Hinata masih mengerjakan laporan yang harus ia selesaikan malam ini. Matanya terus fokus pada layar laptop yang menyala, jemari lentiknya mengetik tiap tuts keyboard membentuk susunan kata.
Tidak jarang juga matanya mencuri-curi lihat pada ponsel yang ia letakkan di sebelah laptop miliknya. Mengecek lampu notifikasi menyala atau tidak. Nihil. Menghela nafas kasar, ia kembali fokus pada pekerjaannya.
Sudah lewat pukul 12 malam, bahkan tidak henti-hentinya ia terus menguap. Matanya berair karena kelelahan. Leher dan punggungnya pegal. Wajar saja karena ia sudah duduk selama hampir 6 jam untuk mengerjakan laporan itu.
Sebenarnya laporan itu masih bisa diselesaikan hingga besok. Namun Hinata lebih memilih untuk menyelesaikan itu sekarang. Pikirannya sedang penuh. Ia butuh pengalihan. Menyibukkan diri agar tidak mengingat kejadian siang tadi.
Sebelah kepalanya berdenyut sakit. Hinata bahkan melewatkan makan malamnya. Ia sama sekali tidak nafsu makan.
Hinata menghentikan pekerjaannya sejenak. Kedua tangannya mengusap wajahnya yang terlihat kusut itu.
Ingatan tentang siang tadi kembali menghantam kepalanya, membuatnya bertambah sakit.
Ia ingat bagaimana ia bisa semarah itu pada Sasuke. Seorang pria yang sudah menjadi kekasihnya empat tahun belakangan ini.
Saat siang tadi mereka membuat janji untuk makan siang bersama, Hinata melihat Sasuke bersama seorang perempuan yang tidak Hinata kenal memasuki sebuah toko perhiasan dari dalam bus. Hinata sangat yakin itu adalah Sasuke, dia tidak mungkin salah mengenali kekasihnya sendiri.
Berdasarkan apa yang dilihatnya, Hinata mulai menerka. Apa yang sedang mereka lakukan di dalam toko perhiasan itu? Kenapa perempuan itu terlihat sangat dekat dengan Sasuke? Bahkan perempuan itu berani-beraninya menggenggam tangan Sasuke. Apakah Sasuke sudah berani mencuranginya?
Prasangka itu semakin menguat saat Sasuke menghubunginya bahwa mereka tidak bisa bertemu untuk makan siang. Padahal Hinata sudah menunggunya selama sejam dan menyia-nyiakan waktu makan siangnya yang terbuang percuma. Sasuke bahkan tidak menjelaskan alasannya membatalkan janji. Mengatakan maaf saja tidak. Hinata cukup kesal hingga membuatnya memutus sambungan telepon secara sepihak.
Hingga saat ini pun, Sasuke sama sekali tidak menghubunginya. Pesan-pesan Hinata juga tak kunjung pria itu baca, apalagi membalasnya.
Hinata marah, kecewa, tapi ingin menangis disaat yang bersamaan.
Hinata akui bahwa hubungan mereka akhir-akhir ini memang sedikit merenggang. Pertengkaran kecil karena hal sepele sudah sangat sering terjadi.
Sikap Sasuke akhir-akhir ini juga mulai sedikit berubah. Pria itu memang terkenal dengan sifatnya yang dingin dan cuek. Tetapi meskipun begitu, Sasuke masih memperlihatkan sisi hangatnya pada Hinata.
Namun kali ini berbeda, sifat dingin Sasuke terasa menjadi dua kali lipat. Sasuke seperti seakan sudah tidak peduli lagi dengannya. Bahkan harus Hinata yang menghubunginya lebih dulu untuk bertanya kabar atau sekadar ingin mengajaknya jalan-jalan. Jika tidak, maka Sasuke tidak akan menghubunginya sama sekali.
Awalnya, Hinata berpikir bahwa Sasuke mungkin saja tengah sibuk dengan pekerjaannya. Hinata mengerti. Hinata tahu harus menempatkan dirinya.
Tapi setelah kejadian yang ia alami siang tadi, Hinata sudah bisa mengambil kesimpulan tentang perubahan sikap Sasuke.
Terserah saja. Hinata hanya akan berpura-pura bahwa hal ini seakan tidak pernah terjadi, ia akan berpura-pura untuk tidak melihat apapun. Hinata akan diam, hingga Sasuke sendiri yang akan mengatakannya.
*****
Hari Minggu ini Hinata berencana untuk mengunjungi salah satu sahabatnya yang membuka usaha toko bunga. Sudah hampir tiga minggu ia tidak melihat temannya itu karena sibuk bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMMITMENT
FanfictionHinata sangat menyukai kejujuran. Semenyakitkan apapun itu. Namun jika kepercayaan yang sudah ia berikan dirusak oleh kekasihnya, apa yang akan Hinata lakukan? A Naruto Fanfiction Desclaimer Masashi Kishimoto