Hinata patah hati. Itu sudah pasti. Sasuke adalah cinta pertamanya, sekaligus patah hati pertamanya.
Kalimat penguat yang pernah Hinata katakan pada Ino sebelum ia putus dengan Sasuke adalah yang memotivasinya hingga kini. Sasuke tidak pantas mendapatkan air matanya. Air mata yang keluar saat di rumah Ino pun adalah untuk dirinya sendiri. Hinata menangisi dirinya yg menyedihkan karena masih berharap semuanya baik-baik saja. Setidaknya itu yang ia pikirkan.
Sejujurnya Hinata memang sedih karena hubungannya harus berakhir dengan tidak baik seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Sasuke yang sudah merusak kepercayaannya.
Ngomong-ngomong tentang bubur, Hinata jadi lapar. Barhubung waktu makan siang sudah lewat dan ia belum sempat mengisi perutnya, gadis itu akan mencari alternatif lain untuk membuatnya tetap hidup setidaknya hingga waktu makan malam tiba.
"Akimichi-san!" Hinata memanggil pria chubby yang sedang mengisi gelasnya di dispenser.
"Apa?"
"Boleh kuminta ramenmu? Satu saja."
"Kebetulan ramenku sudah habis. Aku belum sempat beli tadi."
"Ah. Baiklah."
Hinata kembali melongok kan kepalanya ke sana ke mari mencari siapa saja yang sedang tidak sibuk dan bisa ia mintai makanannya.
Hinata melirik meja kosong di sebelahnya. Sang pemilik sedang pergi sejak dua puluh menit lalu dan belum ada tanda-tanda akan segera kembali. Hinata meyakini Tenten pasti sedang bergosip dengan karyawati direksi lain di toilet lantai 4. Dasar pemakan gaji buta.
Kemudian, kedua netra Hinata tidak sengaja menemukan dua bungkus roti vanila di meja yang tidak jauh dari meja Tenten. Matsuri masih di sana. Masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Matsuri-san!" Yang dipanggil pun mengalihkan perhatiannya pada Hinata. "Aku boleh minta rotimu?"
Matsuri melirik pada dua bungkus roti miliknya yang teronggok begitu saja di atas meja kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada Hinata. Tanpa mengatakan apapun, Matsuri meraih kedua bungkus rotinya tersebut dan memasukkannya ke dalam laci dan kembali fokus pada pekerjaannya.
Hinata mengernyit dengan wajah cemberut. "Pelit sekali."
Hinata menyerah. Lebih baik dia ke pantry dan mencari sesuatu yang bisa dia makan. Mungkin di sana dia bisa membuat semangkuk ramen atau menemukan beberapa potong roti yang biasa disiapkan oleh OB.
Tidak mau menunggu lama, gadis itu akhirnya bangkit dari tempatnya menuju pantry. Ruangan ini kembali ramai dengan para karyawan yang bekerja setelah istirahat makan siang dua jam lalu.
Perut Hinata terus berbunyi sepanjang perjalanannya menuju pantry yang kebetulan juga masih satu lantai dengan kantornya. Hinata hanya berharap suara perutnya tidak sampai terdengar orang lain karena itu cukup memalukan.
Gadis itu sudah sampai di depan pantry dan kemudian membuka pintunya. Hal pertama yang dilihat Hinata adalah dua orang OB yang sedang mengobrol. Sepertinya mereka sedang tidak ada pekerjaan lagi.
"Hyuuga-san." Salah satu OB menyapanya yang hanya dibalas anggukan oleh Hinata.
"Ada apa kemari? Tumben sekali." Tanya OB lainnya.
Hinata menuju sebuah kabinet dan membukanya. "Apa kalian menyimpan ramen di sini? Atau roti?"
"Ada beberapa bungkus ramen di kabinet bawah sini." OB pertama yang menyapa Hinata membuka kabinet di bawah meja dan mengambil sebungkus ramen dari sana. "Mau sekalian aku buatkan, Hyuuga-san?"
"Tidak perlu, aku bisa membuatnya sendiri." Jawab Hinata. "Kalian bisa kembali bekerja."
"Tapi sekarang kami sedang luang. Mungkin akan kembali bekerja kalau ada yang membutuhkan bantuan."
Hinata hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Hyuuga-san akhir-akhir ini terlihat agak sedikit lesu. Apakah Hyuuga-san baik-baik saja?" Tanya Rock Lee. OB pertama yang bertanya pada Hinata.
Hinata yang hendak memasukkan ramen instan ke dalam panci pun berhenti sejenak.
"Hm. Beberapa waktu terakhir aku juga sering melihat Hyuuga-san lembur hingga pukul 10 malam. Tidak biasanya Hyuuga-san seperti itu." Tanya Iruka, OB yang lainnya.
