10. When The Lunch Time

433 54 1
                                    

Siang ini Hinata berencana untuk makan siang di luar alih-alih di kantin kantor. Sudah sebulan belakangan ini telinganya panas karena terus menjadi bahan gunjingan beberapa karyawati di sana karena sering terlihat bersama Nara Shikamaru yang diketahui sebagai keponakan Pak Sasutobi yang merupakan manajer pemasaran. Demi Tuhan, Hinata ingin sekali merobek mulut mereka satu per satu karena terlalu melebih-lebihkan apa yang mereka lihat.

Hinata ingin cepat-cepat menghilang dari kantor sebelum Shikamaru lebih dulu menemuinya untuk makan siang bersama. Kalau tidak ia akan terus menjadi bahan menarik untuk diperbincangkan. Selama ini, kehidupan pekerjaan Hinata lurus-lurus saja. Tidak banyak orang yang menaruh perhatian padanya. Namun sekarang ia agak sedikit terganggu karena kemanapun ia berjalan di tiap sudut kantor gadis itu merasa ada orang-orang yang menatapnya. Ternyata menjadi terkenal itu tidak semenyenangkan yang ia kira. Lagipula kenapa mendadak hampir semua yang ada di kantor itu bisa mengenalnya sih?

Hinata mengerti kenapa para karyawati itu terlihat sangat iri padanya. Shikamaru selain dikenal sebagai keponakan Pak Sarutobi, ternyata ia diketahui sudah memiliki perusahaannya sendiri. Tidak besar, namun banyak orang yang tahu bahwa perusahaan yang dibangun itu sedang mengembangkan sebuah game MORPG yang kini sangat terkenal di Jepang. Jadi tidak perlu diragukan lagi berapa banyak penghasilan yang pria itu dapatkan.

Selain itu semua, tentu saja banyak orang yang mempertanyakan kenapa Shikamaru masih ingin bekerja secara kontrak di perusahaan kosmetik yang mana sangat berbeda dengan apa yang dikerjakannya sekarang. Untuk pertanyaan semacam ini Shikamaru tidak pernah menjawabnya secara pasti. Salah satu alasannya adalah karena pamannya yang merekomendasikan dirinya. Lagipula apa yang akan dikerjakannya untuk perusahaan ini tidak begitu melenceng dari dasar apa yang pernah ia pelajari, yaitu membuat sistem keamanan tentang perusahaan ini. Hinata tidak begitu mengerti, tapi yang jelas itu merupakan projek IT.

Hinata juga baru mengetahui sebuah fakta menarik lainnya. Ternyata Sai dulunya pernah bekerja dengan Shikamaru untuk mengembangkan game tersebut. Namun Sai memilih untuk berhenti dan memutuskan untuk menjadi freelancer yang menjual produk dan jasanya di bidang IT dan bekerja dibalik meja di rumahnya sambil membantu sang istri menjual bunga dan menjaga anaknya.

Hinata memang mengetahui bahwa sebelumnya Sai pernah bekerja di sebuah perusahaan, tapi ia tidak tahu bahwa perusahaan itu milik Shikamaru yang notabene adalah juniornya sendiri. Kini, mereka berdua kembali bisa bekerja bersama merupakan suatu hal yang menurutnya luar biasa. Bahkan Shikamaru masih memanggil Sai dengan sebutan Senpai meskipun Sai sudah berkali-kali mengingatkannya untuk tidak perlu memanggilnya seperti itu lagi.

Hinata mengambil tas kecil yang ia simpan di dalam laci mejanya lalu mengambil dompet dan ponsel yang kemudian ia simpan dalam tas kecil itu.

"Tenten." Panggil Hinata pada gadis bercepol dua yang duduk di sebelah mejanya.

"Apa?"

Kepala Hinata celingak-celinguk memeriksa keadaan ruangannya memastikan ia tidak menangkap siluet Shikamaru yang masuk ke dalam sini.

"Aku akan makan siang di luar, kau mau ikut tidak?"

"Kenapa? Makanan di kantin cukup enak."

"Aku tidak mau menjadi bahan pembicaraan lagi."

"Benarkah? Aku kira selama ini kau tidak peduli."

"Memang, tapi siapa yang akan tahan mendengarkan hal yang sama selama sebulan penuh?"

"Ah, sayang sekali dompetku sedang menipis." Tenten tersenyum untuk menegaskan pada Hinata bahwa ia sedang tidak bisa jajan di luar saat ini.

