🍭 Seventeen

175 44 3
                                    

Evanescent

.

.

.

Seperti itulah keseharian ku di hari hari selanjutnya. Seperti remaja kasmaran pada umumnya. Pergi dengan yoshi, pulang mendekati tengah malam. Tapi jangan salah, tipe pacaran kami bukan berdiam diri mojok berduaan. Kalian salah besar. Kami sering pergi ke perpustakaan kota. Membaca berbagai buku, ternyata Yoshi penyuka buku fiksi. Buku-buku seperti Harry Potter, the Hobbit, twilight dan vampire diaries adalah kesukaannya. Dia ternyata penyuka tokoh-tokoh fiksi itu, dia fans berat peter pan dan Edward Cullen. Aku juga tertarik dengan buku semacam itu karena dirinya. Aku fans Isabella swan. Biar sepasang sama Yoshi hehehe.

Begitu juga mama tiriku, tak banyak ikut campur dalam urusanku. Tak ada lagi ia menyakiti ku baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Dia masih sinis, namun tak ada lagi kasar kepadaku. Mungkin karena takut ancaman yoshi. Entahlah, yang penting itu menguntungkan bagiku. Semuanya begitu cepat berlalu. Aku tak sadar bahwa roda itu berputar.

Kini aku sudah memasuki tahap akhir masa SMA. Bebarapa minggu lagi akan menjalani UN. Aku gencar sekali belajar, tentu dengan pacarku. Dia sering datang ke rumah, atau mengajak belajar di manapun itu. Entah di taman, di tepi danau bahkan di mall. Yang lebih banyak ia habiskan untuk bermain game. Biar saja asal tak ribut.

Sore itu aku janji akan pergi bersama Yoshi. Mau ke taman. Hari ini, kolam air mancur taman diresmikan. Sepertinya akan menyenangkan belajar sambil melihat air mancur.

Aku sudah siap, tinggal menunggu yoshi menjemput dan bye, aku mau belajar bersama pacarku. Namun, papa dan mama tiri lebih dulu pulang kerumah. Papa masuk dengan air muka yang tidak bersahabat, papa menatapku dengan tatapan marah.

"Mau kemana kamu?" Tanya papa kepadaku. Nada tinggi papa membuatku takut. Sungguh. "Ke taman pa, sama yoshi" ucapku lantang. Tak merasa bersalah. "Masuk kamar, jangan kamu hubungi lagi cowok sialan itu. Sempat papa tau kamu masih berhubungan sama dia, papa nggak akan segan kasih pelajaran ke dia" aku menelan ludah kasar. Ada apa dengan papa, kenapa berubah seperti ini. Oh aku sepertinya tahu, ada yang sedang tersenyum sinis di belakang papa saat ini. Tunggu saja.

"Sayang, ambil hp nya. Dia sebentar lagi juga ujian. Kembalikan saat sudah selesai. Selama itu, jangan biarkan dia pegang hp" papa bicara ke wanita itu. "tapi paa" bantahku dengan isakan tertahan. Ingin menangis, namun seolah tangisan itu tersangkut di tenggorokan ku. "Enggak ada tapi tapi! Kasih hp nya ke mama, sekarang masuk kamar!" Tatapan papa penuh amarah, jarang bahkan tak pernah papa seperti ini padaku. Aku ciut, menyerahkan benda segi empat milikku pada wanita iblis itu. Kemudian secepat kilat berlari ke kamar. Mengunci pintu kamar lalu menangis sejadi-jadinya.

Beberapa saat aku menangis, aku mendengar bel berdentang. Ingin kubuka kan pintu. Aku yakin itu yoshi. Aku berlari ke pintu depan, telat. Papa sudah lebih dulu disana. Melayangkan sebuah tamparan ke pipi Yoshi. "Pergi kamu dari rumah saya, jangan ganggu keluarga saya lagi!" Yoshi tentu heran, dia tidak tahu apapun.

Papa bersiap melepaskan tamparan lagi, namun aku menahan tangan papa. Menangis memohon. "Udah pa, jangan lagi" aku terisak, Yoshi seperti ingin menenangkan ku. Namun tangannya ditepis oleh papa.

"Kamu pulang dulu chi, maaf aku ga bisa ngabarin kamu" aku masih memeluk sebelah lengan papa. Seolah mengerti keadaan, Yoshi mengangguk.

"Ochi pulang om. Nanti kalo om udah tenang, tell me ya salah ochi apa. Aku pulang ya" dia menyempatkan mengelus singkat pipiku. Cepat sekali. Setelah itu ia pergi.

***

Evanescent (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang