Di saat sendirian seperti ini, terkadang Hinata merasa sangat rindu pada keluarganya di kampung halaman. Tidak jarang juga Hinata bahkan menangis saking rindu pada ayahnya.
Hinata ingat ketika meninggalkan Konoha, ayahnya sedang mengalami pneumonia yang mengakibatkan pria paruh baya itu harus dirawat intensif di rumah sakit. Bahkan pada awal-awal bulan pertamanya kuliah di Tokyo Hinata hampir tidak bisa makan nasi akibat stress berkepanjangan memikirkan kondisi kesehatan ayahnya.
Hinata baru menyadari bahwa kedatangannya ke Tokyo bukanlah hal yang sia-sia. Ketika terbangun dari tidurnya, Ino langsung menamparnya dengan keras dan Hinata baru menyadari bahwa ia sudah berada di ruang rawat rumah sakit akibat pingsan karena mengalami tukak lambung yang mulai parah saat itu.
Hinata ingat saat itu Ino benar-benar marah padanya. Ino kembali membuat Hinata mengingat saat memutuskan untuk pergi ke Tokyo. Ia mengatakan sebuah janji pada ayahnya bahwa ia akan selalu menjaga kesehatan dan tujuan utamanya adalah untuk belajar. Meskipun Ino terlihat marah, namun ada raut cemas yang sangat mendominasi wajahnya. Hinata tahu Ino hanya khawatir yang pada akhirnya, Hinata menerima permintaan maaf dari sahabatnya itu.
Hinata baru saja selesai menghubungi adiknya dan mengobrol banyak dengan sang ayah. Rasa rindunya bisa sedikit terobati, meskipun adiknya sudah mengatakan untuk tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Perasaan khawatir tentu saja sangat wajar jika Hinata rasakan. Adiknya kini hanya tinggal berdua dengan sang ayah. Ibu Hinata sudah tiada sejak ia masih remaja. Jadi tentu saja hingga Hinata meninggalkan kampung halamannya, ia yang mengurus keluarganya untuk menggantikan sang ibu.
Hanabi, adiknya juga bercerita kalau kakak sepupu mereka akhir-akhir ini cukup rutin untuk berkunjung untuk melakukan pengecekan kesehatan ayahnya. Sebagai seorang dokter muda yang baru saja diangkat untuk bekerja tetap di rumah sakit membuat Hinata menjadi lebih bersyukur bahwa kakak sepupunya itu dengan senang hati meluangkan waktunya sejenak untuk memeriksa kondisi ayahnya secara rutin.
Kini, Hinata kembali sendirian. Gadis itu duduk memeluk kedua lututnya di atas sofa. Suara televisi memenuhi ruangan itu, namun perhatian Hinata tidak tertuju pada hal itu. Hinata kembali merasa kesepian.
Biasanya, di saat-saat seperti ini Sasuke akan menemaninya. Menonton film tengah malam yang ditemani berbagai macam camilan. Hinata sangat menyukai saat-saat itu ketika ia bisa berdua saja dengan mantan kekasihnya. Setidaknya itu dulu.
Ah, Hinata benci dengan momen melankolis begini.
Hinata melirik ke arah jam dinding di atas televisi, pukul sepuluh malam. Sudah cukup larut rupanya. Sebaiknya ia harus tidur sekarang agar tidak kesiangan saat berangkat kerja besok.
TING TONG
Hinata yang baru saja mengambil selangkah dari tempatnya semula, mematung begitu mendengar umsuara bel. Ia tidak yakin suara bel itu berasal dari luar apartemennya. Hinata pun menunggu sesaat jika suara bel tersebut terdengar lagi untuk memastikan.
TING TONG
Gadis itu mengerjap. Kali ini ia yakin suara bel itu berasal dari luar apartemennya. Ia bertanya-tanya siapa yang akan bertamu malam-malam begini. Hinata pun melangkah menuju pintu depan dan mengintip dari lubang di pintu memastikan siapa yang datang. Seketika ia kembali mengernyit ketika melihat siapa yang berada di balik pintu.
"Mau apa dia ke sini?" Gumamnya.
TING TONG
Bel kembali berbunyi. Hinata membuang nafas lalu membuka pintu dengan setengah hati.
Pintu pun terbuka, tapi Hinata hanya berdiri menutup jalan untuk siapapun yang ingin masuk dan menatap sang tamu dengan tatapan malas tanpa mengatakan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMMITMENT
FanfictionHinata sangat menyukai kejujuran. Semenyakitkan apapun itu. Namun jika kepercayaan yang sudah ia berikan dirusak oleh kekasihnya, apa yang akan Hinata lakukan? A Naruto Fanfiction Desclaimer Masashi Kishimoto