"Aku akan membayarnya untukmu. Kumohon temani aku." Hinata melayangkan puppy eyes andalannya yang sering gagal pada Tenten.

Sebenarnya Tenten ingin menolak karena di luar cukup panas, tapi jika menolak traktiran begini juga bukan hal yang bagus. "Baiklah." Tenten segera membereskan barang-barang yang sempat tercecer di mejanya. "Tapi kenapa kau ingin sekali makan di luar? Tidak biasanya."

"Aku kan sudah bilang, aku sudah cukup jengah menjadi bahan gosip terus." Hinata terlihat sedikit gelisah memeriksa keadaan sekitar memastikan Shikamaru belum memasuki ruangannya. Kenapa Tenten lama sekali sih membereskan mejanya?

Tenten terlihat seperti mengendus-endus udara di hadapannya membuat Hinata mengernyit heran. "Aku mencium aroma kebohongan di sini. Katakan padaku alasan utamanya."

Lama-lama Tenten makin terlihat seperti Ino. Tenten seperti tidak akan bergerak dari tempatnya jika Hinata tidak mengaku.

"Baiklah. Aku tidak bisa makan siang dengan Nara Shikamaru lagi. Kau puas sekarang?"

"Kau tidak ingin makan siang denganku?"

"Astaga!" Hinata meloncat dari tempat duduknya karena sangat terkejut. Shikamaru kini sudah berada tepat di belakangnya. Suara pria itu bahkan terdengar sangat dekat dengan telinganya.

Hinata masih berada dalam keterkejutannya. Matanya melirik pada keadaan ruangan itu yang membuat hatinya mencelos karena beberapa pasang mata yang tersisa di ruangan itu terarah padanya.

"Hinata-san?" Panggil Shikamaru.

"Y-y-ya?"

"Ah, sepertinya hari ini aku tidak jadi ditraktir." Tenten kemudian bersuara dengan cukup lantang untuk mencairkan suasana. Perempuan itu setidaknya cukup peka untuk sadar akan situasi saat ini. "Ada apa kalian lihat-lihat? Kalau kalian menggunakan waktu makan siang untuk gosip tidak berguna, kalian akan menyesal seumur hidup." Tenten menatap galak pada orang-orang yang masih memperhatikan mereka dengan penasaran hingga orang-orang itu membubarkan diri.

"Maaf, Nara-san, tapi aku akan makan siang dengan Tenten di luar." Hinata membuka suara saat suasana mulai terkendali.

"Kau ingin makan di luar?" Tanya Shikamaru. "Kita bisa pergi makan siang bersama kalau begitu."

"Tapi-"

"Pergilah. Aku akan makan di kantin saja. Kau tahu Nara-san? Hinata ingin steak untuk makan siang ini, sedangkan aku masih dalam mode berhemat hingga waktu gajian mendatang. Itu artinya, aku masih ditakdirkan untuk makan karage dan sup miso di kantin untuk jatah makan siangku." Sejujurnya, Tenten ingin sekali membenturkan kepalanya di meja dan menarik semua kata-kata yang terlontar begitu saja. Tentu saja apa yang ia katakan bukanlah berasal dari hatinya. Memang benar apa yang dikatakan para orangtua terdahulu. Menolak rejeki adalah hal yang sia-sia. Kali ini Tenten hanya berharap bahwa Shikamaru akan memaksanya untuk ikut makan siang bersama mereka dan isi dompetnya akan kembali aman.

Hinata menatap Tenten tidak percaya. Bagaimana bisa perempuan bercepol itu akan mengkhianatinya? Jika Tenten berkata begitu, bukankah sama saja orang-orang akan makin menggosipinya? Bahkan ia rela menolak traktiran yang Hinata tawarkan begitu saja. Sangat tidak Tenten sekali.

Lagipula apa maksudnya dengan steak untuk makan siang? Yang benar saja? Steak dan makan siang sepertinya bukan pasangan yang serasi. Apakah Tenten ingin mengubah budaya yang telah ada dari dulu dengan menaruh steak di atas meja makan siang alih-alih meja makan malam? Hinata merasa bahwa itu adalah konspirasi yang sedang dibuat oleh Tenten tentang menolak traktiran, steak untuk makan siang dan membuatnya harus kembali terlihat bersama Nara Shikamaru. Hinata baru ingat bahwa ia sendiri bahkan belum menentukan apa yang akan ia makan untuk siang ini!

.
.
.
.
.
To be Continue

COMMITMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang