🍭 Ten

210 58 9
                                        

Evanescent

.

.

.


Dia masuk ke salah satu kelas. Aku masih mengikutinya. "Jihoon, lo mau nggak pacaran sama dia" dia bertanya pada Jihoon sambil menunjukku.

Kulihat pria bernama Jihoon itu sedikit heran.

Aku memilih menarik tangannya, membawanya keluar dari kelas itu. "maaf ya" ucapku pada Jihoon tadi.

"Eh eh, tolong gue diculik mbak kunti" dia terus saja berceloteh selama aku menarik lengannya.

Sampai disalah satu tempat yang kurasa sedikit sepi, aku melepaskannya dengan sedikit kasar.

"Kenapa kamu? Pertama kenapa kamu ngaku gitu sama papa aku, kedua kenapa kamu nggak jelas banget nanya-nanya gitu ke orang. Aku malu tau" aku memarahinya. Sungguh, dia tampak tak peduli sama sekali.

"Emm, jangan marah-marah dong. Kan ini semua bisa diselesaikan secara kekeluargaan" aku memukul lengannya pelan. Aku sudah sangat kesal kepadanya.

"Kekeluargaan kepalamu! Pertama aku malu sama papaku. Kedua aku malu sama temanmu tadi" aku masih memasang nada marah padanya. Sesungguhnya aku tak sanggup memarahimu chi. Tapi sikap konyol mu kali ini membuatku malu

"Ya lo nanya nya satu satu dong. Puyeng kepala gue, mana mapel mtk sering bolos. Lo marahin gue lagi" dia mengacak rambutnya kasar, seolah sedang frustasi.

"Oke, kenapa kamu ngaku gitu sama papa aku tadi?" aku menatapnya tajam.

"Yakan gue maunya gitu. Lo jadi pacar gue, terus gue kenalan sama papa lo. Biar gue bisa dekat sama calon mertua gue. Jadinya ga kaku lagi kalo ketemu mereka". Dia memasang wajah seriusnya.

Sungguh, aku sangat senang mendengar jawabannya. Namun aku masih dalam sekte marah, tak boleh kutunjukkan bahwa hatiku sudah luluh.

"Oke, yang kedua. Kenapa kamu nanya-nanya gitu ke teman kamu seolah aku ini lagi nyari jodoh?" dia menatapku lekat.

"Kenapa emangnya kalau gue nanya ke Jihoon?" dia masih belum sadar.

"KAMU BILANG TADI KAMU MAU AKU JADI PACAR KAMU, TERUS KAMU MALAH NANYA GITU KE ORANG. SEOLAH MAU BUANG AKU TAU GA?" Mataku berkaca-kaca. Dia menangkup pipiku dengan kedua tangannya.

Dia tersenyum, senyum yang sangat manis. "Kenapa gue nanyain gitu ke orang? Biar kalo lo gamau jadi pacar gue nanti. Lo udah nemuin orang yang bakal buat lo bahagia. Dengan gitu gue pasti juga akan bahagia. Meskipun bahagia lo bukan sama gue, meskipun bahagia lo sama orang lain" air mataku sudah lolos. Dia menghapusnya dengan jari-jemarinya.

"Enggak, gue nggak mau jadi alasan lo buat nangis. Jangan pernah nangis kalo cuma karena gue. Karena sebisa gue, gue pengen liat lo senyum". Dia menarikku kedalam pelukannya. Aku terkejut, namun aku sudah luluh chi. Sekarang aku bisa menangis sepuasnya di dadanya. Maaf chi kalau bajumu basah.

"Udah udah, jangan nangis lagi" dia melepas peluknya. Menahan kedua lenganku dengan tangannya. Kemudian menatapku sambil tersenyum.

"So, be my girl?"

"Yes, of course" I hugged him again.

***

Evanescent (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang