Ruangan itu kini sunyi. Kini tinggal Hinata seorang di dalam apartemennya setelah ia mengantar kepulangan Mikoto hingga halte bus lima belas menit yang lalu. Hinata masih kepikiran dengan kebenaran yang ia ungkap pada wanita paruh baya itu beberapa waktu lalu. Ia takut kesehatannya akan semakin menurun setelah mengetahui tentang perilaku kurang ajar putranya.
Hinata tahu sejak awal kesehatan Mikoto tidak terlalu baik. Kondisi tubuhnya melemah sejak lima tahun lalu akibat pneumonia yang dulu pernah dideritanya. Kondisi yang sama juga pernah dialami oleh ayahnya. Bahkan memiliki stress berlebih dapat membuatnya dirawat di rumah sakit selama lima hari.
Waktu menunjukkan pukul dua siang, ia belum makan, hanya sebungkus kookie coklat berisi tiga buah yang mengisi perutnya ketika dalam perjalanan pulang tadi ke apartemennya. Pantas saja perutnya terus berbunyi sangat nyaring. Hinata masih menimbang untuk memasak apa untuk makan siang sekaligus makan paginya yang tertunda.
Triiing triiing triiing
Bunyi nada dering ponsel Hinata mengalun nyaring ke seluruh penjuru ruangan menandakan ada panggilan masuk.
TENTEN
Hinata mengerutkan dahi begitu membaca nama kontak pada panggilan tersebut.
"Halo." Hinata mengangkat panggilan tersebut.
"Kau sudah makan?
" Belum."
"Baguslah. Aku ada di sekitar apartemenmu. Kebetulan aku mau mampir ke situ. Mau titip sesuatu?"
Kebetulan sekali. Terkadang gadis bercepol dua itu sungguh sangat bisa diandalkan meskipun Hinata tidak pernah meminta atau bahkan memikirkannya. Tanpa sadar Hinata tersenyum kecil.
"Entahlah. Ada saran?"
"Hmm.. Gyudon yang ada di belakang kafe langgananmu cukup enak. Oyakodonnya juga enak. Kau mau yang mana?"
"Beli keduanya saja. Kalau bisa tolong bungkus kan tempura juga."
"Baiklah."
Sambungan telepon pun terputus sepihak dari Tenten. Hinata menatap layar ponselnya. Tidak habis pikir dengan kelakuan Tenten yang datang tak dijemput, pulang tak diantar. Datang seenaknya dan pergi semaunya.
Namun di satu sisi Hinata merasa sangat bersyukur dengan kehadiran Tenten dalam hidupnya. Gadis bercepol itu terkadang selalu muncul saat ia membutuhkan seseorang tanpa pernah hinata memikirkannya. Maafkan Hinata yang durhaka ini ya, teman.
Bagi Hinata, Tanten maupun Ino merupakan kedua orang yang tidak tergantikan oleh siapapun. Keduanya memiliki porsi masing-masing dalam perannya.
*****
Malam pun datang. Tenten memutuskan untuk menginap di apartemennya. Pas sekali karena ia memang membutuhkan seorang teman mengobrol dan bisa Hinata pastikan kegiatan itu akan berlanjut hingga dini hari. Lagi pula besok hari Minggu, kedua gadis itu berencana untuk bangun lebih siang.
Kini kedua gadis itu sedang menonton drama prime time akhir pekan. Hinata sebenarnya tidak terlalu suka menonton drama, tetapi karena Tenten penggemar dari salah satu aktor pemerannya mau tidak mau Hinata mengikuti saja kemauan gadis bercepol itu.
"Ah.. Kakashi-san tampan sekali. Aku berharap pria seperti itu benar-benar nyata." Ucap Tenten dengan mata berbinar. Jiwa fangirl miliknya sudah ia aktifkan sejak drama tersebut di mulai.
"Nyata kok. Buktinya dia seorang aktor. Bukan karakter fiksi." Hinata menimpali secara asal.
"Maksudku, pria yang benar-benar nyata. Yang bisa aku gapai."
KAMU SEDANG MEMBACA
COMMITMENT
FanfictionHinata sangat menyukai kejujuran. Semenyakitkan apapun itu. Namun jika kepercayaan yang sudah ia berikan dirusak oleh kekasihnya, apa yang akan Hinata lakukan? A Naruto Fanfiction Desclaimer Masashi Kishimoto