Hinata tersenyum mendengar penuturan mereka. Gadis itu sedikit senang mengetahui ada orang yang memperhatikannya meskipun hanya para OB.
"Aku baik-baik saja. Memang ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku, tapi kurasa aku masih bisa mengatasinya. Terima kasih sudah perhatian padaku." Jawab Hinata sambil meneruskan memasak ramennya.
"Kami hanya merasa khawatir Hyuuga-san akan sakit. Jangan terlalu memaksakan diri." Ujar Iruka.
"Terima kasih, Iruka-san."
Bagi para OB atau cleaning service, Hinata dikenal orang yang sangat baik pada mereka. Tidak jarang Hinata akan membantu meringankan pekerjaan mereka. Terkadang mereka sedikit merasa tidak enak jika Hinata sudah turun tangan meskipun mereka merasa sangat terbantu. Meskipun pekerjaan mereka sering dianggap remeh, tapi jika ada banyak orang yang menyuruh ini dan itu dalam satu waktu, hal itu sama sekali tidak mudah. Mereka pun sangat beruntung memiliki Hinata yang baik hati di kantor ini.
Hinata sudah selesai memasak ramen dan berniat untuk memakannya saja di pantry karena ia terlalu malas bolak-balik untuk mengembalikan mangkuk.
"Hinata." Akimichi mendatangi pantry dengan nafas agak tersengal.
Hinata yang pada saat itu ingin menyiapkan ramen ke mulutnya terhenti. "Ada apa?"
"Pak Sarutobi meminta kita untuk segera meeting."
"Apa? Sekarang? Kenapa mendadak sekali?" Akimichi hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Tapi ramenku? Aku baru aja membuatnya."
"Sudahlah, itu nanti saja. Ayo." Akimichi kemudian menarik tangan Hinata agar mereka tidak terlambat memasuki ruangan.
"Ramenku..." Hinata ingin menangis rasanya. Tangannya terulur seperti ingin meraih mangkuk ramen ya yang semakin menjauh.
Sepertinya Hinata harus menahan rasa laparnya lagi hingga dua jam ke depan.
*****
Pukul 9 malam Hinata sudah duduk di halte bus. Perutnya terasa kembung akibat memakan ramen yang sudah dingin dan tentu saja mengembang karena ia tinggal dan tidak sempat ia makan ketika selesai memasaknya. Hinata belum makan malam dan ia jadi muak dengan ramen. Membayangkan sup miso hangat sepertinya cukup enak, tapi ia terlalu lelah untuk memasak.
Di halte bus ini hanya ada dua orang, termasuk Hinata. Suasananya sepi, tapi ramai kendaraan berlalu lalang.
Pikiran Hinata kembali terlempar pada kejadian seminggu lalu saat ia baru saja putus dengan Sasuke. Hati Hinata sakit.
Tidak pernah ada lagi kiriman pesan dari Sasuke untuknya. Ya, setidaknya Hinata sudah sedikit merasa terbiasa karena Sasuke memperlakukannya sedemikian rupa.
Jika memikirkan kembali saat-saat itu ingin rasanya Hinata membeli boneka Voodoo untuk Sasuke dan menusuk kepalanya agar pria itu bisa kembali berpikir dengan jernih. Ingin rasanya balas dendam, tapi dengan cara apa?
Apakah Hinata berpura-pura saja mengajak Sasuke berjalan-jalan ke pantai lalu membuangnya ke laut? Atau mengajaknya ke sea world lalu menenggelamkannya di akuarium agar dimakan ikan hiu? Atau Hinata harus mendatangi dukun lalu memintanya menyantet tidak hanya Sasuke tapi juga perempuan bernama Sakura itu agar mereka muntah paku dan jarum?
"Aaakkhhh!" Hinata mengacak rambutnya. Semua cara-cara itu cukup kejam dan Hinata yakin ia tidak akan sanggup melakukannya.
Hinata tidak ingin mengakui bahwa ia patah hati tapi ia ingin Sasuke hidup menderita. Akhirnya sisi jahatnya muncul juga, tapi Hinata masih bisa berpikir jernih dan menggunakan akal sehatnya agar tidak melakukan hal aneh-aneh.
Semakin dipikirkan membuat Hinata makin lapar. Sepertinya sup telinga Sasuke terdengar cukup lezat.
.
.
.
.
.
To be Continue.

KAMU SEDANG MEMBACA
COMMITMENT
FanfictionHinata sangat menyukai kejujuran. Semenyakitkan apapun itu. Namun jika kepercayaan yang sudah ia berikan dirusak oleh kekasihnya, apa yang akan Hinata lakukan? A Naruto Fanfiction Desclaimer Masashi Kishimoto