🍭 Eighteen

165 45 1
                                    

Evanescent

.

.

.

Setelah kejadian itu, aku mencuri waktu berbicara dengan mama tiri ku. Malamnya papa tidak dirumah. Aku masuk ke kamarnya tanpa permisi. Menatap wanita iblis itu dengan tajam. Kurang kah ia merebut kebahagiaan ku selama ini? Apalagi? Apalagi yang ia inginkan.

"Apa yang lo bilang ke papa?" Sebenarnya, tak salah aku memanggilnya begitu. Hey ayolah, dia hanya lebih tua 5 tahun daripada diriku, lebih pantas menjadi kakak ku. "Wah, anak mama dah berani ya sekarang" dia tertawa sarkas. Maju kehadapanku, dan mencengkram bawah daguku.

"Kayaknya bakal seru kalo gue dapetin pacar lo, bakal seru juga bikin papa lo menderita" selanjutnya ia tertawa seperti mak lampir. "Gue pernah bilang kan, gue nggak akan biarin lo mencecap sedikit pun manisnya kebahagiaan. Udah cukup lama gue ngebiarin lo bahagia. Sekarang udah saatnya gue ngelepas kebahagiaan lo itu". Satu tamparan mendarat mulus di pipiku kiriku.

"Itu buat kebahagiaan yang lo rasain" satu lagi mendarat di pipi kanan. Keras sekali, membuatku jatuh tersungkur ke lantai. "Itu buat mama lo dulu yang juga nggak ngebiarin gue bahagia, untung dia mati. Kalo enggak, nggak tenang hidup gue" aku menangis. Apa salah ku? Apa salah mama? Mama hanya tak ingin suaminya bersama dengan orang lain, mama juga ingin bahagia.

Sesaat kemudian dia menjambak rambutku. "Lo juga harusnya mati sama mama lo itu. Lo nggak pantas bahagia! Karena mama lo, nyokap gue ngusir gue. Karena dia, gue nggak punya ibu" dia menjambak ku sambil mengguncang tubuhku. Sakit sekali.

Tuhan, tak apa jika kau ingin ambil nyawaku sekarang. Bertemu mama sepertinya bukan pilihan yang buruk. Terimakasih atas kebahagiaan yang sempat aku rasakan, sekarang tak apa jika kau tak berpihak padaku lagi. Aku cukup mengerti. Ketika kau melukiskan kisah hidupku, warna warna cerah sedang habis, hingga kau hanya menggunakan warna gelap. Kebahagiaan kemarin hanya karena warna cerah dari lukisan diatasku cat nya tumpah. Tak apa jika kau ingin mengakhiri lukisan mu sekarang.

"Pergi lo dari kamar gue!" Dia mendorong ku keras hingga menabrak tembok. Aku tak bergeming. Aku diam saja, menikmati kesedihan yang terasa pekat di dadaku.

"Gue bilang pergi ya pergi. Sialan lo" dia kini mencengkram erat lenganku. Aku hanya memakai kaos lengan pendek saat itu. Cakaran demi cakaran kembali di lancarkan. Darah segar mulai menetes. "PERGI!" teriaknya begitu nyaring. Mendorong tubuhku yang terduduk lemas itu. Membuatku kembali terjatuh.

Aku segera pergi. Masuk kembali ke kamarku. Membanting pintu. Kali ini tak ada lagi yoshi yang mengobati lukaku. Atau sekedar menelpon ku malam-malam untuk 'menemani' ku tidur. Semua hancur. Sasaran pertama adalah vas bunga. Ku lempar hingga pecah ke arah cermin yang ikut pecah. Teriakan keras lolos dari mulutku. Lebih tepatnya lolongan pilu yang membuat siapapun akan ikut tersayat. Hatiku hancur. Bukan hanya persoalan yoshi, dia sudah menyangkut mamaku.

Sialnya aku lupa mengunci pintu. Wanita iblis sialan itu masuk ke kamarku. Dengan menggenggam vas lain dia melayangkan vas tidak bersalah itu ke kepala ku.

Prang!

Hancur berantakan.

"Apa apaan kamu?" Ku dengar suara papa mendekat. Kusadari kepalaku yamg kini bersimbah darah. Sedetik kemudian, semua gelap.

***

Evanescent (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang