🍭 Nineteen

177 43 1
                                    

Evanescent

.

.

.

Aku membuka mata perlahan-lahan. Mencoba mengenali tempatku terbangun. Ruangan putih. Hidungku tersumbat sesuatu. Tidak bukan kapas, aku belum mati.

"Om, putri tidur kita udah bangun" ku dengar suara itu sayup-sayup karena telingaku belum berfungsi sempurna.

"Nak" kulihat papa mendekat. Wajahnya terlihat kusut, lelah. Papa membelai lembut rambutku. Mengecup dahiku. Kemudian mulai menangis.

"Maafin papa. Maaf nak" hanya itu yang sanggup papa ucapkan. Karena berikutnya papa menangis terisak.

Ada Yoshi ternyata. Entah bagaimana ia bisa ada disini. Yang jelas aku senang. Ia turut melakukan apa yang dilakukan papa; mengusap rambutku kemudian mengecup dahiku. Ku lihat papa menatapnya kesal, kemudian memberikan tepukan pada dahinya. Tak keras. Namun berhasil mengundang tawaku. Dia hanya nyengir kuda.

"Paa, aku mau bicara" aku meminta alat di wajahku ini dilepas, entah apa namanya. Nanti saja aku berkenalan dengannya. Papa melepaskannya. Membiarkan ku menghirup udara tanpa tabung oksigen.

"Nggak salah papa kok. Makasih papa udah percaya lagi ke aku, walau aku nggak tau apa kesalahan ku" aku tersenyum.

Papa mengangguk. "Papa udah seret wanita itu ke penjara. Surat perceraian udah papa urus. Jangan lagi kamu disakitin sama dia. Dia bilang kalo yoshi itu naksir dia, mau ngapa-ngapain dia. Jadi papa tersulut emosi"

Yoshi juga mengangguk. "Padahal mah ga mau juga ya. Aku lebih mau kamu" dia mencolek daguku. Papa menyentil dahinya, lagi. Membuatku tertawa lagi. Yang penting semua sekarang sudah baik baik saja.

"Berapa lama aku tidur pa?" Aku menyadari aku tidak hanya tidur sehari dua hari. "5 hari non. Selama itu kamu ga ikut belajar. Duh, pokoknya pas baikan nanti aku harus jadi guru yang baik buat kamu. Pokoknya, kamu harus belajar. Kalo nggak aku ngambek" telinga ku sakit mendengar ia mengoceh seperti itu. Aku hanya mengangguk malas.

Aku disuruh istirahat lagi. Kedua laki-laki ku tetap menemani ku, tak pergi sedikit pun dari sisi ku. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan, akhirnya aku boleh melepas alat bantu nafas ku. Aku lega. Yoshi mengajak ku ke taman rumah sakit. Ia duduk di bangku taman, dan aku di kursi roda. Kami memandangi burung yang sedang membuat sarang.

Kala itu jam makan ku. Dia menyuapi ku dengan telaten. Untuk ukuran anak muda sepertinya, dia cukup handal. Ya setidaknya bagiku. "Burungnya nggak pake arsitek kali ya, bentuk sarangnya gitu gitu aja" dia berkata sambil tetap menyuapi ku. "Yakali burung belajar arsitek chi" tawaku sudah berderai karena kekonyolan nya. "Ck, padahal kalo rumahnya 3 tingkat pasti nanti temen-temennya iri" dia ikut tertawa.

"Oiya, kata dokter kamu harus belajar jalan lagi. Mungkin saraf-saraf mu kaku karena cuma rebahan tanpa bangun 5 hari. Kamu tau nggak sih, awalnya aku ngira kamu nggak bakal bangun lagi. Jadi aku takut setengah mati. Aku mikir sih, nanti aku ikutan aja mati bareng kamu kalo kamu mati. Tapi pas liat papa yang lebih kalut dari aku, aku sadar aku perlu kuat" dia merapikan alat makan. Sudah selesai.

"Aku juga mau mati bareng kamu kalo kamu mati" ucapku menatapnya serius.

"Heh, udah jangan bahas mati-mati, nggak lucu. Ayo aku ajarin jalan. Dedek kicik, sini jalan bareng kakak yoshi" dia menghampiri ku. Membantuku berdiri sambil mengangkat infus ku. Aku berdiri pelan-pelan. Benar aku sedikit kaku bahkan ragu melangkah.

Baru selangkah, aku hilang keseimbangan. Dia dengan cekatan menangkap ku. Terjadilah adegan tatap menatap bak drama korea.

"Kita udah cocok main drama" ucapnya masih dalam posisi seperti tadi. Dasar perusak suasana! Aku segera memperbaiki posisiku. Berdiri tegak kembali. Dia tertawa melihat kekesalanku.

Maaf Tuhan. Aku kemarin salah sangka. Ternyata masih ada warna cerah untukku. Terimakasih, aku sudah bahagia.

***

Evanescent (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang