitam. Om Pram keluar dari mobil lalu melambaikan tangan memanggil anak gadis tetangganya.

“Kenapa kusut begitu mukanya?” tanya om Pram sambil memberikan kantong plastik.

“Om, tolong ya anaknya disuruh jangan sering ngambek.”

“Marahan lagi? Gara-gara apa?”

Damara menggeleng, “Entah, mungkin dia lelah.” Lalu melangkah memasuki rumah menenteng tas Ashoka dan juga kantong plastik.

Om Pram tertawa kecil lalu bergumam, “Iya, lelah menyembunyikan perasaan.”

Damara membawa nampan berisi bronis coklat yang tadi diberi om Pram, ia memutar kenop pintu kamar Ashoka. Dan melihat pria itu dalam balutan selimut, Damara menaruh bronis di nakas kemudian duduk di sebelah Ashoka.

Perlahan Damara membuka selimut, terpampang lah wajah Ashoka yang sedang menutup mata. Refleks Damara mengelus surai pria itu, wajah Ashoka terlihat tampan saat sedang tidur. Kadang Damara berpikir, Ashoka akan sangat dengan mudah mendapatkan pacar dengan modal wajahnya. Ashoka saja yang bodoh tidak memanfaatkan visualnya itu.

Ashoka menggeliat, mengerjapkan mata dan perlahan membuka matanya dengan pelan. Oknum yang terus saja mengganggu pikirannya ternyata sudah di depannya sekarang.

“Ngapain kesini?” tanya Ashoka serak.

“Ashoka marah sama Damara?”

Ashoka tak menjawab, ia memalingkan wajahnya dan terdiam. Ashoka juga tidak mengerti kenapa ia seperti ini.

“Kenapa marah? Mara ada salah?”

Ashoka masih terdiam tak menjawab.

“Kenapa diam?”

Ashoka menggelengkan kepalanya dan berkata, “Gue gak marah.”

Damara menangkup wajah Ashoka menatap pria itu lekat. “Ashoka marah karena tadi Damara lebih pilih Rey?”

“Kenapa pilih Rey?” tanya Ashoka pada akhirnya.

“Rey pacar Mara.”

“Gue gak suka lo gak peduli sama gue.”

Damara mengangguk, “Iya, gak lagi.”

“Yaudah sekarang gosok gigi sana, nafas Ashoka bau neraka.” Damara mendorong tubuh Ashoka meminta pria itu pergi ke kamar mandi.

“Sialan lo, nafas gue seharum taman surga kalo mau tau.”

✨✨✨

Ashoka berjalan santai memasuki kelas, tatapan-tatapan tajam langsung mengarah padanya. Ia memutar bola matanya malas, tahu pasti kenapa semua menatapnya begitu. Saat sampai di rumah, Ashoka membuka aplikasi chatting-nya. Teman sekelas sudah menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Apa perasaan lo ke Damara sudah berubah jadi cinta? Kira-kira begitu.

Karena tak ada satu pun pesan yang Ashoka balas, menjadikannya perbincangan hangat di grup kelas tadi malam.

Tak menghiraukan teman-temannya yang terang-terangan menatapnya bengis, Ashoka tetap duduk dengan santai di kursi kebesarannya. Berpura-pura sibuk dengan mengecek ponselnya, padahal cuma buka tutup menu.

“Wow primitif, seperti pesona dunia laut.” Denis nyeletuk, tapi belum juga sahabatnya itu merespon. “Wow, pasti tata krama belum ditemukan di sini.”

“Bacot, lo.” Sergah Ashoka.

Denis mendekati dan menepuk pundak Ashoka, “Lo cinta sama Damara?”

Sesaat sebelum Denis berkata begitu, pintu yang sebelumnya Siska tutup kini terbuka sehingga terpampang dua manusia yang baru saja tiba. Mereka Damara dan Rey, jelas mendengar pertanyaan itu.

Terasa canggung, mereka berlagak seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan. Setelah berpamitan pada Damara, Rey juga langsung pergi ke luar kelas.

“Satunya lagi udah datang, nih. Pas banget.”

“Ada apa, ya?” heran Damara.

“Lo itu yang ada apa sama Ashoka!” tuntut Faizal.

“Ada benih-benih cinta kan di antara lo berdua?” tanya Johan si ketua kelas.

Damara mengangkat sebelah alisnya lalu menjawab, “Ada. Cinta seorang sahabat ke sahabatnya.”

Mendengar jawaban Damara, seisi kelas mendesah kecewa. Damara mematahkan angan-angan mereka. Termasuk Ashoka, mungkin?

Darwin yang baru tiba juga mendengar perkataan Damara, langsung duduk di tempatnya. “Apa yang paling menyakitkan di dunia ini?”

Denis menanggapi, “Saat kau mencintainya sebagai seorang wanita, tapi dia malah mencintaimu sebagai seorang sahabat.”

“Bangsat!”

✨✨✨

Ashoka dan Denis memasuki kafe, Ashoka akan menemani sahabatnya itu membuat konten yang akan di upload ke YouTube-nya. Karena Ashoka tak ada kesibukan, mengiyakan saja ajakan Denis. Denis bersiap-siap, menyurvei para pengunjung kafe yang akan menjadi sasaran berkontennya. Tapi jangan salah, dia akan meminta persetujuan dari targetnya dulu baru diposting.

Mata Denis terpaku pada dua manusia yang terlihat bercanda tawa di ruang kaca sebelah. Mereka, Rey dan Damara. Saat Denis akan memberitahu Ashoka, sahabatnya itu ternyata sudah melihat. Denis sedikit melihat guratan tak suka di wajah Ashoka, karena terlalu malas bertanya ini itu lagi, Denis lebih memilih mengabaikan sahabatnya itu dan memulai aksinya.

Sedangkan Ashoka tak terlepas tatapannya dari Rey dan Damara, terus begitu sampai ia tak sadar setengah jam lebih berlalu. Denis yang sudah selesai dengan misinya kembali duduk di depan sahabatnya.

“Yakin, rela?”

Ashoka mengedikkan bahunya, dilema sangat. Antara ia ingin mewujudkan bahagianya, atau merebut kebahagiaan Rey dan mematahkan bahagia Damara.

Ashoka tahu, kali ini Damara sudah terlanjur mencintai orang yang tepat. Sebelumnya, hubungan Damara dan para mantannya paling lama hanya bertahan seminggu saja. Tapi tidak kali ini, bersama Rey, Damara hampir tiga bulan ini tak pernah mengeluh tentang Rey padanya. Malah terus memuji saja.

“Kata hati gue, Rey udah cukup buat Damara. Gue harus ngalah.”

Denis mengangguk mengerti.

“Bener, ikuti kata hati lo.” Denis tersenyum cerah pada sahabatnya, tapi sesaat kemudian ekspresinya berubah.

“Tapi jangan lupa, pake juga otak lo!”

✨✨✨

Rabu, 13 Januari 2021

Hai, AMICITIA balik lagi...
semoga suka ya sama part ini, selamat membaca dan semoga terhibur 🖤

AmicitiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang