🍭 Sixteen

190 44 1
                                    

Evanescent

.

.

.

"Wow" decak kagumku lepas ketika melihat jejeran lukisan yang terpajang disana. Warna-warna cerah dan gelap yang menyatu dengan indah menimbulkan sensasi tenang dalam diriku. Tak henti aku menatap kagum kearah lukisan-lukisan itu.

"Cantik kan? Aku yang ngajarin pelukisnya ngelukis" ucap yoshi asal. Aku menoyor dahinya. Diiringi tawa kecil. "Nggak percaya yaudah" dia malah meninggalkanku. Berjalan menuju sebuah stan pameran lukisan. Berbicara dengan seorang bapak.

Aku menghampirinya. "Ngapain chi?" Tanyaku ketika melihatnya memilih milih warna cat. "Nulis namaku sama namamu. Ada yang bilang, kalo ditulis gitu hubungannya bakal awet" aku mengerutkan dahi. "Siapa yang bilang?" Tanyaku. "Aku" jawabnya santai. Aku menghela napas pelan, kesal dengan pernyataannya.

"Yang ini aja pak, modelnya gini sama warnanya biru aja" ucapnya menunjuk sebuah lukisan nama. "Bagus kan? Kamu suka kan? Nanti kita bikin dua. Buat aku satu, buat kamu satu" aku mengangguk, nyatanya pilihannya memang selalu bagus. Contohnya diriku.

Sembari menunggu lukisan nama itu siap. Kami duduk di bangku yang disediakan disana. Menikmati malam yang indah, beberapa kembang api terlihat mewarnai langit. Aku suka sekali suasana seperti ini.

"Cantik kan?" Ucapnya ikut memperhatikan kembang api. "Iya, tapi sayang nggak hujan" kataku menikmati indahnya kembang api. "Dasar aneh. Kalo hujan ya kembang api nya ga bisa nyala lah" ucapnya tertawa keras. Puas sekali sepertinya ia menertawaiku. Aku mendelik sebal.

"Dek ini lukisannya" bapak tadi datang lagi membawa lukisan nama itu. Lukisannya tidak terlalu besar. Kira-kira berukuran 40x30 cm. Seperti katanya. Ada dua. "Wah, makasih pak" kulihat dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkan pada si bapak.

Aku melihat namaku dan namanya yang terukir di lukisan. Cantik. Dengan latar sunset yang benar-benar indah. Kalau mama masih ada, akan ku tunjukkan padanya. Ah, tak apa. Masih ada papa.

"Nah, jangan lupa dipajang di kamar kamu. Ntar kamu doain setiap kamu lihat, doain kita bisa sama-sama terus" tidak ada nada bercanda di kalimat itu. Hanya keseriusan. Aku mengangguk, diam diam mengaminkan kalimatnya. Seperti ini saja sudah cukup. Dia sudah membawa banyak kebahagiaan dalan diriku. Aku tak butuh apapun lagi.

Dia menyimpan lukisan didalam mobil. Aku menunggu sambil makan eskrim, aku sudah menyita eskrim nya. Tadi dia sok ngide ingin samaan sama aku, coba eskrim matcha. Terus pas udah dicoba dianya nggak suka. Jadinya dikasih ke aku deh. Aku ya senang-senang saja.

Dia datang beberapa menit kemudian. Eskrim ku tinggal satu. "Chii, aku mau main" pintaku sedikit merengek. "Ayo!tapi jangan ilang yaa" dia sudah menarik tanganku. Lagi.

Kami mencoba berbagai wahana. Namun aku benar benar menghindari wahana ekstrim. Aku takut. Aku mencoba menyembunyikan takutku dengan menyangkal keinginan nya seperti "gimana kalo kita naik itu aja? Lebih seru deh kayaknya" yang berhasil membujuknya.

Cukup lama kami mencoba berbagai wahana itu. Favorit ku kuda putar. "Naik itu yuk" tunjuknya pada sebuah biang lala yang besar dan tinggi. Biang lala itu cantik. Terdapat lampu disekitarnya. Namun aku takut ketinggian. Wajahku bahkan sudah memucat. "Kamu takut yaaa?" Yoshi malah menggodaku. Membuat sesuatu dalam diriku merasa tertantang. "Enggak! Siapa bilang aku takut. Ayo beli tiketnya" seperti ada setan yang merasuki ku.

Disinilah kami sekarang, diatas biang lala yang baru saja berputar. Aku tak hentinya berharap biang lala itu cepat berhenti. Aku sekarang menenggelamkan wajah ke lipatan tangan ku. Aku takut sekali. Sedikit panik bahkan berteriak ketika biang lala sedikit terguncang karena pergerakan turun.

Aku tak sempat memperhatikan yoshi. Yang jelas saat ini ia membawa ku kedalam peluknya. Aku tak mau lagi menatap keluar. Aku lebih memilih menenggelamkan wajah di dadanya. Aku juga ikutan modus. Hatiku sekarang berkata seperti ini "hahaha, makanya tak. Jangan sok gengsi. Enak kan dipeluk yoshi" giliran otak yang menjawab "diam lo hati sialan!"

Setelah biang lala berhenti. Aku kembali menetralkan nafas. Yoshi membelikan sebotol air mineral. Menenangkan ku dengan perkataan manis dan terkadang konyol.

Setelah dirasa sudah berhasil menenangkan diri. Aku minta pulang pada Yoshi. Waktu juga hampir menunjukkan pukul 10. Yoshi setuju. Dia mengantar ku pulang.

Sesampai di rumah. Aku disambut oleh sang mama. Beruntung Yoshi belum pulang, mau pamit ke papa katanya. Tapi ternyata papa tidak ada dirumah. "Dasar! Sudah berani pulang malam. Saya bilang ke papamu ya!" Ucapnya kasar sambil menarik tanganku sekasar ucapannya.

Namun yoshi lebih dulu membelaku. Dia menarik kembali tamganku. Menatap tajam ke si mama tiri. "Tante jangan macam-macam ya. Saya bisa bilang ke om perlakuan tante ini!" Ucapnya tak kalah sinis. "Heh, kamu jangan ikut campur deh urusan keluarga saya. Kamu orang asing disini, suami saya juga ga akan percaya sama kamu" mama tiri tersenyum miring. "Tante pikir, pas ngeliat sedekat apa om sama saya tadi. Tante pikir sesulit apa saya untuk ngeyakinin om. Gampang tan. Apalagi saya punya banyak bukti" yoshi terdengar lebih licik.

Ucapan yoshi lagi-lagi membuatnya terdiam. Mama tiri itu bahkan meninggalkan kami berdua sekarang. "Kamu jangan pernah segan minta bantuan aku ya"

***

Evanescent (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang